Komandan Suryo Bélong


Minggu, 11/07/2010 09:00 WIB – harian joglosemar

Komandan Suryo Bélong adalah seorang pahlawan legendaris yang akan selalu hidup di jantung hati rakyat tak lain karena jasa dan pengorbanannya kepada bangsa dan negara. Kau lebih mudah menemukan kebesaran namanya dalam kisah dongengan cerita lisan para penduduk, ketimbang kau akan kecewa tak menemukan namanya dalam lembar-lembar arsip sejarah nasional ataupun mendapatkan sekadar potret wajahnya terpampang dalam katalog para pahlawan nasional yang diterbitkan pemerintah.

Saat itu pasukan gerilyawan tengah bermarkas di sebuah hutan jati di sebelah utara kota Yogyakarta berjuang sampai titik darah penghabisan melawan tentara Belanda yang bersenjata jauh lebih modern dan lengkap. Sepak terjang tentara gerilyawan di bawah komando sang komandan Suryo Bélong mampu menjadi momok menakutkan bagi para serdadu Belanda.

Beberapa gerilyawan sudah berkumpul di belakang rerimbunan semak yang tinggi. Mereka merencanakan penyergapan seorang Brigadir yang akan lewat di tengah hutan jati menuju ke pedalaman. Para gerilyawan itu terdiri delapan orang masing-masing membawa senjata dan beberapa magasin. Mereka melakukan penyergapan atas perhitungan bahwa mereka telah menguasai medan.

“Apa kita perlu memberitahukan hal ini dulu pada komandan?” tanya Blegur, yang bertubuh gempal menyampaikan keraguannya.
“Tidak perlu sama sekali. Kita melakukan penyerangan ini untuk membuktikan pada kawan yang lain juga pada komandan kalau kita ini juga bisa mengalahkan musuh.”
“Tapi bagaimana kalau nanti kalah?”
“Tidak mungkin! Kita akan menyergap mereka, kita hanya memberi pelajaran bukan untuk berperang. Kita beri kejutan, lalu segera mundur!”

Kawanan kecil itu bergerak mencari tempat persembunyian masing-masing. Tak berapa lama kemudian sudah terdengar suara deru sepeda motor dan mobil jeep dari kejauhan. “Kita akan menembak tepat ketika mereka di depan kita,” intruksi Parman yang menjadi pemimpin.

Benarlah, saat mobil Brigadir itu melintas bersama rombongan kedelapan senapan itu seketika menyalak. Serdadu yang sedang menunggang sepeda motor terjatuh dari sepeda motornya dan berlindung di balik sepeda motornya. Tapi ketika ia mau berdiri dan menembak, ia kembali roboh tepat sebuah peluru Parman bersarang di dadanya.

Beberapa serdadu lain langsung bersembunyi dengan apapun yang bisa mereka jadikan tameng. Tapi, Blegur dengan ketepatannya berhasil menewaskan si Brigadir yang baru mau mencabut senjatanya.

“Kita lari, peluru kita akan habis jika terus menghadapi mereka,” perintah si Parman, yang merasa cukup puas telah berhasil menewaskan musuhnya.

Satu persatu gerilyawan itu melarikan diri. Mereka menghilangdi balik lebatnya hutan. Sementara itu di pihak Belanda, mereka telah kehilangan orang penting mereka dan salah seorang serdadu.

Kedelapan gerilyawan itu bersorak penuh kegirangan saat pulang ke markas. Mereka bersorak penuh kemenangan mereka, dan hal itu disambut oleh rekan-rekan mereka yang lain. Komandan Suryo Belong yang baru saja menunaikan hajatnya di sungai sempat mendengar apa yang disebut kemenangan oleh anak buahnya itu.
“Benarkah yang aku dengar tentang si Blegur itu kalau dia barusan membunuh seorang Brigadir Belanda?” tanya sang komandan pada seorang anak buahnya dengan alis mengernyit.
“Ya, komandan. Mereka memang hebat. Kita semua pantas merayakan kemenangan ini bersama mereka.”

“Dungu semua!” geram komandan bergegas pergi menimbulkan tanda tanya pada si Paino.
“Kebodohan macam apa yang telah kaulakukan, ha?” suara menggelegar komandan menghentikan suara ketawa para gerilyawan yang tengah merayakan kemenangan mereka.
“Kami bersenang-senang komandan, mari bergabung bersama kami.”
“Kalian benar-benar dungu! Ceroboh! Apa yang kausebut kemenangan ini akan menjadi sebuah kebodohan yangtak bisa dimaafkan!”
“Apa komandan marah karena kami tak memberitahukan sebelumnya kalau mau menyergap itu. Kami bisa menjelaskan kalau tentang soal itu.”
“Ya, mengapa kau tak memberitahuku dulu?! Termasuk kalian pakai acara membunuh si Brigadir itu.”
“Bersyukurlah komandan, si Blegur itu mempunyai keberuntungan hingga bisa membinasakan si kera berbulu itu.”
“Saat ini kalian bisa menyebutnya sebagai sebuah keberuntungan. Tapi tunggu saja Belanda itu akan mengirim pasukan yang lebih besar dan menyerang kita karena kalian telah membunuh Brigadir mereka. Di setiap pertempuran ada larangan membunuh para Jenderal, Brigadir dan para petinggi lainnya.”
Para gerilyawan itu tak paham sepenuhnya dengan ucapan si komandan. Bagi mereka tetap saja si komandan itu hanya iri dan degil dengan kemenangan mereka yang tak melibatkan dirinya. Para gerilyawan itu makin mabuk. Mereka bersenang-senang untuk merayakan kemenangan mereka membunuh si Brigadir.
Tapi yang menjadi kerisauan si komandan itu terjadi juga. Tiba-tiba hutan jati itu esoknya diserang besar-besaran. Komandan Suryo Belong seketika memerintahkan untuk mundur ke gunung. Dan yang terjadi adalah sebuah kengerian yang besar. Para penduduk di desa itu semua diganyang oleh serdadu Belanda tanpa perikemanusian. Mereka menganggap itu sebagai balas dendam karena gerilyawan telah membunuh Brigadir mereka.
Sebenarnya mereka memang sudah mendapat perintah dari atasan mereka untuk menangkap si pembunuh Brigadir. Mereka seharusnya mengirimkan peringatan dahulu agar si pembunuh itu menyerahkan diri, tapi ternyata hal itu tak dilaksanakan Belanda. Mereka menumpas semua penduduk yang ada di desa itu.
Berita berbunga kutuk itu pun cepat pula diterbangkan angin pawana bersama jerit sedih emprit gantil ke seluruh penjuru hutan jati hingga ke lereng pegunungan, tempat para pejuang gerilyawan tengah bersembunyi. Seperti geledek di siang hari, berita itu diterima sang Komandan Suryo Bélong. Dada sang komandan bergejolak oleh dendam seperti perut Merapi yang ingin muntahkan laharnya. Ia segera mengumpulkan seluruh pasukan untuk merebut hutan jatinya yang telah digagahi penjajah Belanda itu. Pejuang gerilyawan yang bersemangat jihad itu pun telah siap sedia berperang lengkap dengan persenjataannya.
Tetapi saat itu tiba-tiba terjadi gerhana matahari di langit. Semacam gulita menyelubungi para pejuang gerilyawan. Cahaya matahari di langit telah hilang benderangnya.

“Alamat buruk,” begitu perkataan para pejuang gerilyawan memikirkan alamat buruk yang telah mereka kenal. “Alamat burukbagi kita ditawan atau mati. Gerhana matahari ini sudah menunjukan pertandanya bagi kita.”
Matahari siang itu memang terasa bertukar dengan malam bulan sabit. Di udara siang seakan bermunculan bintang-bintang. Hal itu seketika menyurutkan semangat para gerilyawan. Sang komandan mengerti akan kekhawatiran hati anak buahnya itu. Tapi, ia harus tetap maju berperang, membebaskan hutan jatinya, walau dengan mengorbankan jiwa dan raga.

“Kawan seperjuangan, penjara lebih sengsara daripada mati, tetapi siapa dapat mengatakan alamat bencana ini meramalkan kalahnya kita atau kalahnya musuh. Keputusan kita sendiri adakah kita mau dijajah atau merdeka!” Komandan Suryo Bélong lantang angkat bicara.

“Kalau kalian ingin tinggal silakan tinggal, tapi bagi siapa yang ingin berangkat berperang, akan mengikut rombonganku!”
Para gerilyawan mulai terbakar semangatnya. Dari sedikit yang takut akan pertanda jelek gerhana matahari itu, ikut bergabung dengan rombongan.

Sang komandan sadar juga kalau rombongannya akan kalah dalam jumlah pasukan dan senjata. Tapi ia terus membakar nyala semangat mereka. Mereka sudah tak pedulikan lagi alamat gerhana matahari di langit. Pasukan itu bagai banjir bandang menyerbu pasukan Belanda yang saat itu juga lengah dalam mabuk pesta kemenangan di hutan jati. Ia yakin bahwa perjuangan menuntut kemerdekaan ini akan diridhoi oleh Allah Yang Mahakuasa, dan akan memberikan kemenangan kepada pasukannya.

Pertempuran sampai titik darah penghabisan terjadi di hutan jati antara para pejuang gerilyawan yang hanya bersenjata seadanya bertempur melawan Belanda yang bersenjata lengkap dan modern. Maka tersungkurlah pahlawan-pahlawan yang gugur dengan pekik merdeka atau mati. Beratus-ratus nyawa bersimbah darah di ujung pedang atau terbujur tak bernyawa dengan lobang peluru di dadanya. Sang komandan berambut ombak yang bertempur dengan gagah berani itu pun gugur. Sang komandan Suryo Belong memang pahlawan besar dan ia dimakamkan di hutan jati itu dengan penghormatan yang hanya diberikan kepada seorang yang telah berjasa besar bagi bangsa dan negerinya. Karena perjuangan itulah, aku dapat mereguk udara kemerdekaan di hutan jati tempatku setengah abad kemudian. Bahkan, oleh ayahku aku diberikan nama seperti nama sang pahlawan legendaris hutan jati kami itu. Nama depanku Suryo yang berarti matahari!

gambar diambil dari sini

3 thoughts on “Komandan Suryo Bélong

  1. sedjatee

    tokoh-tokoh cerpen ini sangat khas
    mengingatkan jaman perjuangan dahulu
    sukses selalu..

    sedj

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s