(Sebuah pengantar untuk membaca The Known World)
Di jaman sekarang ketika hak asasi manusia dijunjung tinggi di semua negara dunia, kita akan sangat heran apabila menengok ke belakang dan melihat adanya perbudakan. Sejarah banyak mencatat adanya kisah-kisah perbudakan. Pada abad ke empat ketika jaman Rasulullah banyak hadits yang meriwayatkan tentang jual beli budak ataupun kisah beberapa budak, seperti kisah Bilal ketika masuk Islam yang sudah banyak dikenal oleh umat Islam. Atau melompat beberapa abad ke depan dimana beberapa negara maju di Eropa banyak memasok budak dari Afrika dan Ethiopia. Di jaman itu budak menjadi sebuah hak milik kekayaan. Negara sendiri melegalkan adanya perbudakan; sesuatu yang sangat berlainan sekali di jaman sekarang. Persamaan Hak Asasi Manusia mungkin menjadi alasan utama penentangan terhadap perbudakaan, bahwa manusia adalah sama di hadapan Tuhan yang Esa. Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan negara. Namun kisah-kisah perbudakan itu meskipun berada jauh di masa lalu, tapi nyata pernah ada di dunia yang kita diami sekarang ini. Di dunia yang sama kita kenali semua ini.
Beberapa buku sastra mencatat kisah-kisah perbudakan. The Known World (2003) yang diganjar Pulitzer dan Pen Hemingway Award. Dari Rusia Nikolai Gogol menulis The Dead Soul (Jiwa-jiwa mati). Kill The Mockingbird (1960) oleh Harper Lee. Buku-buku itu tentu bukan karena ia menulis perbudakan untuk mendukung perbudakan. Buku-buku itu hanya sebuah alegori indah yang menggambarkan betapa absurdnya dunia ini bila perbudakan itu masih tetap ada di jaman sekarang. Seorang manusia yang hidup sama di dunia kita, tapi kita menamainya sebagai budak. Mereka tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan karena mereka budak, mereka tak boleh memilih pasangan mereka karena mereka berbeda dengan manusia yang merdeka. Niscaya jika di jaman sekarang ini masih terdapat perbudakaan, pasti Tuhan telah salah melahirkan manusia yang berbeda di dunia ini. Karena memang tidak ada yang ingin terlahir sebagai budak. Tidak juga kedua orang tua mereka.
Ketika Abraham Lincoln yang dikenal sebagai bapak penghapus perbudakan di Amerika, dengan pidato terkenalnya saat pencalonan presiden AS itu, bahwa kita adalah manusia yang sama di hadapan Tuhan baik kulit hitam maupun putih, sebenarnya ia tidak sedang berpikir untuk menghapus perbudakan di jamannya itu. Ia bukan anomali terbaik untuk menghapus perbudakaan. Tidak ada orang yang di saat itu berpikir bahwa budak adalah sesuatu yang salah, dan mereka harus dikembalikan haknya seperti orang yang merdeka. Kita akan sangat keliru sekali bila kasus perbudakan di jaman itu dipikir dengan pikiran di jaman sekarang. Kelak ketika Tuhan memberikan pengertian manusia bahwa perbudakan harus dihapuskan dan benar-benar terhapus dari dunia ini semua itu akan diiringi korban nyawa berjuta-juta manusia baik itu jenis budak maupun dari jenis manusia merdeka. Barulah ketika manusia sudah lelah dan bangkrut baik harta maupun nyawa habis untuk berperang, mereka bisa bersepakat untuk menghapuskan perbudakaan dari atas muka bumi. Saat itu sekali lagi manusia menangis untuk tidak berhak lagi memiliki budak seperti mereka juga menangis saat kehilangan budak yang berjasa bagi keluarga mereka. Namun keduanya tidaklah sama.
Dalam kisah Dead Souls (Jiwa-jiwa mati), Nikolai Gogol mengkaitkan kisah perbudakan dengan birokrasi tengik di jaman itu. Sang tokoh itu mencoba mengakali birokrasi untuk meningkatkan statusnya. Ia berkeliling ke daerah untuk membeli budak-budak yang mati yang belum didaftarkan di kantor pusat. Dengan mengandalkan jarak dan waktu antara daerah satu dengan daerah kantor pusat, ia mendantangi semua pemilik budak untuk membeli budak yang telah mati itu (tentu saja dengan harga murah). Dengan demikian ia memperoleh keuntungan sebuah status tinggi yang menakjubkan. Status pemilik budak ini membuat kedatangannya diterima di setiap wilayah sebagai tamu yang harus dijamu layaknya tamu terbaik yang pernah datang ke rumah seseorang, dan ia mendapatkan apa yang diinginkannya (persahabatan, harta benda bahkan cinta) di setiap rumah dengan menunjukkan kekayaannya itu.
Pada buku Known World, menampilkan suasana absurd seorang budak yang memerdekakan diri untuk kemudian menjadi pemilik bagi budak hitam lain. Di jaman itu kaum kulit putih adalah kaum terbaik yang dipilih untuk Tuhan untuk menjadi pemilik budak. Atau pada buku Kill The Mockingbird, Harper Lee mengisahkan bagaimana seorang kulit hitam harus bersalah di persidangan sekalipun, tak peduli dia memiliki kebenaran di mata Tuhan. Karena ia adalah seorang negro ia tetaplah menjadi yang bersalah. Sebuah stigma besar yang tidak akan mudah hilang begitu saja sekalipun dengan surat pernyataan kemerdekaan sebagai budak.
Mundur ke belakang, di jaman Rasulullah ketika Islam dipakai sebagai hukum serta ketetapan negara, kita akan menemukan banyak hadits shahih, yang menceritakan tentang kisah jual beli budak. Rasululloh menetapkan dalam hukum jual beli, kalau budak suami istri harus dijual sepasang tidak boleh dipisah. Bila budak itu sedang hamil ia tidak akan dihargai dengan jual beli satu budak. Sebaliknya jika anak itu kelak akan dilahirkannya, anak itu juga bukan milik orang yang dulu menjualnya.
Di jaman itu keberadaan budak menjadi sebuah hal yang biasa. Rasulululloh juga menghasung untuk tentang bersikap baik kepada budak. Bahkan dikenal juga para perawi hadits dari kalangan budak, karena di jaman itu para tuan pemilik budak wajib mendidik budak-budak mereka itu ilmu (khususnya Islam) dan tidak boleh menyembunyikannya. Sehingga bisa lihat bila tuan mereka seorang faqih maka akan sangat mungkin sekali budak itupun akan menjadi orang yang faqih.
Kita tentu mengenal kisah Bilal yang demi Islam, ia rela dihukum pepe di tengah gurun panas, tapi akhirnya ia dibebaskan oleh Abu Bakar. Islam mengajarkan keutamaan bila seseorang memerdekakan budak amalannya setara dengan ibadah-ibadah lainnya bahkan seperti orang berjihad di jalan Allah.
Islam yang sekarang mungkin berada di belakang negara-negara maju yang sekarang mengklaim dirinya maju dan penuh keadilan bagi warga negara mereka itu, sebenarnya telah memulai sebuah fase yang indah tentang hidup dalam kebersamaan, baik antara budak dan manusia yang merdeka.
Rasululloh mengajarkan satu hal penting kepada kita bahwa manusia yang terbaik itu adalah orang yang bertaqwa kepada Allah dan rasulnya. Dihasung kepada pemuda yang siap nikah untuk memilih budak habsyi yang buruk rupa daripada memilih wanita cantik namun penyembah berhala ataupun kafir.
Sebuah kisah Fatimah bisa menjadi pelajaran berharga bagi diri kita sekarang. Ketika sang putri Rasul itu mengeluh harus bekerja keras untuk keluarganya dengan menggiling gandum, ia mencoba mengadu kepada ayahnya. Sang putri Rasululloh itu hendak meminta seorang pembantu untuk meringankan bebannya agar tangannya tidak lecet saat menggiling gandum. Toh ia adalah putri rasululloh, putri seorang pemimpin umat yang pastilah amat mudah untuk memberikan satu dua orang budak sebagai pembantu untuk Fatimah.
Satu kali ketika ia sudah sampai di depan pintu rumah beliau, Fatimah harus mengundurkan niatnya itu karena saat itu Rasululloh sedang menerima tamu yang sedang belajar tentang Islam. Dua tiga kali, ia terpaksa membatalkan niatnya lagi karena saat itu ayahnya sedang menerima tamu. Hingga akhirnya suami Fatimah sendiri, Ali bin Abi Tholib yang menyampaikan hal itu pada Rasul.
Beliau Rasul saat itu tidak menjawab. Ali pun tidak berani mendesak karena melihat wajah beliau yang berubah merah yang bagi Ali adalah pertanda ia tidak mungkin mendesak lagi.
Akhirnya suatu malam Rasululloh sendiri datang ke rumah putri satu-satunya yang sangat ia cintai, buah kasih dari Khadijah. Ra itu. Saat itu Fatimah sedang tidur dengan suaminya. Diriwayatkan saat itu selimut Ali dan Fatimah adalah kain sederhana dengan ukuran pas-pasan, yang jika ditarik ke atas untuk menutupi bahu mereka agar tidak kedinginan, pastilah kaki mereka akan terjulur kelihatan. Sebaliknya jika ditarik untuk menutupi kaki mereka, niscaya wajah mereka keduanya akan mudah diterpa angin dingin.
Karena kedatangan beliau, suami istri itu hendak bangkit untuk menyambut Rasululloh. Namun Rasululloh melarang mereka. Rasulloh berdiri antara mereka dan Fatimah maupun Ali menatap beliau sembari berbaring. Sabda beliau.
“Hai putri rasululloh, maukah kalian kuberitahu sesuatu yang lebih baik daripada seorang pembantu.”
Suami istri itu tentu saja mengiakan. Bagi mereka jika Rasululloh memberikan sesuatu pastilah hal itu lebih baik dari apa yang mereka minta itu. Dan apa yang diberikan Rasululloh kepada Fatimah itu? Apakah Rasul memberikan Fatimah dan Ali dengan fasilitas untuk mempermudah pekerjaannya.
“Ketika hendak berbaring di tempat tidurmu, maka bertasbihlah 34 x, bertahmid 33 x, dan bertakbirlah 33 x, niscaya Allah akan mencukupimu” sabda beliau.
Beberapa kita mungkin akan berpikir, apakah Rasululloh hendak bercanda? Jangan-jangan Rasul hendak memperdaya Fatimah? Apakah juga Fatimah dan Ali akan berpikir bahwa Rasul adalah orang yang pelit. Penguasa dunia kok dimintai pembantu saja malah mengajak kita bercanda.
Diriwayatkan dalam beberapa hadits setelah Rasululloh mengajarkan amalan itu kepada Fatimah dan Ali, sampai keduanya meninggal kelak mereka berdua tidak pernah meninggalkan amalan itu. Bahkan sesudah Rasul meninggal Fatimah juga tidak merasai memiliki pembantu agar ia terhindar lecet ketika menggiling gandum untuk keluarganya.
Wallohu ‘Alam bishowab.
sejarah perbudakan islam yang akurat
banyak orang hanya memandang sisi minornya
semoga bisa mendapat hikmah kebenaran
dibelakang sejarah yang sebenarnya
salam sukses
sedj
http://sedjatee.wordpress.com
Tidak ada ahlak yang sempurna sesempurna ahlak Rasulullah SAW.
ulasan yang muantaaps …. jadi kepingin baca bukunya
hatur tararengkyu 😉
subhanallah, buku yang sangat mencerahkan. review-nya sangat detil dan menarik. jadi inget buku “uncles’s tom cabin” yang terkenal itu.
bagus banget