sebuah cerpen
Pembalasan Dendam Lydia
Peniti-peniti kebencian mulai mencucuki mata Lydia hingga berdarah. Ranjangnya terasa bertebar paku panas menyakitkan. Ia telah meyakinkan dirinya kalau ia bukan sedang mencemburui suaminya, melainkan kebohongan suaminya, yang kini sedang bersenang-senang dengan barang antiknya yang lain itulah yang mencabik-cabik hatinya!
Tiba-tiba Lydia menatap patung batu budha setinggi satu meter yang tepat bersisihan dengan urban stand lamp favoritnya, di dalam kamarnya yang serba greeen itu, menjadi dua kali lebih besar dari ukuran semula. Wajah bijaksana patung budha itu jadi menyeringai seakan berusaha memusuhi keberadaannya. Lydia merasa ngeri dengan apa yang dilihatnya. Secara mekanis ia mundur ke pangkal ranjangnya sambil memeluk bantal Micky Mouse nya.
Suaminya, Permadi, mendapatkan patung budha itu dari Thailand. Ia memaksakan argumen kalau patung budha di dalam kamarnya itu akan membawa energi positif bagi kehidupan perkawinan dan bisnis barang antiknya. Pada hari-hari tertentu suaminya akan membakar dua buah hio atau dupa China di sela jemari gempal patung batu itu, dan menaruh cawan kuningan berisi air mawar sebagai bagian dari persembahan. Ketika mereka bercinta, mata Lydia akan terpaku pada wajah bijaksana sang budha itu, yang seakan tersenyum menyaksikan seks eksperimental yang sedang mereka agendakan. Tapi suatu kali karena muak dengan bau hio di dalam kamarnya itu, Lydia menyemprot ruangan kamarnya dengan semprot nyambuk berparfum yang didapatnya dari gudang.
Pertahanan kesadaran Lydia telah lumpuh oleh ketakutan dan kebenciannya pada benda-benda antik di dalam rumah musiumnya itu. Pahlawan Disney itu juga tak bisa berbuat banyak, membuat begitu mudah hantu-hantu kebencian itu menyebrangi pikirannya dan melamurkan mata Lydia dengan kenangan berdarah.
Sewaktu dulu modern curved sofa hadiah pernikahan dari ibunya direlakan Lydia digusur oleh sejumlah kursi kayu berukir yang didapat suaminya dari pedalaman Dayak Kalimantan. Foto-foto perkawinan ditanggalkan demi sejumlah topeng konyol punakawan dari perunggu. Lalu puncaknya ketika suaminya makin membuatnya tak bisa bernapas ketika patung batu budha itu ia sumpalkan ke dalam kamarnya!
*
Lydia telah membuka laci meja tulisnya. Ia menemukan apa yang dicarinya: sebuah kartu nama mantan kekasihnya. Ia sendiri tak ingat jelas alasan mengapa ia masih menyimpan kartu nama itu. Tapi, ia telah menghubungi nomor itu dan tersambung dengan suara di seberang.
Kenyataan suaminya sedang bersenang-senang dengan benda antiknya yang lain telah membuat Lydia mengundang mantan kekasihnya itu untuk makan malam bersama di rumahnya.
Sebelum makan malam Lydia memaksakan dirinya untuk berdandan, berusaha memulas wajahnya menjadi orang yang paling menarik pada malam itu. Perasaan yang asing itupun diterimanya seolah ada tuntutan sutradara dari peran yang ia mainkan.
Bukankah kau ingin balas dendam pada suamimu Lydia? Bila suamimu bisa berselingkuh di belakangmu, mengapa kau tidak? Apakah kau terlalu lemah untuk berbuat serong dan membalas suamimu? Bukankah balas dendam itu membuatmu lebih manusiawi?
Ryan banyak bercakap ketika makan malam berlangsung, tapi seluruhnya hanyalah ungkapan kekaguman pada benda-benda antik di rumah musium itu. Lydia, sebaliknya berharap Ryan akan membantunya, semisal ceroboh menggunakan salah satu vorselin dari dinasti Ming yang bercokol di tengah meja makan itu untuk tempat asbak bagi abu rokoknya, atau tak sengaja memecahkan sebuah guci naga di sudut ruangan.
“Semua karya seni di sini sangat excelent. Suamimu hebat Lydia.”
“Ada sebuah kejutan lagi yang ingin kuperlihatkan untukmu. Kau mau ikut aku sebentar?”” berkata Lydia memutus ungkapan kekaguman Ryan pada semua benda antik yang makin dibenci Lydia pada malam itu.
Ryan tidak menolak ketika Lydia menggelandangnya masuk ke dalam kamarnya.
Ryan sontak terkesima melihat apa yang ditunjukan Lydia di dalam kamarnya. Matanya membelalak seperti melihat tujuh keajaiban dunia. Tangannya menjadi gemetar ketika hendak menyentuh setiap lipatan-lipatan jubah membeku sang patung budha yang sedang memberkati itu. Akan tetapi Ryan merasa tiba-tiba rasa takjubnya diintrupsi dengan kasar ketika tubuh Lydia menindih dirinya di ranjang tanpa ia ketahui maksudnya.
“Aku tak mau ada pertanyaan malam ini,” bisik Lydia sambil menciumi leher Ryan. Dengusan napasnya terasa panas. Keterkejutan Ryan sendiri juga kemudian segera lenyap. Naluri hewan purbanya mulai ingin mengenali naluri hewan purba Lydia.
*
“Ayah akan lebih bahagia bila melihatmu telah berkeluarga Lydia,” kata ayahnya.
“Tapi, Lydia tak mengenalnya sama sekali, Yah,” potong Lydia menolak permintaan ayahnya itu.
“Itu tak akan menjadi masalah sama sekali, kalian akan belajar mengenali. Ayah dulu juga begitu dengan ibumu saat menikah; witing tresno jalaran soko kulino , betul kan, bu?”
Tentu saja ibunya tak menjawabnya.
Tapi, rencana ayahnya itu telah berlaku pada Lydia. Lydia mengalami masa-masa pendekataan dengan calon suaminya itu yang lebih dinilainya sebagai bulan-bulan karnaval benda-benda antik. Lydia mulai belajar mengenal tentang Lingga dan Yoni ; Ia mengetahui literatur tentang Gupala . Dan untuk pertama kalinya Lydia dibuat iri ketika calon suaminya itu memperlakukan sebuah artefak antik dengan istimewa ketika mereka menghadiri sebuah pelelangan di musium Sangiran. Padahal Lydia sendiri hampir tak pernah dipuji untuk gaun makan malam yang dipersiapkannya sungguh-sungguh, walaupun ia juga tidak tertawa melihat calon suaminya selalu berkostum hitam dengan jemari yang selalu dipenuhi cincin akik yang besar mirip pelawak Tessy Srimulat.
Lydia mengakui dalam hatinya kalau ia tak mendapati perasaan membuncah seperti yang dialami tokoh-tokoh dalam novel yang dibacanya, tetapi ia akhirnya menerima lamaran lelaki itu dengan sebentuk cincin merah delima dan membiarkan ia mencium bibirnya pertama kali pada sebuah acara makan malam di restoran masakan Jepang.
Tetapi, kemudian ternyata Lydia hanya menemukan dua orang yang sama selama hidupnya. Suaminya tak lain adalah prototipe ayahnya, tipe lelaki yang menjadikan istri sebagai konco wingking . Lydia merasa diriya tak ubahnya sebagai barang antik yang berhasil diburu dan dijadikan koleksi oleh suaminya.
Begitu juga yang dilihat Lydia selama ini pada orang tuanya. Ibunya yang pandai manak, macak, masak tapi, tak pernah kecantikannya itu dipergunakannya untuk menegur ayahnya ketika Lydia mengadukan ayahnya terlihat bersama wanita pesinden yang masuk ke sebuah hotel. Malah pada esok paginya, Lydia melihat mereka mesra kembali seolah tak ada yang salah sama sekali. Ibunya menyuguhkan kopi susu kesukaan suaminya disertai dengan senyum mengembang secerah sinar matahari. Kemunafikan telah menjadi wajah keluarganya.
Yang ia harapkan dari ibunya adalah ibunya memberikan kopi pahit kepada ayahnya, menegur atas perbuatannya. Tetapi, ibunya tak pernah protes atau menjatuhkan talak ke pengadilan walaupun ayahnya tak sekali berbuat serong di belakangnya. Kontras sekali ketika ibunya sendiri memberi ular-ular pengantin pada Lydia kalau wanita itu harus patuh pada suaminya, harus santun pada suaminya. Penerimaan adalah kodrat para wanita. Ya, cetak biru seperti itulah yang diwarisi Lydia dari ibunya.
*
Setelah pergumulan tergesa itu berakhir, dan setelah Ryan kembali kepada kekasihnya, Lydia memutuskan minggat dari rumah. Selama perjalanan itu ia mencari tempat-tempat yang bisa melenakan dirinya dari kepungan rasa bersalahnya. Tempat-tempat eksotis yang ditunjukan dari buku panduan wisatanya ataupun bar-bar di hotel berbintang dengan musik keras yang menghiburnya setiap malam. Tapi Lydia ternyata tak pernah bisa menemukan ketenangan itu. Ia tak pernah bisa lepas dari kejaran masalahnya. Lydia tak pernah lepas dari insomnia setiap malam. Beberapa hal bahkan telah memulai schizofrenia dalam kepalanya.
Ia adalah tipe orang yang tak bisa melupakan kesalahannya dengan mudah. Dan baginya, penyelesaian itu hanya ada satu cara: ia akan pulang ke rumah musiumnya, mengakui perselingkuhan yang ia telah lakukan. Ia juga berharap dirinya siap bila hal terakhir itu harus terjadi: perceraian! Sesuatu yang pasti dibenci Tuhannya. Tapi, ia hanya berharap schizofrenia itu akan lenyap dari kepalanya dengan perceraian itu. Tak ada hal lain yang lebih ia inginkan dari pada itu sekarang.
*
Lydia pun melakukannya. Pengakuan ketika ia selingkuh dengan mantan kekasihnya meluncur dari mulut Lydia di depan Permadi. Dan sebuah hal yang berbeda, yang tak yakin Lydia pernah mengharapkannya malah terjadi. Permadi malah ingin rujuk dan memperbaiki hubungan mereka yang telah retak. Hal itu mula-mula membuat terkejut Lydia, sekaligus ia merasa tambah sakit. Ia tak yakin bisa menerima suaminya kembali dengan hati yang sama.
“Demi cinta, maafkanlah aku, Lydia. Kuakui sebagai lelaki aku mudah jatuh cinta; itu yang membuatku buruk menjadi seorang suamimu. Tapi akan kulakukan apa saja agar kau bisa kurebut kembali.”
Permadi memeluknya dengan keegoisan tiba-tiba, seperti tak ingin melepaskan lagi. Terasa cambang yang tak dicukur itu menusuki pipi Lydia.
“Akan kulakukan apa saja walaupun harus memohon padamu Lydia. Kau akan kembali padaku kan?”
Permadi melepaskan rangkulannya. Pandang matanya nanar meminta.
Tapi jawaban Lydia juga membuat kembali lelaki itu bergetar. Lelaki itu menggelengkan kepala, seolah tak percaya atau takut pada yang dihadapinya sekarang ini. Awan kelam begitu cepat menyaput wajah kacau itu dan membuat lelaki itu terhenyak kembali ke kursinya. Seperti memerlukan sebuah perjuangan yang berat untuk kembali membuatnya berdiri tegak lagi setelah hal ini berlalu.
“Jadi kau akan pergi?”
Lydia tak menjawab pertanyaan suaminya. Tapi ia sendiri tak mengerti, mengapa hati feminisnya yang kejam dan penuh perhitungan lenyap meninggalkannya. Ia harusnya bersuara lebih keras menumpahkan kebencian dan kemarahannya. Bukan rasa iba melihat cambang kasar suaminya yang tak bercukur itu yang menenggelamkan hatinya seperti sekarang ini.
Lydia lebih mengikuti naluri keperempuanannya, entah yang keseribu seratus berapa. Ia menarik lengan suaminya dan mendudukkannya di depan meja rias untuk membantunya mencukur cambang itu seperti yang biasa dilakukannya. Dulu ia merasa heran, mengapa ia begitu cepat menjadi ahli mencukur cambang suaminya. Tapi ia sekarang tahu, hal itu adalah gen keperempuanan yang mungkin sama juga dimiliki oleh ribuan wanita lainnya, untuk menjadi pelayan seorang suami.
Lydia mengoleskan busa cukur di wajah itu dan mencukur cambang suaminya dengan gaya seorang ahli, sementara Permadi sendiri terpejam menikmatinya. Ia tak akan meminta suaminya untuk menyingkirkan benda-benda antik dari dalam rumahnya atau pun meminta suaminya menghentikan bisnis benda antiknya, biarpun suaminya telah menawarkan hal itu semua semata agar dirinya kembali rujuk.
Lydia dengan tenang membelah dada suaminya dan mengeluarkan isi hati lelaki itu. Selanjutnya, dirinya juga membelah dadanya dan mengeluarkan hati itu dari dalam dadanya. Kini kedua hati yang berdarah itu mereka taruh di atas tapak tangan masing-masing. Dengan menangis mereka berdua memakan hati yang berdarah itu bersama-sama .
Setelah memakan hati yang berdarah itu berdua, akhirnya mereka mengerti bahwa tak ada seorangpun dari mereka, tak seorang pria ataupun wanita, yang pernah berharap ingin menangis; betapapun setelampap hati yang hitam itu mampu menawarkan kuasa segala racun hebat yang masuk kepadanya.
“Aku sangat mencintaimu Lydia, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku akan sangat kehilanganmu. Tahukah engkau itu?”
Lydia diam tak menjawab. Dengan tenang bak seorang ahli ia terus mencukur cambang suaminya itu. Raut wajahnya tak ada haru seolah pahatan patung batu.
wow keren nih ceritanya ngambang, keren
sayang konfliknya ga diperpanjang, tar jadi kaya sinetron ya hehe