Dunia Borges: Realita atau Metafora?

“Imagination is The Thing, I should say. It’s far more important than physical courage. To write you need imagination and emotion, feeling. …
When I write I try to be true not to things actually happening but to my particular dream at the time. I know that the reader feels it in that way. If the reader feels that a writer is lying, he lays down the book. If the reader feels that the dream is a response to a real dream then he goes on reading. That’s the way I think that literature is made – by sincere dreaming.”
In Memory of Borges, Norman Thomas di Giovanni, ed.
London: Constable, 1988.

Jorge Luis Borges adalah suatu ketaklaziman. Lahir di Beunos Aries, Argentina tahun 1899. Sebagian masa kecil Georgie, panggilan masa kecilnya, hingga remaja ia habiskan dengan menjelajah wilayah khayali dari khasanah kesustraan dunia, di perpustakaan milik ayahnya yang kebanyakan berbahasa Inggris dari literer Eropa. Penemuan kecilnya membuatnya mengatakan bahwa Don Quixote dalam bahasa Inggris lebih menarik, ketimbang Don Quixote yang ia temukan dalam terjemahan bahasa aslinya, Spanyol, yang menjadikannya mirip terjemahan yang buruk. Di karir masa mudanya sebagai penyair, bersama kelompok garda depan Ultraismo ia membuat sebuah interupsi estetik bagi modernismo Garcia Lorca yang lebih dulu dikenal. Berawal dengan sebuah majalah yang lebih mirip poster yang bernama Prisma, yang ia tempelkan di sepanjang tembok jalan, dengan puisi-puisi lirik yang lebih mirip dengan gelombang metafora yang akhirnya ia selalu temukan karya-karyanya itu ditemukan setengah robek atau tercabik-cabik oleh pelaku dari entah berantah. Tapi suatu ketika redaktur majalah yang telah mapan di Argentina, majalah Nosotros menemukan karya tersebut dan meminta beberapa tulisan ultraismo untuk pembaca majalah mereka, dan sejak itulah karya-karya Borges mulai terlihat.
Borges berperawakan ringkih, berkacamata minus, yang mungkin karena disebabkan terlalu banyak menikmati persembunyiannya di dunia khayali itu. Ia lebih dikenal sebagai penulis ficciones, yaitu sebuah cerita setengah essay yang ganjil dan rumit, yang merupakan kematangan fiksinya, yang tak pelak membawa pengaruh kemudian pada pemikiran praktek sastra abad 20. Dikatakan oleh novelis John Bart, bahwa Borges sendiri telah melampaui Frans Kafka ataupun Joice.
Prinsip keberhasilan karyanya adalah ia berani mereduksi puisi lirik hingga ke dasar warnanya yakni metafora. Ia juga berani menghilangkan kata penghubung atau frase penghubung, juga kata sifat yang berlebihan, menghancurkan unsur-unsur ornamental, pengakuan dalam otobiografi, kesekitaran, gaya khotbah serta kekaburan yang disengaja. Ia berani memadatkan beberapa imaji sekaligus menjadi satu imaji, demi memperbesar kemampuan sugestifnya. Ditambahkannya, “Pendapat yang melihat kata tidak sebagai jembatan bagi gagasan tetapi sebagai tujuan atau sesuatu pada dirinya sendiri menemukan kulminasinya dalam ultraisme.”
Metafora yang bagi kebanyakan penulis adalah sekedar gaya tulisan, bagi Borges adalah juga persoalan pandang cara menemukan dunia. Jauh dikemudian hari ia membuka essaynya dengan semacam pentasbihan sastra metafora, katanya, “Barangkali sejarah semesta hanyalah sejarah metafora. Dan barangkali metafora memang cara yang azali dalam mendekati dunia: kita mengenal kenyataan pertama-tama bukan lewat abstraksi melainkan lewat benda konkret yang mendapat perhubungan hidup dalam pikiran kita. Jangan-jangan kita sesungguhnya tak pernah lepas dan tak mungkin menghindari metafora; kita mendekati sesuatu yang tak kita ketahui pasti memakai istilah imagi atau asosiasi dengan benda yang lebih dekat dan mudah kita bayangkan.” Dengan kata lain karya-karya Borges adalah metafora sebagai kendaraan untuk menjelajah ke wilayah ufuk pemikiran ke wilayah tapal batas hakikat.
Ketika Borges mengatakan segala hal usaha manusia untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri adalah fiksi kita juga bisa melakukan pembalikan, bahwa fiksi adalah usaha manusia untuk memahami dunia. Metatora Borges mungkin yang pertama membuka pelbagai kemungkinan transfigurasi ini.
Tapi Borges juga tak sepongah itu. Di tempat lain ia juga mengatakan bahwa penemuan atau penciptaan hanyalah membaurkan ingatan. Ia tak yakin bahwa kita mampu mencipta sebagaimana halnya Tuhan mencipta alam. Jorge Luis Borges dalam menulis ficciones, fiksi-fiksi, mengakui ia hanya bermain-main dengan kisah-kisah pendek yang dirajutnya yang merupakan sebuah proposal suatu metafora, atau penawaran perspektif alternative atas suatu persoalan atau hanya pelontaran-pelontaran pertanyaan atau cukup permainan gagasan saja.
Borges juga mengaku jarang menggarap karakterisasi. Ia bahkan pernah menghujat psikologisme dan di kemudian hari ia mengutip Leon Bloy: Tak seorangpun di muka bumi ini benar-benar tahu siapa dirinya yang sesungguhnya; yang kemudian walaupun ketika ditanyakan kepadanya apakah tanggung jawab seorang pengarang itu, ia menjawab bahwa tanggung jawab seorang pengarang adalah penciptaan karakter. Di sinilah ia memulai tugas berat itu, ia tak hanya menciptakan sebuah karakter, tapi ia berhasil membuat karakter yang diawali dengan metafora, dan mungkin ini adalah jawaban dari paradoks itu. Borges mengekplorasi gaya bercerita dan membaca karakter sebagai sebuah metafora yang tak lain untuk mengetahui dan menyingkap dari sang karakter dan K besar. Ia mengisahkan fiksinya dengan pilihan ungkapan yang singkat, intens dan padat; mengerahkan berbagai kemungkinan ekspresi namun sering dengan perbedaan nuansa yang amat subtil. Karakter adalah salah satu hal dalam keseluruhan tema alur gaya dan juga ekspermimen atas semua itu. Dan semua itu membuat Borges sering membuat labirin panjang di sepanjang cerita padahal ia hanya ingin menyingkap si tokoh dengan labirin metafora. Bentuk Pedang dan Taman Jalan Setapak Bercecabang, ataupun Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, adalah contoh terbaik dirinya dalam menggunakan metafora sepanjang cerita.
Sejumlah kritikus melihat teknik yang digunakan Borges ini untuk menerangi persoalan pribadinya yang terbelah oleh dua kultur bahasa yang berbeda, antara Spanyol dan Inggris, antara pribumi Argentina dalam silsilah dirinya dengan literer Eropa yang serapnya ketika kecil.
Borges juga berbelas kali dicalonkan untuk nobel sastra sebelum ia meninggal tahun 1984. Ia memang tak pernah mendapatkannya walaupun karya-karyanya banyak pengaruhnya dalam praktek literer di belahan dunia selain daratannya sendiri. Dan dalam kalimat pernyataannya yang nampaknya menjadi ramalan masa depannya sendiri, ia berujar, “Di abad mendatang ketika orang-orang meneliti kesustraan abad ini, nama-nama yang dikenal sebagai para sastrawan besar bakal berbeda, para pengarang cemerlang yang tersembunyi bermunculan, para pemenang nobel sastra akan dilupakan….saya berharap akan dilupakan.”
Tapi Jorge Luis Borges tidak dilupakan. Ia merupakan sebuah cerita misteri dalam realitas penciptaan karya sastra. Dan ia sebenarnya adalah sosok metafora ketika kita mencoba melakukan pendekatan dengannya.

2 thoughts on “Dunia Borges: Realita atau Metafora?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s