EPISODE TERAKHIR COKRO


Aneh, bukan pijar dendam yang terpancar dari mata Cokro ketika memandang musuh yang harus ia bunuh. Sorot kemarahan binatang buas itu tiba-tiba meredup dan menjadi nyala lilin sepi. Skenario ini seharusnya tidak pernah terjadi!

“Cepat pergi sebelum aku berubah pikiran!” bentaknya kepada lelaki malang yang bersimpuh di kakinya. Anggota legislatif itu bangkit berdiri dan sekejap lari tunggang langgang, tak mengira selembar nyawanya bakal lepas dari cengkraman maut.

Cokro menggigil. Bayangan yang melintasi matanya adalah bayangan Ibunya. Ini adalah sebuah kemunculan yang luar biasa dan waktu yang sangat tidak tepat pada ke seratus pembunuhan yang akan ia lakukan.
Denyut aneh yang mengalir di urat nadi dan menyerbu jantungnya itu sekejap memadamkan nyala api pada kobar mata Cokro. Dalam bayangan kegelapan pohon-pohon di taman tubuhnya menggigil. Pistol di tangan seketika ia lempar ke semak-semak mirip orang kepanasan karena memegang bara di tangan.

Cokro berlari keluar dari taman. Ia tak abaikan kendaran lalu lalang, terus berlari menembus kegelapan gang-gang sempit perkampungan. Sesampai di rumahnya ia gedor pintu dengan bernafsu.

Pintu dibuka oleh Tinah, istrinya. Perempuan itu terkejut mendapati kepulangan suaminya yang terlalu segera. Ia hendak menanyakan itu sambil membenahi rambutnya yang kusut. Tapi betapa terkejutnya ketika sang suami tiba-tiba jatuh menubruk kakinya.

“Mas…!!” jerit Tinah terkejut. Buru-buru tubuh tak berdaya itu ia angkat ke dipan. Ia geledah minyak kayu putih di laci. Saking paniknya botol itu terlempar ke lantai hingga pecah berhamburan. Tinah tak pedulikan. Ia meraup sisa minyak kayu putih di lantai yang sudah bercampur tanah, ia gosokkan pada muka Cokro seluruhnya.

Usaha itu berhasil. Cokro mulai membuka mata pelan-pelan. Raut wajahnya yang kukuh perkasa, sekarang lebih mirip kanak-kanak tak berdaya.

“Syukurlah, kau sudah sadar Mas. Kau bikin kaget. Baru datang langsung pingsan.”

Cokro mengernyitkan dahi. Ia masih terasa pening seolah tempurung kepalanya habis digoncang tangan raksasa.

“Hari ini aku membiarkan mangsaku lepas, Tin.”
“Nggak usaha mikir yang berat dulu, Mas. Tinah seneng Mas sudah pulih.”
“Mereka pasti datang mencariku.”
“Sekarang jangan terlalu banyak bicara dulu. Mas Cokro perlu banyak istirahat.”

Tinah berinisiatif mengompres Cokro yang demam. Ia tuang air panas dari termos ke dalam mangkuk. Ia celupkan handuk dan menyeka wajah yang berkeringat deras itu. Lama kelamaan Cokro tertidur pulas. Hanya sesekali dalam tidurnya ia mengigau memanggil Ibunya. Berulang kali hingga dini hari.

***
“Ayahmu tidak mewariskan apa-apa buatmu. Ia hanya berpesan agar kau menjadi lelaki yang jantan! Kuat menghadapi zaman!” bisik Ibunya saat ajal telah mengguncangkan tubuh renta itu. Lalu disertai dada yang turun naik dan napas yang kembang kempis, paripurna sudah tugas el-maut mencabut nyawa.

Cokro mengambil jarit Ibunya. Harta warisan yang ia simpan dalam seluruh perjalanan yang ia lakukan. Agar tetap lekat bau Ibunya. Agar ia tidak merasa sepi dalam pengembaraan panjang di kota tak berkawan.
Pengembaraannya sejauh tujuh pulau itu berakhir di Jakarta. Agar dapat makan ia bekerja menjadi kuli bangunan. Deraan sang mandor yang sewenang-wenang membuat tubuhnya makin kukuh dan seliat baja. Suatu kali perselisihan dengan mandornya terjadi, Cokro tak sengaja memukul sang mandor yang mengakibatkan tewas seketika.

Cokro segera minggat. Ia gunakan sisa uangnya untuk naik bus ke luar kota. Tak peduli tujuannya entah kemana. Setiap terminal, setiap pelabuhan ia singgahi. Namun entah mengapa di setiap kota-kota persinggahan itu, tak urung ia menemukan dirinya sebagai seorang pembunuh dan membunuh.

Ia tak punya jawaban mengapa ia harus menjadi seperti seekor binatang buas yang bertubuh manusia agar bisa bertahan hidup. Ketika bagian binatang buas itu pergi, ia mendekap jarit Ibunya dan ingin berteriak keras-keras. Tapi seperti biasa tak ada teriakan atau suara parau apapun yang ia keluarkan. Hanya suara terisak dan bahu yang terguncang. Hidup seperti kutukan ketika tak dijamah kasih sayang.
Hanya pembunuhannya yang ke -51 membuat ia terkesan. Pertama kali itulah ia ketemu dengan Tinah, pelacur yang ia selamatkan dari bajingan yang hendak memperkosanya. Tinah kemudian ia persunting sebagai istri. Namun toh selanjutnya kisah hidup Cokro seperti mengulang-ulang kembali kisah kelam itu. Pada semua titik hidupnya baginya lebih mudah menjadi pembunuh ketimbang apapun di dunia ini.
Namun baru pertama kali ini ia tak bisa menyelesaikan “tugasnya”. Meski ia juga sudah berbekal senjata api. Padahal selama ini ia selalu berhasil meski tanpa senjata pembunuh itu. Aneh nian, awalnya ia pun sudah menolak pemberian senjata itu.

“Jangan menolak. Senjata ini akan mempermudahmu,” ucap lelaki berkaos putih bertuliskan Polo itu. Lelaki itu kemudian mengangguk pada sopirnya yang membawa koper. Dibukanya koper di hadapan Cokro sambil menyeringai. “Apakah ini cukup?”

Pertanyaan itu tak pernah dijawab Cokro. Ia sudah kadung menjadi pembunuh. Kedua lelaki itu menganggap diamnya Cokro sebagai tanda setuju.

“Silakan hitung lagi.”
“Tidak usah. Aku percaya,” jawab Cokro walaupun dalam otaknya yang dangkal ia tak tahu akan digunakan untuk apa uang sebanyak itu.
“Baik, aku juga percaya padamu. Aku sudah tak sabar melihat berita esok pagi tentang pembunuhan itu di tivi.”

Kedua lelaki itu pergi. Cokro dibiarkan tercenung sendirian memandangi potret berwarna seorang pejabat tinggi berdasi. Ada sebuah alamat di belakangnya. Dan sebuah pesan : Biasanya ia akan selalu datang ke tempat hiburan ini selepas jam 11 malam!!

***
Tinah
Aku heran dengan kedatangannya. Ia seperti malaikat penolong. Oh, mungkin benar ia adalah malaikat penolong. Aku tak menyangka telah diselamatkan. Padahal, seluruh kemejaku telah robek, dan celanaku setengah melorot oleh bajingan itu. Aku mengatakan kepada mereka, kalau aku berhenti melacur, kalau aku sudah tak mau menjajakan diri lagi. Tapi lelaki itu mengancamku. Mencaci makiku dan melemparkan segepok uang tepat ke mukaku. Lalu dibantu temannya yang meringkusku ia mulai merobek-robek pakaianku di gang sempit itu.

Dan aku merasa duniaku telah kiamat. Aku berpikir jika ini terjadi, maka lebih baik aku bunuh diri. Tapi, lelaki itu datang dengan dengus kemarahan yang tiba-tiba dengan mudahnya melemparkan dua tubuh yang sempat menindihku itu ke tong sampah. Mereka melawan, tapi sia-sia saja. Belati mereka patah ketika menghujam di tubuhnya. Dan dengan dua pukulan dua lelaki bajingan itu tak berkutik lagi. Nafsu jahat mereka membuat mereka meregang nyawa.

Ia mengajakku pergi dari tempat itu, meminjami aku jaket buat menutupi tubuhku yang setengah telanjang. “Akan kuantar kemana kau pergi,” katanya dengan agak kikuk dan canggung. Tampaknya ia memang tak terbiasa menghadapi perempuan.

Aku mengajaknya ke rumahku. Ketika hendak pergi, ia kutahan agar ia menginap saja. Ia setuju. Aku tersenyum padanya. Dan malam itu ia nampak tidur pulas sekali hingga mendengkur. Aku membiarkannya beristirahat. Untuk pertama kalinya aku merasa aman ada laki-laki di rumahku.

Dan aku sebenarnya tak pernah mengharap lebih dari hal itu. Suatu kali ia datang lagi. Ia memberikan sebuah cincin emas dan mengajakku menikah. Aku hanya tersenyum namun ia paham. Memang aku telah jatuh hati pertama kali ketika ia menawarkan diri untuk mengantarkanku dari malam celaka itu.

Aku menikah sebagaimana orang lain menikah. Kami pulang ke rumahku. Aku mencintainya dan aku juga percaya ia mencintaiku. Hanya saja, aku selalu khawatir dengan setiap kepergiannya dari rumah. Tempat-tempat yang dipilihnya dan kawan-kawan yang bersamanya mencari uang selalu menempatkan dirinya menjadi seekor binatang buas. Yang kulakukan setelah ia pulang aku harus memandikan dia, menyabuni dia untuk mengusir bau anyir darah itu. Namun sekali lagi, kalian harus memaafkah aku yang tak pernah bisa menganggap suamiku ini sebagai seorang pembunuh jahat.

Lihatlah raut wajah yang penuh semangat itu, tubuhnya yang liat dan bercahaya dalam kelegamannya. Aih, senyumnya pun terlalu polos untuk menjadi pembunuh yang haus darah.

Tapi satu kali peristiwa itu terjadi. Dua orang datang ke rumah kami, diantar oleh kawan suamiku dari klab malam. Dua lelaki pendek dengan pakaian santai datang menawari suamiku pekerjaan yang ringan dan banyak uangnya, begitu yang dikatakan mereka.

Aku mengintip dari celah triplek dari kamarku. Aku menandai satu lelaki yang membawa koper. Pernah satu kali aku dibokingnya. Aku ingat ketika mabuk, dia bercerita banyak hal dirinya. Tentang kesanggupannya membunuh orang, tentang uangnya yang banyak dan kegiatan yang ia lakukan.

Aku menggigil mendengar seluruh ceritanya saat itu. Dunia mereka ternyata lebih terkutuk dari dunia pelacuran, lebih hina dari lendir pezinah. Mereka adalah penjahat yang mengatasnamakan diri mereka wakil rakyat. Aku berdoa semoga mereka tinggak di kerak neraka jahannam.
Mereka pergi meninggalkan koper dan suamiku yang tercenung memandangi pistol pemberian itu. Aku berusaha menyampaikan firasat burukku itu padanya. Tapi, suamiku menenangkanku dan mencumbuku malam itu, seolah ia sedang menghilangkan kerewelanku sebagai wanita rindu asmara.

“Gagahkah aku kalau membawa senjata?” tanyanya, seusai percintaan kami yang memabukkan.
“Singkirkan itu mas. Aku ngeri!” kataku tak suka melihat senjata di ranjang kami.
“Baiklah, akan kusingkirkan jika kamu tak suka.”
Ia manut padaku, seperti biasa, seperti yang kusuka darinya.
“Aku ingin kau menolak tawaran itu mas. Aku punya firasat buruk.”
“Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku lelaki. Pantang menjilat ludah kembali.”

Aku berpikir kekeraskepalaan ini adalah kebodohan Mas Cokro. Dan mereka memang sudah mengiranya jauh-jauh sebelum datang ke sini membawa koper besi itu.

Suamiku telah memutuskan. Ketika ia pergi dan waktu aku menunggunya pulang ada sesuatu yang gaib terjadi. Ada dua ketukan di pintu rumahku. Yang pertama ketika aku hampir terlelap. Aku membukanya tapi tak ada siapa-siapa di luar. Dan yang kedua tak lama kemudian adalah suamiku yang jatuh tersungkur di kakiku.

***
Akhirnya Cokro terbangun dengan tergeragap. Badannya basah dengan keringat dingin. Istrinya yang tidur di sebelah menjadi terjaga.
“Ada apa mas? Kau mimpi buruk?”
“Ibu datang padaku, Tin. Ia memberitahu sesuatu,” Cokro memandang dalam-dalam mata istrinya seakan hendak memastikan. “Jawab aku, Tin. Apakah kau sedang hamil?”

Tinah tersenyum. Mengangguk. Cokro merasa melihat istrinya itu tiba-tiba nampak lebih cantik dari biasanya meski dengan rambut acak-acakan seperti itu. Ia memeluknya erat, membisikan rasa sayang yang membuncah dari dalam dadanya. Kebahagiaan yang seketika membuatnya tubuhnya segar kembali.
“Ibu tak ingin anak kita menjadi pembunuh seperti bapaknya, Tin, cuma itu pesannya!”

***
Malam itu suami istri itu pergi meninggalkan rumah. Untung mereka tidak terlambat, karena setengah jam kemudian, datang dua orang lelaki mendobrak pintu rumah.

“Sial! Kita terlambat!” Geram kemarahan mereka seperti hendak meledakkan rumah itu. Di tangan mereka senjata dengan laras peredam sudah siap digenggaman. Tapi mangsa yang akan mereka bidik ternyata telah menghilang dari kandang.

Suami istri itu menyewa taksi dan memutuskan pergi dari kota sejauh mungkin. Dalam perjalanan sempat mereka berdebat arah tujuan yang akan dituju. Hanya akhirnya Cokro sebagai suami memutuskan. “Kita akan kembali ke desa, Tin. Aku ingin kau melahirkan anakku di sana. Tempat yang teduh, damai, dan jauh dari kebisingan.”
“Aku pasti menyukainya, Mas. Di desa pasti lebih tentram,” Tinah menyandarkan kepalanya di pundak suaminya sambil tangannya mengelus-elus perutnya. Dan Cokro merasa bangga sekali akan dirinya, tak pernah selama hidupnya ia lebih bangga dari hal ini, ia bakal menjadi seorang ayah.

Namun skenario hidup selalu tak sesuai dengan takdir kenyataan. Bersamaan itu, tak pernah mengira sang sopir taksi itu melaporkan penumpang yang dibawanya, setelah ia mendengar berita di radio, bahwa dua orang dengan ciri-ciri seperti penumpangnya itu adalah buronan polisi. Barangsiapa yang melaporkannya akan mendapat imbalan dari negara.

Sebentar lagi ketika tiba di ujung jalan dekat jembatan taksi akan berhenti. Beberapa polisi sudah siap meringkus sang buronan. Juga Tinah yang akan melihat suaminya digelandang polisi hanya bisa termangu. Ia menahan diri untuk tidak menjerit atau menangis yang hanya akan membuatnya menjadi perempuan gila. Ia tahu ia hanya punya pilihan itu, membiarkan suaminya ditangkap agar ia bisa membesarkan anaknya supaya kelak tidak menjadi pembunuh.

Karanganyar, Medio Juni 2010 – April 2011
dimuat di Antologi Joglo 10 Taman Budaya Jawa Tengah

1 thought on “EPISODE TERAKHIR COKRO

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s