Sudah dua hari ini, si kaki seribu menginap di rumahku. Sebulan sebelumnya ia menumpang di rumah temannya. Ia juga bercerita padaku kalau telah mendaftari rumah teman lainnya, yang akan ditinggalinya untuk sebulan ke depan.
Mungkin saja pertama kali mendengarnya aku akan tertawa. Tapi aku telah mengenal siapa si kaki seribu alias Ting Chun Wang ini.
Nama asli Chun adalah Ting Chun Wang. Tapi selain nama asli, semua China perantauan pasti mempunyai nama alias, begitu juga Chun. Oleh orang tuanya Chun diberi nama Sugiharto. Asal kata dari Sugih + Harta.
Orang tua Chun memang berharap anak semata wayangnya ini akan menjadi orang yang pandai mencari harta atau orang yang berharta. Dan Shakespeare mungkin salah dalam hal ini. Ternyata nama yang melekat pada seseorang itu bisa membentuk karakter bagi pemilik nama itu sendiri. Chun adalah contoh terbaik itu.
Saat masih SMA Chun sudah getol bekerja dan pintar mencari uang sendiri. Ia dikenal mempunyai etos kerja yang tinggi. Itu terlihat kalau berjalan dari tempat kerjanya yang meskipun berjarak dua kilometer, niscaya dapat ditempuhnya cuma sepuluh menit perjalanan. Ia tak hiraukan keringat yang berleleran di dahi dan menjatuhi matanya yang sipit atau bajunya basah oleh keringat seperti orang habis mandi. Hampir tak pernah Chun terlambat datang ke sekolah, maupun ketika merampungkan tugas-tugasnya. Karena kelebihan itulah Chun mendapat julukan si kaki seribu dari kami.
Sekarang Chun memang menginap di rumahku, dan seperti yang kukatakan sebelumnya ia beberapa kali telah ‘nomaden’ dari rumah teman-teman kami. Aku tidak heran jika Chun dapat tinggal dan diterima di mana saja karena Chun memang seorang pribadi yang jujur dan terbuka.
Tapi Chun mengatakan besok sudah mau pergi lagi. Hanya tinggal malam ini saja ia akan tidur di tempatku.
***
“Ada yang ingin kuceritakan padamu.”
Wajahnya masih berkeringat habis membantuku bersih-bersih rumah. Senja remang saat itu menguatkan karakter wajah pekerja keras yang kukuh padanya.
“Kau tahu kedua orang tuaku sudah meninggal, Pong?”
Aku mengatakan tidak tahu. Karena memang sejak kami berpisah dari SMA banyak berita teman-teman kami yang tak sempat kami ketahui satu persatu.
“Aku turut berduka cita Chun,” kataku bersimpati.
“Mereka meninggal mei tahun 1998, ketika kita mau lulus sekolah –itu kira-kira sebelas tahun yang lalu”.
Aku menatap wajah Chun yang seperti dihinggapi mendung tiba-tiba pada wajahnya yang kuning pucat itu. Kali ini warna langit senja seakan mengekalkan malam lebih dulu pada wajah Chun. Ya, aku tahu ia pasti sedang mengenang kematian ayah ibunya itu.
“Kau tahu penyebabnya?”
Kembali aku hanya bisa menggeleng.
“Mereka bunuh diri!”
Tak dapat kusembunyikan rasa terkejutku. Namun kemudian aku bahkan menahan napas ketika ia kemudian bercerita lebih detail lagi penyebab kematian kedua orang tuanya itu.
Chun bercerita saat geger mei 1998 itu tidak hanya usaha dan bisnis pangkalan minyak mereka yang dijarah oleh para pribumi yang sedang kerasukan setan itu. Sungguh biadab sekali, ibu Chun mereka perkosa beramai-ramai. Akhirnya karena kedua orang tua Chun yang tak kuat menanggung beban kehidupan sejak kerusuhan itu pilih melakukan bunuh diri bersama.
Kemudian Chun yang ditinggal mati oleh orang tuanya diambil oleh seorang Jawa yang bernama pak Jarno, seorang pengusaha mebel yang sukses dan terkenal di kotaku ini, yang kemudian juga memberinya pekerjaan. Chun sebenarnya masih kerja di tempat mebel itu sampai dua bulan yang lalu ketika ia pilih keluar dan memilih hidup nomaden.
“Kau tahu, saat aku mengatakan mau keluar dari kerja itu, pak Jarno malah menawariku posisi sebagai pemimpin di perusahaan mebel itu, tapi aku menolak,” kata Chun enteng melanjutkan ceritanya.
“Kamu tak serius kan, Chun?”
Chun tak menjawab. Ekspresinya datar seperti biasanya. Aku tahu di antara teman-teman kami Chun adalah kawan kami yang paling jujur. Ia sangat jarang sekali berbohong. Dan kalaupun pernah terhitung berbohong, ia punya alasan kuat untuk itu.
“Mengapa kau bodoh sekali tidak menerima tawaran itu,” kataku yang entah mengapa tiba-tiba menjadi kesal pada Chun.
Dan aku makin mengernyitkan dahi karena Chun malah tertawa kemudian. Aku betul-betul tak bisa mengajuk apa makna tertawa itu. Apa dia sudah gila atau memang hanya ingin bercanda.
“Sebentar….”
Aku bertambah penasaran saat Chun malah bangkit dan masuk ke dalam kamar. Kubayangkan nasib Chun yang seandainya menjadi pimpinan di perusahaan mebel pak Jarno itu. Mungkin ia akan memberiku pekerjaan yang bagus jika aku minta kerja sama dia.
Chun telah kembali. Di tangannya sebuah map tebal bersampul sutra. Terlihat tua tapi masih terawat. “Bukalah,” katanya.
“Maksudmu aku membacanya?”
Chun mengangguk. Akupun hanya patuh menuruti apa yang diperintah Chun yang aneh itu. Dan sehabis aku selesai membaca kata demi kata tulisan tangan yang ternyata merupakan sejarah keluarga Chun yang datang ke Indonesia tahulah aku rahasia dibalik sikap aneh Chun yang menolak kamukten yang diberikan pak Jarno kepadanya.
“Jadi kau betul-betul keluar dari perusahaan mebel pak Jarno?” tanyaku tak tahu perasaan apa yang kubisa kugambarkan setelah menatap kenyataan pahit hidup temanku itu setelah membaca tulisan dari map sutra itu.
“Lebih dari itu, aku tidak akan bisa hidup tenang sebelum membalaskan dendam kedua orang tuaku.”
“Tapi bukahkah pak Jarno itu bapak kandungmu sendiri, Chun. Kau tak bisa melakukannya…”
“Pong! Kukatakan ini padamu terakhir dan tak akan kuulangi lagi. Yang kupahami sampai aku mati, kedua orang tuaku itu mati bunuh diri!”
Akupun diam. Ya, setelah aku membaca surat-surat dalam map tebal itu, nama pak Jarno memang mempunyai hubungan erat dengan Chun. Tak lain pak Jarno adalah ayah kandung Chun sendiri.
Ketika suami istri China itu datang pertama kali ke kota ini, pak Jarno, yang juga seorang pengusaha mebel yang terkenal seantero kota, tertarik dengan istri China pendatang yang cantik, kuning dan bermata sipit itu, yang kelak tak lain ibu kandung Chun. Pak Jarno menjebak mereka dengan memberi pinjaman untuk mereka membuka usaha pangkalan minyak. Tapi, di belakang itu Jarno berniat busuk pada istri China itu. Akhirnya ketika tiba waktunya, pak Jarno yang tak punya hati nurani manusia, memaksa ibu Chun melayani nafsu syahwatnya. Jika menolak ia akan melaporkan polisi dan memaksa mereka harus segera membayar hutang-hutang itu, dan kalau tidak mau, keduanya akan dijebloskan ke penjara.
Dengan terpaksa dan menelan pahit air mata, ibu Chun melakukan pengorbanan untuk menyelamatkan hidup dan usaha mereka.
Bukan itu saja penderitaan yang mengepung keluarga Chun, kembali pada mei 1998 itu, tragedi keluarga Chun seakan berulang. Malah lebih mengerikan. Pak Jarno dengan licik menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Saat terjadi kerusahan rasial pada mei kelabu itu, ia yang pada dasarnya masih berhasrat pada ibu Chun, yang masih memiliki hutang berbunga belum terlunasi pada pak Jarno, kembali memaksa ibu Chun untuk menjadi istri ketiganya.
Tentu saja sebagai orang waras ibu Chun menolak tawaran lelaki bajul buntung itu. Dan karena sakit hati ditolak, pak Jarno menghasut para warga pribumi yang saat itu sangat benci sekali pada warga keturunan. Di bawah hasutan pak Jarno, para pribumi yang sudah kerasukan setan itu menjarah harta benda keluarga Chun dan menyeret ibu Chun beramai-ramai untuk mereka perkosa.
Tak kuat menanggung derita yang berat itu, akhirnya ayah ibu Chun bunuh diri bersama-sama dan meninggalkan surat wasiat ditujukan kepada Chun. Surat itu ternyata ada dua buah. Yang pertama buat Chun. Sedang yang kedua agar Chun memberikannya pada pak Jarno yang memohon pada pak Jarno agar menerima Chun.
Ternyata Chun diterima pak Jarno. Malah pak Jarno, sebagaimana dikatakan oleh Chun padaku, hendak menjadikan Chun sebagai pimpinan di perusahaan mebelnya. Mungkin juga karena pak Jarno tahu kalau Chun cakap dan ahli memimpin perusahaan ketimbang anak-anak pak Jarno dari dua isterinya yang lain atau mungkin hendak membayar kesalahannya.
Sesudah mendengar semua penuturan dan kepahitan Chun, aku menyampakan rasa simpatiku dan harapanku agar Chun mau menempuh jalan lain selain balas dendam itu. Kurasa dengan membalas dendam persoalan tak akan selesai.
“Ya, Terima kasih atas saran dan kebaikanmu, Pong. Sepertinya tidak hanya engkau, semua orang yang kutemui, juga menyarankan seperti itu. Tapi aku tetap melakukannya karena hanya dengan membalas dendam inilah arwah kedua orang tuaku bisa tenang di alam baka.”
“Itu keyakinan keliru Chun,” sergahku.
Chun berkeras. Akupun selebihnya tak bisa memaksanya lagi. Aku jadi merasa iba dengan keadaan kawan di depanku itu. Sudah lama kami berteman. Tak kusangka selama ini ia memendam akar kepahitan yang begitu dalam menghujam jantungnya di balik sosoknya yang berprestasi dan sederhana ini.
Chun sebenarnya adalah tokoh klasik korban-korban hidup dari sebuah tragedi kebiadaban jaman. Meski tragedi itu sudah berlalu, ternyata masih ada yang tinggal di sana. Akar kepahitan yang ternyata belum seluruhnya bisa terhapus, bahkan oleh waktu. Kebiadaban itu sendiri bisa kita ibaratkan diri kita yang memaku pada sebuah dinding yang bersih. Walaupun kita sudah minta maaf dengan mencabut paku-paku itu, tapi masih ada bekas-bekas rusak yang tertinggal di dinding yang semula bersih itu.
Dan berapa banyak bekas rusak yang telah kita tinggalkan dari kebiadaban-kebiadaban yang kita lakukan selama ini?
Chun juga mengatakan padaku kalau ia telah mengumpulkan teman-teman yang akan membantunya guna melibas pak Jarno. Teman-temannya itu ia rekrut dari musuh-musuh pak Jarno sendiri. Dengan cara begitu ia akan lebih mudah untuk membalaskan dendamnya.
Senja itu seolah aku baru kali pertama mengenal Chun. Meski dalam hati aku ragu akan temanku yang kini hanya bersandal jepit dan menumpang tidur ini, bahwa dirinya akan berhasil membalas dendam pada pak Jarno yang merupakan seorang pengusaha mebel kondang di kotaku. Tapi Chun, seperti julukannya: si kaki seribu, ia memang telah menempuh perjalanan panjang yang tak bisa kubayangkan oleh orang biasa sepertiku.
Karanganyar, mei 2009-2010
sebuah perjalanan hidup yang memukau
inspiratif, Kang
sedj
terima kasih semangatnya om sedjatee. 🙂
Ini seperti membaca novel fiksi… 🙂
luar biasa penderitaan yang dialami oleh Chun. ah, meski demikian sakit, semoga Chun tak melakukan pembalasan di luar batas kemanusiaan, dan pak Jarno lekas insyaf dari kekejamannya.
dan ini memang fiksi pak.. tapi usul yang bagus kalau dijadikan novel.. he hehe..