Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang yang terbaik. Tangan di atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula tidak (Mutafaqun alaih)
Paradigma pengemis telah bergeser dari keberadaannya semula. Ekses menjadi pengemis di jaman sekarang ini tidak melulu hanya karena desakan ekonomi saja. Namun ada pula berbagai latar belakang permasalahan yang membuat seseorang itu memilih menjadi pengemis. Misalnya, seseorang memilih menjadi pengemis karena penghasilan mengemis lebih banyak daripada menjadi karyawan atau seorang buruh yang sudah pasti mengeluarkan tenaga banyak tapi hasilnya nol kecil. Ada juga kisah seorang penjual tasbih karena tidak laku jualan tasbihnya kemudian memilih menjadi pengemis.
Keberadaan pengemis di Indonesia yang semakin banyak dan merata di berbagai tempat seperti sebuah borok kecil yang jika tidak segera disembuhkan luka ini akan bertambah menganga. Luka kemiskinan ini tidak bisa kita tiadakan begitu saja karena kita muak terhadapnya. Sebenarnya luka ini memperlihatkan betapa kecompang-campingan diri kita sebenarnya. Jangan-jangan pengemis telah menjadi terstruktural dalam setiap lini kehidupan dan jiwa bangsa ini.
Konon ada kisah lain tentang pengemis di tengah masyarakat Indonesia ini. Kebanyakan pengemis yang beredar di jalanan itu adalah orang-orang yang menyamar menjadi pengemis. Mereka beroperasi di jalanan dengan terorganisir. Kita sebut mereka sebagai sindikat pengemis. Sindikat ini sangat terorganisir. Sering kita lihat anak kecil batita pun sudah diikutkan dalam operasi mereka. Menjadi pengemis bagi para pengemis jejadian itu adalah sebuah pilihan karena kebodohan cara pandang mereka tentang kualitas kehidupan. Hidup sekedar pencapaian hari ini yang diukur dengan uang. Tak peduli pekerjaan apapun entah haram atau halal asal dapat uang. Mereka tidak mau bersusah-susah bekerja keras tapi cukup menjadi pengemis mereka sudah dapat uang banyak. Atau ada yang berprinsip lebih baik menjadi pengemis daripada koruptor!
Film Slumdog Millioner yang mendapat pengakuan oscar itu juga mengisahkan problematika yang sama tentang negara-negara berkembang yang mempunyai penghuni para pengemis. Dikisahkan betapa rentan anak-anak yang miskin itu tercetak menjadi seorang pengemis. Di Indonesia nampaknya keadaan juga sama saja. Lihat saja ketika Grebeg Suro, atau ketika kirab di Gunung Lawu dan di tempat ziarah lainnya, kita akan melihat antrian pengemis yang panjang menunggu belas kasih kita. Mereka dengan berbagai pasang wajah dan ekspresi kemiskinan berusaha menarik simpati dan ternyata malah membuat kita terheran-heran, betapa kayanya sebagian dari para pengemis itu ketimbang diri kita sendiri. Mereka adalah cermin diri kita sendiri bahwa paradigma hidup kita bukan ditujukan untuk kualitas tetapi sikap primordial budak yang entah sampai kapan akan kita pelihara.
Kisah yang senada, pernah penulis melihat sebuah tulisan di sebuah perumahan. Tulisan itu bernada PENGAMEN, PEMULUNG, DAN PENGEMIS DILARANG MASUK! Kompak sekali para warga di perumahan itu untuk menolak ketiga kaum itu. Tidak hanya di tempat Pak RT saja tulisan itu ada, tapi di rumah warga lainnya juga dipasang.
Apa yang terbesit di hati saya kemudian, adalah pertanyaan mengapa pengemis juga dilarang masuk? Apalagi di bulan Ramadhan ini Islam menghasung umatnya untuk berbanyak-banyak bersedekah dan menjalani kebaikan.
Lantas andaikata ada pengemis datang ke rumah kita, mengapa kita harus menolaknya? Justru menjadi kewajiban kita untuk bersedekah kepada mereka. Ada sebagian hak orang-orang miskin itu pada harta-harta kita. Jika dilihat dari segi material, tentu rumah-rumah di perumahan itu pasti punya sekedar uang receh seribu rupiah atau nasi sepring dan lauk ala kadarnya untuk para pengemis itu.
Apa yang salah pada diri kita adalah persangkaan buruk jangan-jangan para pengemis yang datang itu hanya orang yang berpura-pura saja, atau takut mereka orang yang hendak berbuat jahat. Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa kita harus menjadi orang yang terbaik, yang merasa lebih utama dengan tangan di atas daripada tangan di bawah.
Ketika kecil kita dibesarkan dengan sebuah kisah tentang orang kaya yang tamak dan si miskin yang baik hati. Suatu kali ada seorang pengemis yang datang pada keduanya. Di tempat si kaya, si miskin itu ditolak, merasa si pengemis akan mengotori lantai mereka, tapi di tempat si miskin si pengemis itu diberi dan dijamu. Setelah kenyang, si pengemis meminta tikar pada si miskin yang baik hati itu. Buat apa, tanya si tuan rumah. Si pengemis cuma berkata kalau dia ingin buang air besar. Si tuan rumah heran tapi ia pun memberikan tikar itu pada si pengemis. Kemudian apa yang terjadi. Si pengemis yang sebenarnya adalah seorang malaikat itu tidak menghadiahi kotoran kepada si miskin yang baik hati tapi emas yang banyak di tikar itu.
Tapi tentu saja kisah ini hanyalah sebuah gambaran kecil yang mengajarkan kepada kita kebaikan untuk bersedekah kepada si miskin. Barangsiapa memberi dan bersodaqoh hartanya tidak akan hilang karena Allah Ta’ala Maha Melihat hambanya yang berbuat kebaikan. Namun tampaknya kita pun harus bijaksana dan proporsional dalam memberi pengemis. Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa Nabi Muhammad Saw. suatu kali didatangi seorang peminta-minta yang biasa datang ke rumahnya. Pada hari ketiga, Nabi Saw. memberikan uang tetapi juga menyuruh si pengemis itu untuk membeli sebuah kapak. Oleh Nabi Saw. orang itu disuruhnya ke hutan untuk mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar. Si pengemis patuh. Sejak saat itu ia pun kemudian menjadi seorang manusia unggul yang mampu menafkahi diri dan keluarganya.
Dari kisah di atas bisa diambil hikmah bahwa Islam tidak mengharamkan mengemis, akan tetapi Islam lebih senang kepada orang yang kuat daripada orang lemah, orang yang berharta daripada berhutang, karena dengan begitu seseorang itu akan lebih banyak melakukan ibadah dan amal sholeh dalam kehidupannya untuk mencari keridhoaan Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam bishshowab.
dimuat di majalah Respon MTA edisi 258 #
ketika Rosul berpihak kepada “pengemis” dengan mengsejahterakannya pake cara “pemandirian”. gimana dng “BLT” nya pemerintah ?
wallahu a’lam…
Semoga niat yang bersih bisa jadi barakah pak..
kita rakyat cuma bisa berprasangka baik..
jangan… jangan…
he he…