Pupil mata Sanyoto membesar melihat debu yang naik ke udara di kejauhan diikuti kemunculan sebuah truk besar polisi berwarna coklat. Namun ia memandangnya dengan mencibir. Ya, ia kesal dengan kedatangan mereka yang terlambat. Atau seharusnya ia tak perlu terkejut dengan hal itu.
Ketika penumpangnya telah turun Sanyoto hanya bangkit berdiri, sama sekali tak menyambut. Mereka kebanyakan berumuran lebih muda dari Sanyoto, nampak muda, gagah, dan bersenjata. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian Sanyoto sekarang, melainkan seorang sersan yang menghampirinya dirinnya sekarang.
Sersan Broto ditugaskan di daerah kerusuhan. Ia kenal dekat dengan Sanyoto, bahkan sebenarnya pernah berhutang nyawa pada lelaki kecil itu. Sanyoto menatap lekat wajah lelaki besar itu. Ia setinggi kepalanya dan harus mendongak. Broto menghindari tatapan mata Sanyoto, meski tak hendak menatap benar pada reruntuhan rumah-rumah di sekelilingnya yang baru digusur buldozer itu.
“Aku dan anak buahku akan mendirikan tenda pengamanan di sini.”
Sanyoto tersenyum sinis. “Ya, aku tak yakin apakah kalian bisa membantu kami. Kedatangan kalian benar-benar tepat waktu.”
Broto menghadap kembali kepada Sanyoto. Ia menepuk bahu lelaki kecil itu yang nampaknya akan sering ia temui akhir-akhir ini.
“Tenang saja kawan, kali ini kau bisa mengandalkan aku.”
Sanyoto jujur berharap perkataannya temannya ini benar. Tapi, entah mengapa kepercayaan itu begitu samar. Seperti ia meyakini bahwa dirinya adalah satu dari berpuluh orang yang berada di pemukiman ini, yang nasibnya sebentar lagi akan menjadi gelandangan sehabis rumah kardus mereka kena gusur. Ia tahu, para aparat adalah alat penguasa. Dan tak pernah terukir dalam sejarah ada aparat yang berani melawan majikannya.
“Aku punya rencana bagus kali ini. Kau harus membantuku. Tapi aku perlu mengurus anak buahku dulu. Nanti malam kita harus ketemu.”
Broto pergi meninggalkan Sanyoto yang masih tercenung sendirian dan mulai bergabung bersama anak buahnya yang sibuk mendirikan tenda.
Sanyoto mengamati mereka, menerka harapan akan muncul dari semua pertanda-pertanda itu. Dan anehnya hatinya terasa gamang akan segala sesuatu yang berjalan. Sebaliknya semua itu makin meyakinkannya kalau ia harus bergerak sendiri.
Ia mengerti para polisi itu hadir bukanlah karena ia menelpon. Jika mereka datang karena ia menelpon, tentu tak akan datang selambat ini. Tidak setelah semua rumah dirubuhkan buldozer. Naif sekali jika ia berharap pada para aparat itu sekarang.
Atau mungkin Broto termasuk bagian alat kekuasaan anjing-anjing pengusaha itu.
Lamunan Sanyoto terpecah mendengar teriakan pertengkaran tak jauh darinya berdiri mematung. Dua warga bertengkar berebut sepotong pintu. Perkelahian itu hanya membuat para polisi mendekat dengan wajah tertarik ingin menonton tinju gratis itu ketimbang mau melerai. Dan bodohnya dua orang lelaki itu masih saja saling ngotot mempertahankan pintu yang mereka temukan di puing reruntuhan, seolah sepotong pintu itu begitu berarti dan bisa mengembalikan rumah mereka yang telah habis.
Sanyoto meludah ke tanah penuh kemuakan. Ia kemudian bergegas pergi dari tempat itu memang karena ada sesuatu yang harus ia segera kerjakan.
***
“Kau jangan melakukan tindakan bodoh, Sersan Broto! Kau menyesal nantinya! Kau dengar!”
Broto bergeming dengan ancaman komandannya. Ia juga tahu ada konsekuensi yang memang berat untuk ia tanggung. Banyak hal yang akan hilang, jabatan atau mungkin juga keluarganya. Dan mungkin masih ada lagi. Ia tak ingat. Tapi ia tahu, hanya saat inilah ia punya kesempatan membalas hutang budi Sanyoto itu.
“Broto, kaudengar aku!”
Broto sudah tak mendengar suara atasannya. Ia mengingat malam hujan itu, ketika ia dikejar-kejar empat orang penjudi yang ingin membunuhnya. Tak menyangka dua penjudi yang telah ia hajar di klub malam itu kembali membawa senjata api. Hingga akhirnya napasnya habis saat dikejar sampai di pemukiman kumuh ini.
Saat terpojok itulah seorang lelaki kecil memanggilnya.
“Masuklah lewat sini!”
Tak ada pilihan, Broto menuruti perkataan orang asing itu. Ia masuk ke dalam rumah kecil itu. Tapi rumah itu sangat sempit, seakan hanya sebuah kubus seng yang kebetulan saja ditempati manusia. Ia menatap lelaki kecil itu dalam keremangan dan memikirkan tentang kandang yang disebut rumah ini sebagai tempat menyelamatkan jiwa.
Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Broto lelaki kecil itu menyuruhnya masuk ke dalam sebuah lemari pakaian yang lusuh. Broto terpaksa patuh dan tak bisa mengelak ketika tubuhnya yang besar harus tersiksa dengan lemari yang sempit dan paku-paku yang mencuat mengenai punggungnya. Tapi apakah ada yang lebih baik daripada semua itu saat nyawanya sedang diujung timah panas.
Ia juga mendengar di luar suara bentakan dan suara ribut ketika salah seorang dari penjudi menendang lelaki kecil itu hingga jatuh merobohkan pintu depan.
Broto berhasil lolos berkat pertolongan lelaki asing yang baik hati itu. Tapi ketika Broto ingin mengucap terima kasih setelah para penjudi itu pergi, tahulah siapa malaikat baik hati yang menolongnya itu.
Broto hampir tak percaya. Sungguh kejadian ini peluang terjadinya mungkin satu di antara seribu. Ia hampir meloncat gembira. Benarlah lelaki kecil di depannya itu, yang telah menolong nyawanya itu adalah sahabat dan juga tetangganya di desa.
“Sanyoto!!”
“Broto!!”
Tertawa mereka berangkulan. Hampir semalaman itu Broto bercakap dengan Sanyoto. Tahulah ia jalannya Sanyoto sampai di Jakarta ini. Sanyoto datang mengadu nasib di Jakarta ikut temannya berjualan mie ayam dorong. Tapi nasib tak berpihak ketika suatu kali ia dan tetangganya kena razia satpol PP.
“Kau sangat beruntung. Sudah lama tak kudengar kabarmu di desa. Sekarang kau sudah menjadi orang yang mapan di Jakarta ini.”
Broto merasa tersindir dengan perkataan Sanyoto itu. Semua tahu sebagai polisi kroco yang nyambi jadi penjaga keamanan diskotik seperti dirinya ini sangatlah jauh disebut mapan. Dan hampir saja karier sampingannya sebagai penjaga keamanan diskotik berakhir selamanya kalau ia tak berhasil melarikan diri.
“Sersan Broto!!” bentakan suara di seberang membuyarkan lamunan Broto. “Kaudengar perintahku!”
“Maaf komandan.”
Broto menutup telepon. Ia mengikuti langkah kakinya yang berat tersaruk-saruk di antara puing reruntuhan itu demi mengikuti nalurinya. Edan! Ya, ia sudah edan, pikir Broto tersenyum. Namun ia dapat merasakan sesuatu menyegarkan dalam dadanya untuk pertama kalinya selama kariernya jadi polisi di Jakarta ini. Malam ini ia akan berpihak pada rakyat yang tertindas. Ia merasa ringan bahwa tali kekang pada lehernya itu sudah hilang.
***
“Kawan-kawan, kita tak bisa tinggal diam lagi! Sudah lama kita ini dianggap mati di negara ini. Tidak, kita tak akan pergi dari tempat ini. Sebaliknya, malam ini kita akan bergerak! Kita akan buktikan bahwa kita juga bagian dari bangsa ini. Ya, kita akan hancurkan pos-pos dan patok-patok perumahan itu!” provokasi Sanyoto.
“Ya, ayo kita bakar!!” teriak lantang para massa bersahutan. Di tangan mereka teracung sangar berbagai macam senjata. Ada yang membawa bom molotov, parang, pentungan, dan potongan besi. Entah dari mana mereka mendapatkan semua itu.
Sanyoto memimpin mereka untuk menuntut keadilan. Atau ia dan para warga hanya ingin mencari maklhuk yang bernama keadilan itu dengan cara mereka sendiri. Kira-kira semua ada lima belas orang yang akan digerakkan untuk menghancurkan pos keamanan dan gudang barang.
Di sepanjang jalan tol ini, dua kilometer dari perumahan kumuh ini sudah mulai menjamur tempat-tempat istirahat berbagai nama dari Holiwood. Semua tahu kawasan pemukiman kumuh yang baru digusur buldozer ini adalah bagian selanjutnya dari kebiadaban ini.
Dan malam ini Sanyoto dan warga ingin membuktikan bahwa mereka juga punya kekuatan untuk bergerak melawan ketidakadilan dan kezaliman.
Namun saat keluar dari rumah reyot itu sebuah teriakan lantang menghentikan langkah Sanyoto dan warga.
“Tunggu kalian! Berhenti !!”
Alis Sanyoto bertaut. Ia kecewa telah kepergok Broto yang pasti akan menghentikannya.
“Kau akan berhadapan dengan kami Broto! Jangan pernah hentikan kami,” tantang Sanyoto jika Broto yang sampai detik ini masih menjadi sahabatnya itu akan berbalik menghalangi.
Broto masih bersikap tenang dan berjalan mendekati Sanyoto.
“Jangan coba-coba hentikan kami!” pekik Sanyoto memberi isyarat agar Broto mundur.
Broto memberi isyarat bahwa ia bukan musuh.
“Tenang, aku di pihak kalian.”
“Ya, dengan menghentikan kami, dengan alasan agar persoalan diselesaikan dengan bicara baik-baik, begitu! Tak ada gunanya. Kami sudah jenuh mendengar semua tetek bengek taik itu!”
Broto menatap sahabatnya itu. “Kau tak percaya padaku, kawan?”
Broto melepaskan senjata yang terselempang dari balik jaketnya dan menyerahkannya pada Sanyoto. “Malam ini aku ikut bergerak bersama kalian.”
Sanyoto masih merasa tak percaya jika di Jakarta ini ada polisi yang berpihak kepada rakyatnya. Ya, ia hampir tak percaya.
“Kau tak mungkin….”
“Aku sudah siap menerima resiko apapun.”
Sanyoto mengeryitkan dahi masih tak mengerti. Lalu semuanya telah bergerak kembali. Mereka menuju ke pos-pos yang telah menjadi sasaran mereka.
Broto melakukan sesuatu di luar sistemnya. Perintah atasannya sebenarnya adalah sesegera mengevakuasi warga pergi dari tempat itu. Pertama rumah kumuh ini akan dibakar. Warga dievakuasi pergi. Kemudian mereka dilarang untuk mendiami tempat ini lagi. Tapi, beberapa bulan kemudian di kawasan ini akan sudah ada pasak dan tanda bahwa kawasan ini akan dibangun supermall yang besar dari Amerika seperti yang biasa terjadi di Jakarta ini.
Ya, semua sudah mengenal bahwa Jakarta adalah tanah yang dijanjikan, yang mengundang para penjajah berperut lapar dari seantero dunia untuk menguasai Jakarta. Dan seperti itulah Jakarta telah menjadi ancaman, kutukan, dan kehinaan bagi para warga negaranya yang lemah tak bermodal.
Namun Broto, Sanyoto dan belasan warga lain tak akan perduli lagi dengan semua itu. Mereka bersatu bergerak bersama obor bom molotov. Sekejap langit malam itu menghitam penuh dengan jelaga dari api yang berkobar di bawahnya. Memang hanya satu sudut kota Jakarta saja. Namun seakan seluruh kota pun terasa ikut gerah terbakar.