ditempel juga di harian Solopos 14/11 2010
Sinar rembulan menengok masuk ke dalam kamar saat tirai jendela kamar Sanyoto tersibak ditiup angin. Sanyoto tengah terbaring memandangi langit-langit kamar yang tak berplafon. Ratmi, istrinya, sedang memunggungi.
Sengaja jendela dibuka karena malam ini cuaca amat gerah. Sanyoto hanya memakai singlet dan sarung yang dililitkan ke pinggang. Ratmi memakai daster kesukaannya yang telah menjadi tipis dan luntur warnanya itu. Betapapun mereka adalah bukan pasangan suami istri yang kaya. Kamar mereka biasa. Isi pernak-pernik kamar itu pun milik orang biasa.
Sanyoto lekat matanya pada plafon. Namun jelas pandangan matanya itu jauh menembusi atap, jauh melintasi malam.
“Menurutmu orang-orang marah pada kita karena tidak pulang lebaran kali ini?” tanyanya lesu.
Tak ada jawaban. Sanyoto berpikir pastilah istrinya itu marah padanya karena lebaran kemarin tak mengajaknya pulang. Soalnya adalah biaya. Uang mereka tak cukup, karena ia menggunakannya untuk membeli gerobak jualan, sedang istrinya sudah ngebet sekali pengin mudik ke kampung.
“Kalau ditanya jangan diam saja.”
“Aku cuma tidak ingin bicara. Apa aku salah?”
“Ya, tidak salah. Tapi aku kan ngajak ngomong kamu.”
“Buat apa diomongin. Katanya mau mudik bulan kemarin, tapi apa nyatanya? Cuma omong doang kan!”
“Iya, semua ini kan rencana yang tidak terduga. Toh semua kulakukan untuk kebaikan kita bersama.”
“Mas Sanyoto egois! Ini bukan untuk kebaikan bersama. Simbok kemarin nitip sms sama Sri, aku ditanya kenapa sudah lima kali lebaran kok tidak pulang? Aku jawab: tiket kereta habis. Sekarang kalau ditanya lagi aku harus bohong apa lagi?”
Sanyoto menelan ludah. Memang sudah lima tahun ini mereka tidak pulang. Ya, sebenarnya kalau hanya sangu pulang bayar tiket kereta dua orang itu sih mudah, tapi yang mahal itu oleh-oleh buat yang di rumah. Apa yang akan mereka bilang, kalau pulang dari Jakarta, sudah bertahun-tahun tidak membawa apa-apa.
“Aku bisa gadaikan cincin kawinku dulu kalau sampeyan tidak punya uang,” lanjut istrinya seperti dapat menebak apa yang dipikirkannya. “Tidak apa. Yang penting kita bisa pulang nengok rumah. Bawa oleh-oleh nggak usah banyak-banyak. Lagian adikku yang laen sudah kerja semua. Kita tinggal beli buat simbok aja.”
Sanyoto menghela napas. Ia tidak menyela karena tahu istrinya akan marah. Ia juga ingat cincin kawinnya sendiri telah ia juga gadaikan buat modal jualan bakso keliling itu. Dulu pada awalnya ia harus merugi terus hampir selama satu bulan. Terpaksa ia gadaikan cincin kawinnya.
“Baiknya, akhir bulan Besar ini kita pulang, semoga saja aku bisa membeli beberapa pakaian untuk simbokmu.”
Sanyoto menengok pada Ratmi yang masih memunggunginya. Ia menyentuh bahunya yang kuning telanjang. Tercium wangi rambut istrinya. Sanyoto mengecup bahu kuning itu. Selanjutnya, apa yang ia lakukan hanya Tuhan yang tahu setelah ia menutup daun jendela itu.
Saat yang ditunggu telah tiba. Ratmi akan mudik ke Solo bersama suaminya buat pertama kalinya setelah 5 tahun di Jakarta. Dengan sangu penjualan cincin kawin dan sedikit hasil kerja suaminya mereka membawa dua buah kain batik untuk jarit simboknya, sedangkan untuk oleh-oleh makanan mereka memutuskan untuk membeli di Solo agar tidak terlalu merepotkan di perjalanan. Karena mereka belum punya momongan perjalanan itu pastinya tidak terlalu sulit.
Mereka memutuskan naik kereta. Asumsinya tidak macet dan lebih aman dari kendaraan bis. Juga tidak banyak antrian karena mereka adalah pemudik terakhir. Malah arus balik ke Jakarta sampai sekarang yang ramai. Melihat suasana itu serasa bercermin pada diri mereka sendiri.
“Hati-hati dompet kamu Rat. Banyak copet juga di kereta,” pesen Sanyoto.
Mereka senang dapat duduk satu bangku. Di sebelahnya seorang perempuan. Tidak perlu khawatir karena perempuan itu tidak punya tampang pencopet.
“Aku kangen desa. Pengin cepat sampai mas.”
“Iya Rat. Sebentar lagi berangkat.”
“Tapi katanya kereta api kita memang sering terlambat ya mas?”
“Ah, nggak usah ngomongin itu. Kita nunggu saja.”
Kereta akhirnya berangkat setelah cukup lama menunggu. Ratmi menyandarkan kepalanya di pundak suami karena merasa pegal. Dalam pikiran masing-masing sudah sangat ingin mereka menginjakkan kaki di tanah kelahiran itu. Ah, itu tidak lama lagi.
Ratmi mengingat ketika pertama kali diajak mas Sanyoto. Sebagai istri tentu saja ia harus manut pada suami. Orang tuanya pun tak keberatan asal Ratmi dijaga baik-baik dan diberi makanan yang halal biarpun kerjanya bakal serabutan di Jakarta. Dan memang pertama kali mereka di Jakarta, tidak langsung Sanyoto itu kerja menjadi penjual bakso keliling. Sanyoto kerja di proyek. Untuk bayar kontrak harus selalu tombok di akhir bulan. Untung ia sendiri bisa kerja sedikit jadi tukang binatu dari beberapa tetangga yang mau menjadi langganannya.
Ya, selama di Jakarta ia lakukan dengan susah senang bersama. Banyak dukanya ketimbang susahnya. Tapi itulah kehidupan manusia.
Sanyoto melingkarkan lengannya ketika Ratmi yang sedang melamun itu meringsek ke dalam pelukannya. Sebagai suami ia telah berusaha menyenangkan istri sebaik mungkin. Ya, dia memang bukan orang kaya. Jadi ukuran senang itu juga standar orang biasa. Untunglah ia sudah bisa ngontrak rumah. Di Jakarta ini bisa berabe kalau tidak punya rumah kontrakan. Dan ia juga berjanji pada dirinya sendiri akan bekerja lebih keras lagi dengan gerobak baksonya yang baru. Ia akan berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk celengan masa depan mereka. Termasuk juga kepinginan untuk mempunyai anak sudah sangat menggebu-gebu dari orang tua mereka. Ia akan wujudkan itu segera buat mereka.
Sanyoto tengah meregangkan badan dari tidurnya. Saat itu kereta sudah lepas dari stasiun Gambir. Waktu sudah dini hari. Sanyoto pengin melihat ke luar. Tampak cahaya-cahaya dari gubug dan rumah seperti kunang-kunang. Pasti di desanya juga banyak kunang-kunang, pikirnya seketika.
Namun sesuatu terjadi dengan cepat di waktu tergelap saat malam itu. Sebuah kendaraan mini bus nekat melewati rel tak melihat palang sepur. Tapi bersamaan itu sang sopir hanya mendengar suara gemuruh melandanya hanya dalam hitungan detik. Sebuah ular besi raksasa menghantam mobil mereka seperti kardus dipenyok dengan besi.
Suara benturan memekakkan telinga kemudian baru membangunkan penjaga palang yang lalai. Namun semua sia-sia. Ia gemetar melihat kenyataan di depannya. Bangkai ular mini bus itu tersuruk di pinggir rel. Terdengar jeritan dari mana-mana. Ketika ia berlari mendekat hendak menolong yang tersisa, ia jumpai pertama kali sepasang suami istri yang tengah berpelukan, tubuh mereka terjepit besi berlumuran darah. Dialah Ratmi dan Sanyoto yang baru sempat mudik di bulan ini.
gambar di ambil dari sini
Silakan kunjungi sehat di http://www.wisnuvegetarianorganic.wordpress.com/
terima kasih atas kunjugannya. salam 😀
kisah cinta yang berakhir tragis..
kisah demikian seringkali terjadi
terlebih di kendaraan yang dianggap “sepele”
haruskah rakyat kecil menjadi korban?
salam sukses.
sedj