pengantar arswendo atmowiloto
Para Pengisi :
Andri Saptono – Megatruh Solo
Indah Darmastuti – Menjadi Patung
Joko Sumantri – Lelaki Tahu
Marwanto – Hujan dan Kota Yang Selalu Cemas
Ratih Kumala – Ode Untuk Jangkrik
Retno Iswandari – Alterego Solo
Sanie B Kuncoro – Lamaran Sri
Iis Sukandar – Menuju Rumah Impian
Sri Atin – Songsong Payung Kematian Ayah
Megatruh Solo
Sebait tembang Megatruh mengalir dari radio di sebuah warung tepat di depanku sekarang berdiri. Tembang itu dinyanyikan dengan tenang dan lambat. Tekanan suara seperti itu walaupun sekarang mengalir dari sebuah radio dua band, tapi tembang itu mampu mengalirkan kesejukan yang aneh padaku. Dibandingkan lagu pop maupun klasik aku merasa hanya tembang macapat yang tampaknya dilagukan dengan kekuatan yang besar, keseimbangan yang amat sempurna, pelan dan kuat. Begitu laras hingga menyentuh relung hati tempat di mana semua lagu bermuara, mengubah pribadi-pribadi yang mendengarnya.
Seperti juga sekarang aku yang sedang menunggu untuk perjumpaan pertamaku dengan Ratri, aku tak mampu untuk tak meragukan tempat pertemuan kami yang dipilihnya ini. Gladak adalah nama tempat ini. Aku berputar melihat sekeliling dan kudapati tempat ini ramai dan sangat tak nyaman dengan keintiman pertemuan yang kuharapkan terjadi. Tapi begitupun aku harus tetap berada di sini menanti Ratri yang menginginkan pertemuan kami terjadi di bawah sosok patung pahlawan Slamet Riyadi yang tengah mengekspresikan sikap perjuangannya yang tak kenal menyerah di tengah kota Solo ini.
Aku kembali mengecek jam tanganku. Sudah jam empat petang. Tak ada Ratri di antara orang yang berlalu lalang. Dalam bayangan senja semuanya terasa asing satu sama lain. Dan keadaan ini membuatku merasa aneh seolah aku sedang menunggu seorang penyelamat yang membebaskan aku dari keasingan yang mencekik ini.
Aku pilih memasuki menuju ke warung yang masih mengalirkan tembang Megatruh dari radio dua band itu. Begitupun, ini mungkin karena aku memang tak bisa selalu bersahabat karib dengan keramaian seperti di tempat ini dan pilih mendengar tembang megatruh yang sepenuhnya tak bisa kupahami betul.
Tembang megatruh masih mengalir. Orang-orang di warung diam menikmati. Hanya saja aku memang bukan asli orang Solo jadi itulah kesulitanku yang sebenarnya. Tapi aku pernah tinggal beberapa waktu yang lalu di rumah budeku. Dari budeku yang sering memutar lagu-lagu jawa seperti ini tahulah aku kalau lagu tanpa instrument dan yang ada hanya suara orang menembang dengan irama yang begitu lambat itu adalah tembang macapat.
Kata Budeku, dulu dirinya adalah penembang seperti itu di kraton. Dan hal itu membuatku membayangkan dirinya duduk bersideku di hadapan raja, dengan sikap takzim menembang untuk menghibur sang raja. Kalau sang raja puas maka pundi-pundi hadiah akan mengalir untuknya. Tapi, masih kata Budeku, ternyata tak sepenuhnya seperti yang kubayangkan. Para penembang macapat itu melakukannya bukan untuk hadiah dan semacamnya, tetapi sebagai darma bakti yang tak ada imbalannya. Ketika mendengarkan hal itu, aku sendiri yang malah tak paham. Menurutku pekerjaan tanpa imbalan jasa, itu betul-betul sangat neo-komunis!
Hm, kraton. Tempat itu sendiri tak jauh dari tempatku berdiri. Di sebelah kanan alun-alun pandanganku dapat menjangkaunya. Tapi sekarang aku tak ingin memasukinya walaupun suatu saat pasti aku kepingin masuk ke dalamnya. Sebagai seorang pemilik galeri seni, aku bisa memproyeksikan kalau aku bisa mendapat banyak keuntungan dengan masuk ke dalam sana. Tapi sekarang aku sedang menunggu seseorang, dan kuanggap hal ini lebih penting dari benefit-benefit apapun. Aku sungguh-sungguh mengharapkan pertemuan ini terjadi. Ya, sejak tiga hari yang lalu saat tahun baru itu. Dan keinginan yang tak kudapatkan dalam waktu tiga hari adalah mutlak sebuah obsesi yang harus kudapatkan.
Kembali kubuka inbok di hape-ku. Tak ada pesan masuk. Jika aku punya nomer Ratri mungkin aku akan menghubunginya; tapi hal itu tak akan pernah terjadi. Ratri memaksaku untuk menerima segala persyaratannya antara lain dia akan menelponku dari wartel umum. Aku sendiri tak tahu maksudnya, tapi entah mengapa aku hanya bisa menurut saja menjadi bagian dari permainan liciknya. Apakah ini tanda-tanda aku memang telah begitu terjerat kepadanya.
Siapa Ratri itu? Ia memang hanya seorang gadis yang kutemui di Taman Budaya Jawa Tengah (TBTJ) ketika sebuah pameran buku. Tapi aku menemukannya di depan buku-buku bekas. Ia tengah berbicara dengan si penjual buku bekas itu. Si penjual buku bekas itu sendiri tak terlalu berwajah ganteng, dan entah mengapa hal itu membuatku iri kepadanya; iri karena ada pembeli yang berwajah cantik dan mewah bisa berbicara banyak kepadanya. Sementara aku, yang tak perlu kau ragukan kekayaanku, tak pernah bisa berbicara dengan seorang wanita manapun seperti yang dilakukan oleh si penjual buku itu.
Tapi aku segera mendekatinya. Sialnya kedatanganku dengan kegagahan dan wangi parfumku seolah tak terlihat sama sekali oleh mereka. Si penjual buku itu tertawa dengan gurauannya begitu nyaring menusuk relung hatiku hingga membuatku begitu cemburu. Sedangkan si perempuan itu beberapa kali mengangguk, seolah ia begitu patuhnya kepada si penjual buku sialan itu.
Aku segera mengambil beberapa buku, dan mencoba memilih di antara buku buku-buku bekas yang kebanyakan adalah puisi dan buku-buku sastra itu. Hal itu membuatku menjadi teralineasi: apakah wanita ini adalah seorang penyair.
Aku yang selama hidupku tak pernah membaca puisi kecuali di pelajaran sekolah menengah dan tak pernah mempunyai buku selain buku motivator dan buku bisnis, kuberanikan untuk mengambil lima buku puisi.
“Berapa semuanya mas?” tanyaku.
“Dua puluh lima ribu rupiah,” jawab si penjual buku.
Aku sungguh tak percaya begitu murahnya dia menjual tapi aku memang tak terlalu peduli dengan hal itu, kukeluarkan uang seratus ribuan. Hal itu membuatku bisa berlaku sombong di depannya dan hal itu cukup memuaskanku. Aku mengulurkan lembaran uang itu padanya dengan sikap pongah.
“Yang pas aja mas,” berkata si penjual buku bekas kepadaku.
“Saya tidak punya uang kecil lagi. Apa mas bisa menerima kartu kredit?” kataku tertawa, dan kulirik perempuan itu tetap saja asyik menekuri buku-bukunya.
Edan, makhluk apa dia, hingga begitu sombongnya tak mau menengok padaku.
“Begini, sisanya untuk buku yang dibeli oleh nona ini saja,” kataku sambil menunjuk dengan jemariku, seperti biasa yang kulakukan untuk memilih pakaian yang akan kubeli. Dan kali ini gadis itu menengok. Aku langsung menyambutnya.
“Silakan nona pilih buku apa saja, saya yang akan membayari.”
Ia masih diam, malah menengok pada si penjual buku yang juga menatapnya.
“Begini Maya, dia mau membelikan kamu buku. Dia mau…”
Aku langsung memotong si penjual buku itu dengan membaca judul dari buku puisi yang kubeli. “Balada orang-orang tercinta Rendra dan Daerah Perbatasan Subagyo Sastrowardoyo. Saya masih asing dengan semua ini; jadi apakah boleh kita makan siang atau minum kopi sembari berdiskusi tentang puisi di kafetaria pojok itu?”
“Maaf, saya tidak bisa,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Aku kaget dengan jawaban itu. Mengapa dia begitu sialan tak mau menerima permintaanku. Apakah aku kurang memuaskannya. Dia bisa melihatnya. Aku punya banyak uang. Penampilanku jauh mahal ketimbang si penjual buku itu. Kekesalanku itu membuatku tergagap sendiri. Aku tak tahu kalimat apalagi yang bisa kuutarakan karena penolakannya. Hal itu membuat napasku sesak. Marah.
Aku tak percaya dengan apa yang terjadi. Gadis cantik itu siapakah si penjual buku bekas itu? Tentu saja dia bukan pacarnya. Karena melihat penampilan si penjual buku itu yang sangat biasa dan si wanita itu sendiri begitu charming. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk memaksa dirinya.
Itulah kenangan pertamaku bertemu dengan Ratri di Taman Budaya Jawa Tengah, bersama dengan si penjual buku bekas itu. Tapi setelah itu ada yang aneh terjadi padaku. Di setiap kepergianku di setiap tempat selalu aku tak bisa melupakan wajahnya. Kegelisahan itu membuatku tak memperdulikan beberapa wanita cantik yang melirik menggoda di hotel, yang kebetulan menghabiskan akhir tahun di Music Room (musro) ataupun para gadis-gadis binal yang sedang menari di lantai dansa. Entah mengapa aku masih terbawa dengan pertemuan tadi siang itu padahal dia hanya soerang gadis biasa. Ia tak lebih cantik wajahnya dari si bartender yang beberapa kali membawakanku cognac, yang terus mendekatiku. Ia juga tak begitu seksi dengan si Lusy kenalan baruku yang beberapa kali menyambangiku mengajakku melantai. Tapi, aku pun keluar dari bar lalu memutuskan mendekamkan kegelisahan di dalam kamar. Aku mengambil peralatan lukis yang selalu kubawa untuk mengatasi kejenuhan dan kegelisahan macam ini. Kugambar wajah gadis itu dengan pensil warna Pentelku. Hal itu, ajaibnya membuatku lebih tenang, membuatku merasa senang karena aku berhasil pula menyelesaikan lukisanku itu tepat sepuluh detik setelah pergantian tahun. Kudengar suara letusan-letusan mercon dan kembang api. Aku membuka jendela kamarku dan melihat kemeriahan yang mewah yang tengah dihambur-hamburkan itu. Dan saat memandang semua itu, terbesit dalam pikiranku, andainya hal ini kulakukan berdua dengan gadis itu, memandang letusan kembang api dari kamar hotel ini bersamanya.
Aku sejenak menghela napas, dan sejak malam itulah gambar wajahnya selalu membayangiku.
Dan kali ini aku memang akan bertemu dengannya, tapi hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Aku ternyata kembali harus menemukan dan memperjuangkannya.
Setelah pagi itu pada esoknya aku kembali ke pameran buku, berharap aku menjumpai gadis itu lagi. Kucari di antar kerumunan hingga kakiku pegal. Tak kutemukan juga. Aku juga tak melihat si penjual buku itu lagi. Apa yang harus kulakukan?
Di tengah rasa putus asaku itu, aku menghampiri si petugas parkir, siapa tahu ia mengenal mereka, yang tentu saja adalah orang yang sederajat kemakmurannya dengan mereka.
Dari si penjaga parkir itu barulah aku mendapatkan petunjuk.
“Mereka hari ini melakukan aksi pak?”
Aksi! Aku menjadi tambah begitu tertarik.
“Dimana mereka berdemontrasi?”
Sejenak si penjaga parkir itu tertawa. “Mereka tidak berdemonstarasi. Mereka mengadakan acara penggalangan dana untuk korban bencana dengan acara-acara sastra. Tempatnya di Manahan.”
“Manahan? Apakah stadion olahraga itu?”
“Ya, betul.”
“Apakah saya boleh tahu penyelenggaranya?”
“Penyelenggaranya Rumah Sastra, dan gadis yang bapak tanyakan itu: si Maya, adalah kordinator aksi.”
“Apa gadis itu seorang penyair?”
“Dia bukan seorang penyair, walau dia sering beberapa kali membawakan puisi, dan memang dia sangat bagus membawakan setiap puisi yang dibacanya. Tapi dia juga bukan seorang aktivis sih, walau sering memimpin aksi yang serupa.”
“Apakah dia seorang mahasiswi kalau bukan penyair dan aktivis?”
“Sudah lulus. Anda kelihatan begitu penasaran mengejarnya. Apakah ada pesan untuknya, saya bisa menyampaikannya kalau ketemu.”
“Tidak terima kasih.” Aku mengulurkan sejumlah uang dari dompetku dan kuberikan pada penjaga parkir itu. “Terima kasih atas informasinya.”
“Maaf, saya tidak bisa menerima?”
Aku jadi terkaget dengan penolakan si penjaga parkir itu. “Apakah kurang jumlahnya?”
“Tidak sama sekali. Tapi saya memang tak terbiasa menerima uang seperti ini.”
“Terimalah, tidak apa-apa.” Aku pun menambahkan uang itu hingga menjadi lima puluh ribu rupiah; bukankah itu sudah cukup bahkan lebih dari penghasilannya selama sehari. “Ini, mohon diterima.”
Si penjaga parkir itu tidak bergeming sama sekali. Ia tak kudesak dan aku pun tak bisa memaksanya. Aku kemudian pergi meninggalkannya. Kupanggil taksi, dan dalam hati aku merasa bahwa sebagian di kota ini adalah diisi dengan orang aneh; bukankah aneh dengan menolak pemberian uang yang cukup lumayan untuk diri mereka sendiri, atau aku yang tak mengerti mereka?
Akupun mendatangi ke Stadion Mahanan. Aku turun dari tempat itu dan melihat beberapa orasi tengah dilakukan; yang semua isinya bernada penyelamatan lingkungan, dan penggalangan dana untuk korban bencana. Aku duduk di antara anak-anak mahasiswa dengan pakaian-pakaian mereka yang tampak bohemian. Aku mencoba mencari gadis itu. Dan akhirnya aku menemukannya di antara seorang lelaki besar berkacamata dan si penjual buku itu.
Kali ini si lelaki berkacamata dan berbadan besar itu naik ke atas panggung.
“Baiklah, teman-teman. Sekarang acara puncaknya. Kita akan melelang beberapa benda di sini yang merupakan milik Rumah Sastra untuk mengumpulkan bantuan dana buat korban bencana. Kali ini kita ada beberapa, yaitu kaos Rumah Sastra bertanda tangan Pramodya Ananta Toer. Ada lukisan dari Jeihan buat rumah sastra. Atau mesin ketik saat Rendra mampir ke Rumah Sastra, dan menghasilkan puisinya yang terkenal itu, karena mesin ketik Remington ini.”
Lelang telah dimulai. Aku tak bereaksi apa-apa walaupun aku punya uang karena aku tak terlalu menyukai hal-hal barang bekas seperti itu. Pandanganku terus kupusatkan pada gadis itu. Kemudian aku melihatnya naik ke atas panggung. Dengan pembawaannya yang cerdas dan smart ia mulai berbicara lalu cepat sekali semua barang lelang itu berhasil terjual.
“Sekarang sudah tak ada lagi yang kita lelang. Mari kita bersama bersatu untuk menyelamatkan alam sekitar kita; kita memang tak punya kuasa menolak bencana yang melanda tapi kita bisa mencegahnya. Setuju?”
Serempak semua melakukan agitasi yang sempurna.
“Mbak Maya sendiri dilelang dong, kencan sama kita-kita,” teriak soerang pemuda gondrong begitu urakan dan membuat riuh suasana.
Gadis di atas panggung yang bernama Maya itu hanya tersenyum.
“Oke, kalian berani berapa?”
Semua meledak tertawa. Dan si lelaki yang berkaca mata itu, ikut meramaikannya. “Baik, ini ada tawaran kencan dengan Maya. Kita akan melelangkannya dan kita mulai dengan seratus lima puluh ribu rupiah.”
“Seratus tujuh lima ribu.” Pemuda yang gondrong itu menyahut.
“Seratus sembilan puluh sembilan puluh sembilan,’ pekik seorang pemuda berkaca mata minus.”
“Dua ratus,” seorang anak muda jangkung dengan rambut cepak, berpakaian bohemian.
“Masih ada lagi?”
“Dua ratus lima puluh.” Seorang anak muda yang tampak berdarah keturunan dengan kulitnya yang putih bersih ikut berpartisipasi.
“Tiga ratus.” Seorang yang sejak tadi mensyut acara ikut menyahut. Suasana menjadi ramai.
Aku bangkit berdiri. “Tiga ratus lima puluh.”
“Empat ratus.”
Lima ratus.”
“Lima ratus lima puluh.”
“Enam ratus dua puluh lima,” kataku.
“Tak ada lagi?” si lelaki berkacamata itu bersuara.
Tak ada sahutan lagi. Aku menang.
“Baik terjual enam ratus dua puluh lima, silakan nanti menghubungi panitya dan Maya sendiri.”
Aku tersenyum penuh kemenenangan. Memang kebanyakan mereka adalah mahasiswa jadi tak ada yang punya uang banyak. Dan itu membuatku berhasil kencan dengan si Maya.
Aku pun menyelesaikan urusan di belakang dengan panitya. Aku bertemu dengan si penjual buku bekas dan si pemuda berkaca mata itu.
“Perkenalkan, saya pemilik Rumah Sastra dan panitya penyelenggara.”
Si pemuda berkaca mata itu menyebutkan namanya. Begitu juga dengan si penjual buku bekas itu. Dan terakhir aku bersalaman dengan gadis itu.
Saat aku bersalaman terakhir itu, aku merasa tersedot dan hampir tak bisa bernapas dengan tatapan pandangan matanya yang begitu kuat.
“Aku Argo Nugroho, pemilik galeri seni Kumbokarno di Jakarta.”
“Maya Nur Ratri.”
“Nama yang indah, secantik orangnya. Boleh kupanggil Ratri.”
Ia tersenyum. “Silakan. Tapi kita pergi nanti sore setelah saya menetapkan waktu dan tempatnya. Apakah mas Argo bisa setuju?”
“Tidak masalah.”
Dan itulah kemenanganku yang masih harus membuatku menunggu di Gladak ini.
Tampak awan gelap mulai memenuhi langit. Hal ini membuatku tambah gelisah. Aku masih duduk bersama dengan orang di warung. Dan seluruh pikiranku tersita pada berita cuaca yang menyela tembang mocopat. Berita itu adalah ramalan cuaca yang mengabarkan datangnya badai yang akan turun melanda beberapa di daerah jawa tengah dan sekitarnya. Dan di dalam hati aku sempat berharap berita radio itu akan mengatakan bahwa biarpun badai Ratri akan tetap datang menepati janjinya.
Dan dia memang datang akhirnya. Seperti biasanya ia datang dengan pakaian kasual, dengan syal melilit di lehernya membuatnya tampak begitu mempesona. Jauh lebih cantik dari beberapa artis yang pernah kukencani.
“Kita akan pergi kemana?” katanya sambil merapikan rambut Dian Sastronya.
“Tempat apa aja di kota Solo ini yang bagus?” tanyaku yang tak tahu banyak tentang Solo.
“Ada Sriwedari, kita mungkin bisa nonton wayang orang di sana atau wedangan di cafe Green House. Ada Taman budaya Jawa Tengah, di sana sekarang ada pameran lukisan dan pergelaran tari. Atau ke Teater besar ISI di sana ada pementasan Sujiwo Tejo. Cuaca tidak begitu bagus memang dan enaknya kita berada di dalam ruangan. Tapi, kalau mas Argo sendiri punya tempat yang baik, monggo.”
“Tidak tahu, saya sendiri hanya menginap di Quality Hotel. Di sana ada pergelaran Quit Chamber dari Jogja. Musik klasik. Terus terang saya sedang tidak mood dengan musik klasik.”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke kraton? Tentu ada banyak hal bagus yang berkaitan dengan galeri seni mas Argo.”
“Bisa, tapi lain kali saja.”
“Begitu.”
Saat itulah sebuah panggilan di handphonenya menyela kami. Dan saat menjawab hal itu, wajahnya tampak berubah. Wajah itu seperti mendung di langit dengan pertanda-pertanda yang pasti kubenci.
“Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan,” katanya setelah selesai menjawab panggilan itu. “Tapi saya memang harus benar-benar pergi sekarang.”
Sekali lagi instuisiku mengatakan hal yang tepat. Bukankah hal ini yang ingin kudengar, aku merasa kesal.
“Ada yang harus saya kerjakan segera,” lanjutnya. “Maafkan saya mas Argo, saya janji akan membayar kencan hari ini.”
“Tidak usah repot-repot.”
“Saya tahu mas Argo kecewa.”
“Ya, saya memang kecewa. Baru saja kita ngobrol kemana kita akan pergi dan sekarang kau mengatakan harus pergi.”
“Saya tak bisa melerai hal ini.”
“Pergilah,” kataku kesal.
“Setelah urusan ini selesai saya pasti membayar hutang saya.”
Aku diam. Ya, tak perlu kujawab. Ia datang atau tidak datang sekarang perasaan kagumku telah robek dan hancur berkeping-keping.
Ia pun pergi dengan taksi yang dipanggilnya sendiri. Aku diam terpaku di bawah beringin yang mulai lindap oleh senja. Kurasakan sempurna sudah kegagalanku. Udara yang berhembus kencang makin menyesakkan dadaku.
Akupun kembali ke hotel, di sana aku menemui Lusi dan ia kuajak minum bersama. Setelah begitu mabuk kami bercinta semalaman dengan kemarahan yang menyumpal otakku.
Pagi itu aku terbangun. Dalam sakit kepalaku karena banyak minum aku teringat pada salah satu sajak Sastrowardoyo yang sempat kubaca di tempat si penjual buku bekas itu. Kugumamkan perlahan larik sajak itu sambil terlentang di ranjang. “Neraka hanyalah rasa pahit di mulut ketika kita bangun pagi. Ya, sangat tepat sekali hal itu…”
Di sampingku Lusi masih terlelap, setengah telanjang menyembulkan payudaranya yang merah penuh gigitanku. Aku tertawa sompel.
Tapi dering telepon menyela tertawaku. Aku beranjak mengangkatnya. Ternyata dari si penjual buku bekas itu.
“Ada apa?”
“Maaf, pak Argo menganggu pagi bapak. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa kami akan senang sekali bila pak Argo mau datang pada pemakaman ayah dari salah seorang sahabat kami, Maya. Ayahnya meninggal karena badai kemarin yang merubuhkan rumahnya.”
Gagang telepon terlepas begitu saja. Jantungku tersentak. Saat ini aku merasa begitu bersalah. Dan ada hal yang membuatku tak bisa bergerak, begitu kotor. Aku merasa telah berkhianat pada Ratri. Di kamar ini rasa kekaguman dan pemujaanku terkoyak sendiri oleh pengkhianatanku yakni aku telah bercinta dengan wanita lain yang bahkan tak pernah kuinginkan dalam pikiranku yang gila sekalipun.
Lamat-lamat dalam benakku aku teringat perkataan Ratri yang terakhir kemarin petang itu, ia begitu berkeras akan datang lagi padaku setelah urusan selesai.
Aku tak akan bisa hadir ke pemakaman itu. Aku tak akan bisa menemuinya lagi walaupun dalam hatiku ikut berduka sedalam-dalamnya. Tak akan pernah pula kurasakan diriku lebih sangat terkutuk lagi dari saat ini.
Maya Nur Ratri, maafkan aku.
begitulah kami, unik dan terkadang sulit dimengerti. kami bangga dengan itu#### for U: galilah dan munculkan sisi romatismu wahai sang penyair…tatkala kau menumpahkan hal yang sama. uke…
wah, kalau yang itu mungkin sudah pol…he he..referensiku tentang keromantisan cuman sebatas anak STM yang keblasuk menekuni dunia sastra…kalau ada jasa upgrade gitu…he he(dimana ya?)
semua orang punya itu gak usah cari. ada di dalam hati kita. the best place for upgrade our feel…
all people in the world have that. deep of our heart….the best place for upgrade our feel….