Gapura Sebagai Beban Artificial Desa
Oleh Andri Saptono
Gapura dalam kamus WJS Purwadarminta berarti pintu gerbang. Secara ontologis ia menjalankan fungsinya sebagai ambang untuk memasuki puri kedalaman pada suatu tempat atau rumah. Ucapan selamat datang biasanya menjadi wajib dibubuhkan di gapura tersebut beserta nama tempat atau lokasi.
Gapura bisa juga menjadi sebuah penanda akan ekslusivitas (kepemilikan) atau teretory (sebagai daerah kekuasaan).
Pembangunan gapura sekarang ini memang marak sekali seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan. Fenomena ini hampir tak diketahui pasti kapan mulainya. Tapi beberapa moment penting, semisal peringatan hari kemerdekaan, memang menggunakan gapura sebagai bagian dari bentuk-betuk perlombaan untuk memperingati momen-momen itu. Semisal lomba hias gapura tujuh belasan yang diadakan di beberapa tempat secara aksidental.
Disorientasi Pembangunan.
Gapura selamat datang di desa-desa yang sekarang ini marak dan stereotif adalah contoh kesalahan dari sebuah orientasi pembangunan.
Kita setuju bila pembangunan insfrakstruktur sebagai cerminan kemajuan harus lebih diprioritaskan demi kemaslahatan warga desa bukan menjadi sekedar karena beban artificial bagi desa, apalagi karena sekedar tuntutan perlombaan. Dimana pembenahan sebuah tampilan akan casing diperlukan sekali, tapi di dalamnya kosong sama sekali dalam arti tanpa diimbangi dengan kemajuan pembangunan dan karya dalam arti sebenarnya. Contoh dalam hal ini adalah selain membangun gapura, mereka juga tak membuat investasi atau karya yang bisa diandalkan sebagai respon akan kebutuhan akan tuntutan kemajuan jaman. Selain gapura yang indah dan lux yang tentu dibangun dengan dana yang banyak sekali, tak ada contoh karya atau produksi dari desa tersebut yang menarik minat untuk datang. Padahal dijaman sekarang ini kita dituntut untuk berkarya dan membangun sesuatu yang lebih bisa digunakan untuk membantu kemaslahatan penduduk malah kalau perlu yang bisa meningkatkan perekonomian penduduk.
Mengkaji fenomena gapura sebagai sebuah penanda akan kemajuan pembangunan ternyata hal itu tak selamanya benar dan signifikan. Misal kalau ada desa atau dukuh yang gapuranya begitu cemerlang lantas kita mengatakan bahwa masyarakat di desa ini sudah maju, kompak dalam pembangunannya dan mungkin juga pendapatan ekonominya sudah diatas rata-rata yang menandakan sebagai simbol kesejahteraan mereka.
Kita memang setuju kalau gapura yang bagus itu diperlukan juga bahan materialnya yang mahal. Sebanding dengan itu, bahan material yang mahal itu bisa dibeli dengan uang dan dana yang banyak.
Dan disinilah ironi sebenarnya dari pembangunan gapura-gapura itu.
Dana gapura yang mahal-mahal seperti itu kebanyakan didapat dari iuran warga, hingga mengajukan proposal ke partai atau para calon bupati. Uang sebanyak ini pada akhirnya hanya berakhir pada sebuah gapura selamat datang saja. Sebuah tugu yang karakternya sangat stereotif, begitu pula bahan baku materialnya. Hingga kadang kala membuat kita berpikir apakah memang pemerintah desa mewajibkan untuk membuat gapura yang model begini dan tak boleh yang lain.
Tapi, nampaknya juga terlalu premature untuk mengatakan bahwa ada konspirasi tertentu di balik maraknya fenomena pembangunan gapura-gapura itu. Walaupun kita bisa melihat satu persatu keberadaan gapura yang stereotif itu lebih sekedar menjadi beban artificial saja bagi desa. Atau menjadi agenda kegiatan desa untuk memboroskan uang kas dengan kegiatan bongkar pasang gapura.
Masyarakat Ekshibis Indonesia
Ya, bahwa sungguh aneh, suatu desa yang membutuhkan dana lebih banyak untuk pembangunan kemajuan dan infrastruktur lainnya begitu ngebet sekali membangun gapura yang harganya belasan juta rupiah, namun di balik semua itu sepi makna belaka. Hampir di seluruh desa Karanganyar ini setiap dukuh ingin mendirikan gapura yang mencapai belasan juga rupiah hingga puluhan juta rupiah –tergantung bahan material untuk mendirikan gagura itu. Bahkan ada yang dengan merobohkan gapura yang lama yang sebenarnya masih bagus dan layak untuk diganti dengan gapura yang dari bahan stainless steel dengan alasan desa yang lain juga seperti itu.
Apakah ini sebuah kebetulan saja ataukah sebuah fenomena baru sosial. Apakah memang ada kaitannya dengan maraknya membangun gapura selamat datang dan dengan maraknya lomba menghias gapura.
Apakah masyarakat kita memang seperti ini, cenderung menghargai sesuatu dengan perlombaan dan hiasan. Atau memang masyarakat kita adalah disorientasi, sekedar memboroskan uang karena mereka tidak tahu prioritas pembangunan yang lain bagi desa mereka sendiri, yang secara rohaniah dan spritiual atau edukasi secara fakta banyak yang nol baca.
Atau mengapa tidak dialihkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa yang pengangguran.
Kita bisa melihat angka pengangguran di desa-desa. Para pemuda-pemuda tulang punggung bangsa yang karena tak ada lapangan pekerjaan mereka pilih urbanisasi ke kota dan menjadikan kota semakin sesak dan macet saja. Apakah ini bukan bukti dari disorientasi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Mengapa tidak uang sebanyak ini digunakan untuk membuat sesuatu yang bisa menyerap tenaga kerja dan tidak sekedar gapura selamat datang yang hanya untuk dilihat dan disawang tapi malah mendatangkan para penongkrong (pengangguran) yang baru dan lebih banyak dari sebelumnya.
Wacana pembangunan gapura juga tidak ada sama sekali. Ini adalah bentuk kekurangan lain dari sikap kita terhadap pembangunan. Tak ada kajian mengenai fungsi dari pembangunan itu sendiri. Rapat dalam desa hanya dipenuhi dengan usul bagaimana kita memperoleh dana sekian dari warga atau dengan ilmu aji mumpung mendapatkan uang dari proposal yang diajukan ke partai atau para calon bupati misalnya.
Sungguh ironis sekali. Semangat gotong royong pada akhirnya hanya berujud sebuah gapura selamat datang. Ia serupa perhiasan bagi sebuah desa, yang tak pernah berarti apa-apa selain menunjukan bahwa pergeseran masyarakat kita yang tidak cinta pembangunan manusia Indonesia seutuhnya tapi hanya masyarakat ekhsibis Indonesia. Ya, mungkin saja begitu. Apakah lantas kita harus memberi selamat pada warga dukuh yang berhasil membuat gapura yang mahal dan berkilat.
Ke depan kita memang harus menjadi masyarakat yang cinta membangun untuk kemaslahatan bangsa dan negara bukan menjadi masyarakat yang lebih peduli pada pamer-pameran gapura tapi dengan mengorbankan peran fungsi dan jiwa gotong royong bangsa ini.
Nampaknya kita memang tidak siap untuk sebuah kemajuan jika kita tidak mengimbanginya dengan kajian-kajian akan pembangunan itu sendiri. Jangan asal nggengge mangsa dimana saat sekarang ini mudah cari uang dengan mengajukan proposal tapi uang sebanyak itu hanya berakhir pada sebuah pameran kedegilan dari masyarakat komsumtif saja.
Maaf, kita seharusnya memang tak lantas memberi selamat kepada para pemenang lomba pembangunan gapura jika mereka sebenarnya ikut merobohkan jiwa dan semangat gotong royong warga bangsa Indonesia ini.
erd