Pada budaya orang Jawa, orang yang biasa marung disebut sebagai bangsat ilat, karena lebih betah nongkrong di warung daripada mencukupkan diri di rumah. Di jaman dulu, kebiasaan jelek marung mungkin hanya didominasi laki-laki. Kaum Adam lah yang suka datang ke warung. Dari kegiatan terkecil mereka sekedar minum teh, atau mencari teman ngobrol, yang tak lebih dalih agar bisa pergi ke warung, lama-lama menyeret mereka menjadi pemboros hingga menyulut pertengkaran rumah tangga kalau kebetulan si lelaki itu bukan seorang yang berpenghasilan tebal, karena kebiasaan marung itupun selalu harus mengurangi jatah uang belanja rumah tangga.
Di jaman sekarang bisa dikatakan pesona marung telah bertransformasi secara keseluruhan. Tidak hanya bentuk warung yang dikemas dalam warna dan kualitas yang berbeda, bahkan nilai-nilai, status, hiburan sudah masuk ke dalam warung. Tidak hanya didominasi kaum lelaki saja, seluruh keluarga diajak ke warung, dan menikmati sajian baru yang lebih centang perenang, yang dikemas dalam wisata kuliner.
Solo merupakan perkembangan tanpa batas wisata kuliner. Warung tenda beraneka ragam jenis dan rasa tersedia. Hingga orang akan bilang, kalau mau datang ke wisata kuliner datanglah ke Solo.
Wisata kuliner datang memanggil semua yang hobi makan untuk mencoba selera makanan baru. Sepertinya orang makin getol untuk memproduksi makanan dan makanan yang spesial. Semua orang dibuat akan merasa ketinggalan kalau tidak pernah wisata kuliner. Tapi, saya masih salah sangka kalau orang hanya ingin sekedar memuaskan rasa lapar atau jenuh dengan makanan keseharian jika berwisata kuliner. Orang-orang itu tidak hanya mencari makanan yang tidak biasa atau khas suatu daerah tertentu. Mereka mencari makanan yang aneh dan super aneh. Atau kadang kala makanan yang super ekstrem. Tak peduli apakah itu makanan yang seharusnya untuk dimakan hewan bukan manusia. Pesona kuliner jatuh mencari sensasi belaka. Tak peduli makanan itu memberi bobot kualitas pada dirinya sebagai manusia yang mengolah makanan, atau memberi kualitas gizi dan vitamin pada mereka.
Penggemar kuliner super ekstrem ini sangat beragam. Suatu kali kawanan kecil orang-orang terpelajar turun dari sebuah mobil mewah. Mereka datang ke tempat ini, deretan warung tempel yang menjual makananan serba aneh ini karena tergiring ingin menikmati wisata kuliner kepala anjing bumbu cuka.
“Wah, makanannya di sini kurang ekstrem. Coba di tenda sana. Aku lihat menarik sekali. Kepala anjing dengan saus cuka dari Jepang, dan sambal Balado. Pasti enak, dan lazissss!” ujar si kaos merah bergambar Gie dengan bangga.
“Wah, iya kelihatan lezat. Kepala anjing dengan sambal Balado!”
“Denger-denger anjing itu tidak disembelih tapi dikepruk dengan batu atau ditenggelamkan agar tidak keluar darahnya agar menjaga rasa dagingnya tetap enak.”
“Wah, mengerikan sekali.”
“Tapi itu kan tujuan kita ke sini, nyoba makanan yang belum pernah dicicipi lidah kita? Yang lebih esktrem!”
“Ya, tuh. Wah aku juga seneng kalau gitu. Kita coba ke sana aja.”
Mereka berempat masuk ke kedai itu. Semua pesanan mereka sama. Kepala anjing dengan bumbu cuka Jepang dan sambal Balado. Yang kenyataannya masakan anjing itu atau yang jamak disebut sate jamu itu, ketika menjagal bila tanpa mengeluarkan darah akan terasa lebih nikmat. Dan yang sering terjadi adalah anjing-anjing itu dicekik, dipukul, ditenggelamkan dalam air, atau ditusuk dengan besi panas pantatnya, lalu diperlihatkan kepada sesama anjing yang lain. Kalau anjing yang lain melihat dan stress, konon daging anjing itu akan lebih enak lagi.
Saya masih tak bisa membayangkan orang bisa kejam seperti itu kepada hewan. Dan terutama mereka yang datang ke warung sate jamu ini, yang bisa merasa bangga sebagai orang yang senang berwisata kuliner. Dan lebih heran lagi, di Solo ini warung sate jamu seperti ini sangat diterima masyarakat dan banyak penggemarnya – melihat banyaknya warung sate jamu di pinggir-pinggir jalan. Ada yang malu-malu menulis warungnya Kawi Usa (kebalikan Iwak Asu), atau dengan tanpa malu menyebutnya warung Sate Jamu. Unsur darimana yang menyebutnya bahwa makanan ini adalah sate jamu!
Untuk memuaskan perut, manusia rela membunuh hewan apa saja. Mungkin berikutnya tidak hanya anjing yang dijagal tapi kucing, atau tikus. Mereka yang memasang makanan ini akan menggelar sebagai penjual makanan serba ekstrem, yang mengacu pada sebuah serial Fear Factor dimana mengadu nyali manusia untuk makan makanan yang super aneh dan tak pernah dibayangkan dimakan manusia waras. Sebenarnya tayangan ini bisa saja sebuah pembiasaan agar kecendrungan menyimpang ini bisa permisif. Karena semakin tinggi rating acara televisi semua nilai di tayangan tersebut akan secara tak sadar akan diserap dan diterima penonton sebagai sebuah nilai yang bisa diterima atau bahkan menjadi ideal, yaitu ideal keberanian karena berani memakan makanan yang serba menjijikan dan berbahaya bagi tubuh manusia itu.
Budaya luhur Jawa kuno mempunyai mitos seseorang yang hebat adalah orang yang tidak lagi makan nasi. Artinya bukan sekedar kalau seseorang itu masih makan nasi berarti dia hanya orang biasa. Seorang satria adalah orang yang seneng prihatin dan lelaku. Mereka mengurangi tidur untuk mencari hening, mengurangi makan nasi atau puasa agar bisa mengendalikan raganya. Dalam berpuasa biasanya mereka memilih jenis makanan yang tidak panas bagi tubuh. Atau mereka menjalani puasa ngrowot yang hanya makan hasil bumi seperti singkong, ubi, talas. Konon para pejabat-pejabat jaman dulu selalu melakukan puasa ngrowot ini agar kelak ketika memegang kekuasaan tidak menjadi orang rakus. Pesan kearifan ini tampaknya jelas terluput dari orang Jawa masa kini. Dan semakin lama pesan kearifan dalam Serat Wulangreh itu pun sama-samar saja bergaung di tengah para satria Jawa masa kini.
Padha gulangen ing kalbu,
ing sasmita amrih lantip,
aja pijer mangan nendra,
kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira,
sudanen dhahar lan guling.
apa itu bangsat ilat, kang? itu kosa kata yang baru buat saya…
Dan bagaimana dengan angkringan? angkringan cuma ada di jawa tengah bagian selatan (setahu saya) dan itu budaya nongkrong yang bukan main lho…
😀
Bangsat = bangsat
ilat = lidah
bukan berarti goyang lidah lho kang…
di jawa juga dinamakan keplek ilat.. hobi marung! Kalau ada suami yang lebih suka jajan di warung, nongkrong di warung, entah itu dinamakan wisata kuliner, kongkow2 atau rendesvous sekalipun, punya kecendrungan ora eman duit, royal, biasanya beranggapan kalau warung itu lebih nyaman dan enak daripada rumah. Padahal rumah itu harusnya lebih kita perhatiin dan kita jaga agar cinta, kehangantan keluarga tetap bersemi di dalamnya.
Pingback: Debus Diusulkan Jadi Atraksi Wisata Kepri | makanenak.info