Bulan ini adalah bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Aku berupaya megajak keluargaku untuk beribadah secara ikhlas kepada Allah.
Namun dakwah kepada keluarga pun tidak gampang. Terutama kakekku yang kukuh memegang kepercayaan ritualnya. Di hari-hari tertentu ia mem¬bawa sesaji dan kembang tu¬juh rupa yang ia taruh di ba¬wah pohon beringin putih yang terletak di kebun kami. Aku se¬¬ring menasihati ka¬kek agar meng¬¬hen¬tikan kemusrikan yang ia lakukan. Ta¬pi, kakek tetap sa¬ja bergeming. Ia me¬nganggap apa yang ia lakukan itu baik dan bi¬sa mendekatkan diri kepada Sang Pen¬cipta.
Aku tak bisa me¬maksa apa yang ka¬kek lakukan. Se¬mentara ayah¬ku, ada¬lah seorang yang di¬be¬¬sarkan dengan pen¬didikan tek¬nik modern, ia pikir yang harus dilakukan di zaman ini adalah be¬kerja dan bekerja un¬tuk mencu¬kupi kebutuhan keluarga. Ayah menganggap apa yang dilakukan kakek adalah per¬buatan bodoh dan tidak ra¬sional.
Aku sendiri berharap semua per¬bedaan ini tidak akan me¬run¬cing pada pertengkaran, ka¬rena aku percaya lebih banyak hal yang menyatukan daripada me¬mi¬sahkan kita.
Namun, tidak dipungkiri ba¬nyak orang seperti kakek yang me¬¬lakukan kegiatan ritual di be¬ringin putih itu membuat pohon itu menjadi tempat angker karena se¬ngaja dikeramatkan. Misalnya, orang-orang desa kalau mau me¬ngadakan upacara mantenan se¬lalu menaruh sesaji agar sang da¬nyang penunggu itu tidak meng¬anggu atau agar danyang pe¬nunggu mau mengabulkan per¬mintaan mereka.
Namun suatu kali ayah beren¬cana menebang pohon beringin itu. Ia akan menjualnya ke lu¬ar negeri karena ia mendapat pe¬sanan kayu beringin putih untuk ba¬han kerajinan merchandise di Amerika. Pohon beringin yang tua seperti di kebun kami di¬per¬kirakan sangat mahal har¬ganya, bisa sampai ratusan juta rupiah.
“Malah ini akan mengusir para orang tua bodoh yang senang ber¬buat musrik ke pohon itu,” kata ayah meminta dukunganku ka¬rena beberapa orangtua su¬dah men¬cium rencana ayah dan me¬ngadakan penolakan, ter¬¬masuk kakekku dan orang-orang di se¬kitar.
Tapi ayah berkeras untuk me¬¬nebang pohon beringin itu karena merasa punya hak me¬miliki.
“Kau akan kualat dengan me¬ne¬bang pohon beringin keramat itu. Hidupmu akan kena bala. Kau harus membatalkan mene¬bang¬nya,” tantang Kakek.
“Ayah bicara yang tidak masuk a¬kal. Di zaman sekarang tidak ada jin penunggu seperti ayah bi¬lang. Mana mungkin pohon di¬tebang bisa membuat kualat orang!” ja¬wab Ayah bergeming.
Mereka berpegang pada ke¬be¬¬naran masing-masing. Akhir¬nya perdebatan dan perebutan hak pohon itu dibawa ke rapat kam¬¬pung. Rapat diadakan di ru¬mah kepala lingkungan. Ta¬pi, per¬debatan itu akhirnya di¬me¬nangkan Ayah. Ia boleh me¬nebang pohon beringin itu ka¬rena pohon itu berada di tanah mi¬liknya.
“Kuberitahu kalian, kayu be¬ri¬ngin sangat mahal komoditasnya di luar negeri,” kata Ayah.
Kakek dan para orangtua me¬lak¬¬nat ayah dengan sikapnya. Ta¬pi ayah tak peduli karena ter¬nyata be¬berapa anak muda pilih ikut membantu ayah.
Esoknya ayah datang dengan be¬berapa pekerja dengan alat ger¬¬gaji mesin. Penebangan di¬la¬ku¬kan. Pohon yang besar dan me¬gah itu tumbang ke tanah. Para pe¬¬kerja memotong-motongnya men¬¬jadi gelondongan untuk di¬kirim ke pasar luar negeri.
Aku sendiri awalnya berpikir hal itu tidak masalah bagiku, bah¬kan membantuku mengusir orang-orang musrik yang men¬datangi po¬hon beringin keramat itu.
Tapi di tengah malam itu ti¬ba-tiba aku terbangun karena men¬dengar suara-suara aneh di atap ru¬¬mahku. Aku keluar dengan mem¬¬bawa sen¬ter mencari tahu ge¬rangan suara apakah itu. Dan be¬tapa terkejutnya ketika aku me¬lihat begitu banyak hewan di atap genting. Ada tupai, burung te¬kukur dan ada juga ular besar yang merayap mendesis di atas gen¬ting.
Aku merinding menyaksikan semua itu. Hewan-hewan itu se¬a¬kan sengaja berkumpul dan de¬ngan suara parau mereka sea¬kan protes karena rumah mereka te¬lah ditebang.
Ketika aku berdakwah agar orang-orang tua menjauhi ke¬syi¬rikan, aku sekadar berharap ka¬kek dan teman-temannya mau me¬lakukan apa yang aku pe¬rin¬tahkan. Dan ketika ayah me¬ne¬bang pohon itu, ia semata bu¬kan hendak membantuku un¬tuk melawan kemusrikan, ta¬pi ia cu¬ma berpikir tentang keun¬tung¬an ekonomi semata.
Kami sama sekali menga¬bai¬kan hak hidup dari pohon be¬ri¬ngin putih yang tumbuh itu di ke¬bun kami. Kami tidak pernah mau memikirkan kondisi ta¬nah dan air setelah pohon itu di¬tebang. Ba¬gaimana nanti kon¬disi udara di sekitarku, kondisi he¬wan-hewan yang terlempar ha¬bitatnya seperti sekarang, ju¬ga bagaimana anak-anak kecil ge¬nerasi sesudah ka¬mi yang ke¬hilangan warisan ber¬harga dari alam ini.
Kami harus mengakui diri ka¬mi adalah orang-orang egois yang hanya mencari enak perut sen¬diri.
dimuat di khasanah Solo Pos 20/7