Hujan Salah Musim

Minggu, 06/02/2011 09:00 WIB – *harian joglosemar


Hujan turun lagi di minggu ini. Udan salah mangsa, hujan yang turunnya tidak di musim penghujan tapi musim kemarau. Bau tanah meruap, orang-orang menyebutnya ampo, tercium wangi terasa ke relung hati.
Manusia yang mempunyai sifat dasar tanah akan selalu mengenali bau ini. Bukankah manusia juga sangat mirip dengan tanah. Mereka bisa dibentuk menjadi apapun seperti tanah liat. Menjadi orang yang lembek, kuat atau keras, dan getas.

Saat ini kunikmati pemandangan hujan riwis bersama ibu yang duduk di kursi malas, sibuk mengelapi kacamata minusnya.

“Benar kau tidak mau pulang ke Solo, Nduk?”
“Tidak sekarang Bu. Masih ada pekerjaan yang belum rampung.”

Aku sudah memutuskan belum akan pulang. Aku sudah tidak ingat berapa kali ibu menanyakan kapan aku pulang ke Solo, dan sering mengeluh harus datang ke Jakarta yang 600 kilometer jaraknya, sekadar menambal rasa kangen di hati kepada anak perempuan satu-satunya ini.

Tapi, kenyataannya ibu benar-benar ke Jakarta kemarin. Beliau diantar Mas Bowo yang memang punya urusan di Jakarta. Dan nanti ibu akan kembali bersama Mas Bowo kalau urusannya selesai.

“Setidaknya mampirlah ke rumah kalau Lebaran nanti. Semua orang berkumpul. Cuma kamu sendiri tidak pernah kelihatan,” lanjut Ibu.

Aku tahu ibu memang paling sayang padaku. Ia pasti akan sedih dengan suasana Lebaran tanpa aku berada di rumah karena aku adalah anak perempuan satu-satunya.

“Pekerjaan tidak pernah habis-habisnya. Cukuplah satu hari kau pulang ke rumah. Ibu tidak akan keberatan kalau setelah Lebaran kau mau kembali ke sini.”

Hujan riwis di halaman berderai seperti kabut sutra karena hembusan angin. Aku ingin berlari ke tengah halaman itu sekarang juga, seperti ketika kecil dulu semasih di Solo. Bersama kakak-kakakku yang lain kami berkejaran di halaman bermain petak umpet, tak peduli badan penuh lumpur. Lalu ibu akan datang dengan sabet dari pelepah pisang untuk membubarkan kami yang masih nekat.

Tentu saja tidak ada yang menangis dengan pukulan ibu dari pelepah pisang itu. Yang ada, kami saling tertawa saling menyalahkan satu sama lain, pertama kali yang mengajak mandi hujan di halaman, yang membuat ibu harus mencuci kelima baju anaknya itu. Aku tersenyum ingat kala itu.

Ah, bagaimana kabar mereka semua? Ibu mengabarkan bulan kemarin istri Mas Bowo melahirkan anak perempuan lagi. Anaknya sudah lima sekarang. Terus Mas Panji yang tinggal di Solo bersama ibu, anaknya dua sudah besar-besar. Mas Budi yang ada di Bogor malah mendapat anak kembar. Kemudian Mas Fauzi baru setahun menikah, istrinya kini sudah hamil enam bulan.

Karena alasan aku adalah anak perempuan ibu satu-satunya yang belum menikah, yang membuat ibu harus ikut Mas Bowo ke Jakarta. Ibu menginginkan aku pulang ke Solo agar aku tidak jauh dari jodoh. Namun di sebalik itu aku juga tahu pasti kepergian ibu mendapat tentangan dari saudaraku yang lain.

“Keras kepala dia, Bu! Tidak ada gunanya Ibu berpayah-payah ke Jakarta. Ibu sudah tua. Kalau capek dan sakit gimana?” Begitu mungkin Mas Panji akan mencegah ibu.
“Kalau ibu kangen sama Rini, tidak perlu Ibu yang datang ke sana. Kami bersama-sama yang akan menyeret Rini pulang!” Mungkin Mas Fauzi yang paling bengal akan berkata seperti itu.

Ah, sebenarnya aku rindu kalian semua. Tak tahukah kalian itu? Tapi, aku harus bisa bersikap profesional. Pekerjaan menuntutku lebih banyak lagi seiring perkembangan pemasaran yang pesat. Aku menyadari, aku dulu adalah anak perempuan yang dulu diejek oleh mas-masku, yang perginya saja tak lebih jauh ayam kampung, tapi sekarang sudah sukses. Dan mereka untuk menutupi keseganannya, saudara-saudaraku itu hanya bisa mengejekku kalau aku akan menjadi perawan tua kalau terus-terusan mengurusi bisnis semata.

“Ni, kau akan capek dan roboh sendiri kalau terus-terusan mendongak ke puncak, sesekali lihatlah ke bawah,” kata ibu suatu kali tentang kekeraskepalaanku ini.

Kata ibu, perempuan itu tidak perlu mengejar cita-cita terlalu tinggi. Sudah kodratnya lelakilah yang jadi pemimpin.

“Lagi pula kalau kau berambisi sekolah tinggi-tinggi malah membuat lelaki takut untuk melamar kamu!”

Ah, mengapa semua ini mesti dikaitkan dengan jodoh yang datang terlambat padaku. Aku tahu umurku sekarang sudah menginjak 33 tahun. Menurut pandangan orang desa seperti ibuku, pastilah umur ini cukup merisaukannya. Ia takut aku menjadi perawan tua. Ini bukan suatu aib baginya, namun aku tahu pasti ibu akan bersedih mengira kalau anaknya ini tidak bahagia.

“Apakah karena kau pernah disakiti lelaki hingga kau tidak mau menikah sampai sekarang?” tanya ibuku suatu kali tentang hal itu.

Aku menggeleng. Faktanya, aku memang pernah menjalin hubungan dekat dengan seseorang, tapi kami tidak pernah pacaran atau berkomitmen apapun. Ia sekarang sudah menikah dan aku tidak ingin mengganggunya. Setelah itu, aku lebih banyak tersibukkan oleh pekerjaan. Seperti yang dikatakan semua saudaraku, aku memang bersuamikan pekerjaan.

“Ni, kau dengar Ibu kan?” ujar Ibu mengatasi suara hujan yang makin deras.
“Iya Bu. Rini dengar.”
“Kalau kau masih sayang Ibu, pulanglah untuk Lebaran ini. Cukup penuhi permintaan itu dan Ibu akan bahagia.”
*****
Esoknya aku mengantar ibu ke bandara. Mas Bowo menyalamiku dan menggodaku seperti biasa. “Adi dan Santi sering nanyain kamu? Kapan om dan tantenya pulang bawa oleh-oleh?”

Ia tahu kalimat ini sering dikatakan oleh kakaknya yang lain juga. “Insya Allah Mas.”

“Kapan? Menunggu pekerjaan kamu selesai? Buktinya kamu itu tidak pernah istirahat, bahkan untuk diri kamu sendiri Ni?”

Aku mesem nyengir saja membiarkan Mas Bowo terus bicara. Ia geleng kepala sambil mengucek rambutku.

Setelah mengantar mereka aku tidak langsung ke rumah. Di kantor aku tak bisa berkonsentrasi. Rasanya bayang-bayang Kota Solo dan rumah melintas di depan mataku. Bahkan menghampiriku ketika istirahat makan siang.

Aku tahu, hal ini akan selalu datang padaku. Dan aku cukup yakin bisa mengatasi semua ini. Aku tak ingin tenggelam dalam emosi dan perasaan semata. Hidup di kota besar penuh dengan persaingan, penuh dengan tuntutan. Aku harus lebih siap dan rasional untuk mengabaikan hal semacam ini.

Aku pulang agak larut. Jalanan macet. Entah mengapa pada jam begini seharusnya Jakarta tidak macet, aku harus terhalang arak-arakan karnaval tak tahu diri. Selama setengah jam aku hanya bisa mendengus kesal di dalam mobil.

Hujan mulai turun ketika aku mulai terbebas dari kemacetan. Handphoneku berdering ketika aku sudah sampai di rumah. Mas Bowo yang menelpon.

“Ni, aku ingin kau berkemas sekarang. Ibu sekarang di rumah sakit.”
“Apa Mas?”
“Ya, sepulang dari rumah kamu, ibu mengeluh kecapekan. Tapi keadaan Ibu lebih dari itu. Orangtua itu selalu menahan diri untuk tidak mengeluh pada siapa pun. Sekarang aku tidak minta apapun dari kamu, selain kamu pulang sekarang. Tolong penuhi permintaanku ini untuk menghormati Ibu.”

Telepon telah dimatikan. Aku melemparkan tas ke sofa. Rumah ini sepi. Aku memang hidup tanpa pembantu dan terbiasa mengatur hidup sendiri. Orang-orang sok tahu mengatakan, kalau aku orang yang tidak bisa menikmati hidup.

Hujan masih riwis di luar. Lampu taman putih berpendar membias karena terpaan hujan. Entah mengapa, aku bahkan tak bisa mengingat ibu. Tapi, aku memutuskan akan pulang besok.
*****
Semua terjadi begitu cepat. Ketika mau berangkat diumumkan bahwa pemberangkatan ke Solo harus ditunda karena ada ancaman bom dari para teroris. Hampir semua pesawat yang akan ke Solo dihentikan, hanya gara-gara sebuah telepon yang mengatakan ada bom di salah satu pesawat yang berangkat ke Solo.

Sekarang kami para penumpang berada di ruang tunggu. Semua orang di sekitarku panik. Beberapa kali handphoneku berdering. Tapi kuabaikan saja. Aku telah mengirim pesan pada mereka kalau aku akan terlambat karena ada gangguan teknis di bandara.

Aku berusaha bersikap tenang di antara kekacauan dengan minimnya petugas yang bisa membuat suasana kacau ini lebih nyaman. Pun ketika handphone itu kembali berdering aku mematikannya. Semakin lama semua terasa menekanku. Kuambil majalah dari dalam tasku dan berusaha menenggelamkan diri pada bacaan.

Baru satu jam kemudian, ada pesawat pengganti yang akan membawaku ke Solo. Kami harus berganti pesawat. Alhamdulillah, penerbangan ke Solo lancar.

Sampai di Solo aku baru membuka handphoneku. Ada dua miscall dan pesan di inbok handphoneku. Semua dari Solo. Mas Bowo menyuruhku langsung ke rumah, ambil transportasi yang paling cepat. Tambahnya lagi, ibu telah berpulang tadi pagi (pasti ketika aku mematikan handphoneku) dan pemakaman ibu sekarang tinggal menunggu kepulanganku saja.

Kurasa koperku telah terjatuh ke lantai saat aku terdiam itu.
Sebisa mungkin aku menahan diri. Kuseka air panas dari sudut mata. Aku berusaha tidak menangis di tempat umum sembari kuambil lagi koper dan memaksakan diri untuk kembali berjalan.

Segera kupanggil taksi. Di dalam taksi kupejamkan mata. Aku berusaha mengenyahkan segala rasa yang tiba-tiba menyesakkan dada. Namun tak banyak hasilnya. Bersamaan itu hujan turun menghantam bumi.
Aku meminta sopir untuk berhenti sejenak. Air mata yang sejak tadi kubendung akhirnya deras berlinang di pipi. Bahuku terguncang hingga kurasakan sopir yang menepuk bahuku. Ia mengulurkan sapu tangan.
“Terima kasih,” kataku.

Kuseka air mataku. Diredam gemuruh suara hujan yang masuk jendela, satu kalimat ibu terngiang jelas di benakku. “Kau anak perempuan Ibu satu-satunya, Ni. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia.”

Karanganyar, Januari 2011

gambar dari sini

4 thoughts on “Hujan Salah Musim

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s