dimuat di harian Joglo Semar 24/8
Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula tidak (Hadits)
Setiap anak manusia tidak akan mau jika dikatakan sudah takdir mereka menjadi pengemis. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengemis adalah seseorang berpakaian compang-camping yang merendah-rendah kepada orang dengan harapan agar diberi atau seseorang yang fakir yang menghidupi dirinya dengan jalan meminta-minta kepada orang lain.
Dalam Islam, menjadi pengemis tidak diharamkan. Sebaliknya kita akan menemui pengharaman (baca: penolakan) kepada pengemis semisal di beberapa perumahan yang menuliskan tebal-tebal dengan cat merah dan huruf kapital besar di pintu-pintu rumah mereka : PEMULUNG, PENGAMEN DAN PENGEMIS DILARANG MASUK!
Di bulan Ramadhan para pengemis bermunculan bak cendawan di musim hujan. Bagi mereka bulan Ramadhan adalah ‘bulan keberkahan’. Filantropi Ramadhan menjadikan kantong uang mereka cepat penuh daripada hari biasa. Namun sialnya di bulan Ramadhan ini ada juga para pengemis jadi-jadian. Jumlah sindikat pengemis ini tak kalah banyak dengan pengemis asli. Indikasinya mereka lebih senang bergerombol, badan sehat tetapi memaksakan kehendaknya pada korban (baca: pejalan) dengan raut muka memelas, menjadikan anak-anak kecil atau balita sebagai senjata agar dibelas kasihani. Mereka muncul di perempatan jalan, atau di beberapa tempat umum, semisal di Masjid Agung atau di tempat ziarah orang suci atau para wali.
Untuk sindikat pengemis itu mereka datang dan pergi secara terorganisir Bahkan sebelum beraksi mereka akan dirias dan diajari berakting agar meyakinkan di hadapan para korban. Kasihan para pengemis yang asli, tak jarang mereka kalah bersaing. Konon beberapa pedagang tasbih di sebuah masjid agung karena tak laku dagangannya, alih profesi menjadi pengemis. Alih-alih sedih mereka lebih senang menjadi pengemis karena penghasilan dari mengemis lebih banyak ketimbang berjualan tasbih.
Catatan kemiskinan masih tinggi!
Memang tak ada catatan pasti jumlah pengemis di Indonesia. Angka kemiskinan pun tetap tinggi. Berdasarkan data BPS tahun 2011 di negeri ini ada 30 juta orang miskin dengan standar kemiskinan yaitu, pengeluarannya kurang dari 230 ribu /bulan. Apalagi kalau menggunakan standar Bank Dunia (pengeluaran kurang dari US$ 2 perhari) maka ada lebih dari 100 juta orang miskin di negeri ini. Sepertinya jumlah itu terus bertambah dengan keadaan ekonomi yang belum stabil ini.
Di negara maju di luar negeri seperti di Amerika, para pengemis digolongan sebagai tuna wisma. Untuk hidup keseharian para tuna wisma itu diberi kupon ransum oleh negara. Para petugas dinas sosial biasa mengumpulkan mereka di sebuah tempat, lalu memberi mereka kupon makan. Tujuan semua itu agar mereka tidak mengganggu para pejalan dan mencegah perbuatan kriminal yang dipicu karena kelaparan.
Berkaitan dengan hal ini, dalam hadits disinggung lebih jauh bahwa kemiskinan bisa menjadi ujung pangkal dari kekufuran atau ketiadaan iman pada seseorang. Dan implikasi dari kekufuran jelas bahwa orang yang tidak takut Tuhan itu berkecendrungan berbuat fasad (merusak). Hal ini kiranya menggambarkan korelasi yang besar antara kejahatan dengan kekufuran dan kemiskinan itu sendiri.
Film Slumdog Millioner (2008) yang menyabet delapan oscar itu juga mengisahkan problematika yang sama tentang negara-negara berkembang yang kaya pengemis. Dikisahkan betapa rentan anak-anak yang miskin itu tercetak menjadi pengemis. Di Indonesia nampaknya keadaan juga sama saja. Lihat saja ketika Grebeg Suro, Sekatenan, atau ketika kirab budaya, kita akan melihat antrian pengemis yang panjang menunggu belas kasih kita. Mereka dengan berbagai pasang wajah dan ekspresi kemiskinan berusaha menarik simpati alih-alih malah membuat kita heran, betapa kayanya para pengemis itu ketimbang diri kita sendiri. Mereka sesungguhnya adalah cermin diri kita sendiri bahwa paradigma hidup kita bukan ditujukan untuk kualitas tetapi sikap primordial budak yang entah sampai kapan kita pelihara.
Pemerintah pun sepertinya abai dengan kemaslahatan mereka. Yang sering terlihat adalah para pengemis itu diciduk dan dimasukkan ke dalam truk oleh para satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Alih-alih dibina di tempat sosial mereka hanya sekedar dipindahkan ke daerah lain, dibuang begitu saja seperti sebuah kardus bekas tak berguna. Justru keadaan inilah yang menandakan kalau pemerintah belum sepenuhnya menjalankan benar-benar Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Ada sebuah anekdot, anak-anak terlantar dan orang miskin itu sengaja dipelihara negara yang bisa dipahami bahwa pemerintah sengaja mengesahkan kejahatan di negaranya.
Pun kita tak bisa berharap pada filantropi Ramadhan yang kontemporer belaka dan kadang itupn harus terkotori dengan motivasi yang kurang terpuji oleh beberapa oknum. Seperti ketika seorang artis ingin bersedekah dengan mendatangi sebuah tempat panti asuhan atau anak jalanan. Tak jarang filantropi ramadhan itu sekedar pendongkrak sensasi ketenaran mereka. Di Panti Asuhan itu misalnya mereka mengundang wartawan dan minta dipotret ketika sedang memeluk anak-anak miskin itu. Fatalnya acara yang seharusnya sekedar mukadimah malah sering melalaikan waktu sholat berjamaah karena habis untuk acara potret-potretan.
Ada kesadaran yang harus kita capai dalam iklim Ramadhan selain sikap filantropi yang temporial semata. Harus ada gerakan kesadaran dari semua pihak terutama pemerintah untuk benar-benar menjalankan Pasal 32 UUD 1945. Bahkan kalau perlu Presiden sendiri yang menyeru kepada para pengemis itu agar berhenti mengemis. Menyeru dapat diartikan dengan banyak hal yang bermakna positif. Dan kita sebagai orang beriman dapat belajar dari kisah hadits ini. Ketika nabi Muhammad SAW. didatangi seorang pengemis yang biasa datang ke rumahnya, kali lain menyuruh pengemis itu membeli kapak dari sebagian uangnya. Nabi menyuruh mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Suatu saat ketika pengemis itu kembali kepada Nabi Saw. ia sudah tidak berprofesi lagi menjadi pengemis, melainkan seorang pekerja yang mampu menghidupi diri dan keluarganya.
Dari kisah hadits ini mengajarkan bahwa kita tidak perlu sampai menolak pengemis yang datang apalagi mengharamkan keberadaan mereka. Akan tetapi Islam lebih senang kepada orang yang kuat daripada orang lemah, orang yang berharta daripada berhutang, karena dengan begitu seseorang itu akan lebih banyak melakukan ibadah dan amal sholeh dalam kehidupannya untuk mencari keridhoaan Allah Ta’ala. Dan memang perlu digaris bawahi sejauh ini kita selalu bercermin diri dengan para pengemis itu kadang tidak hanya di jalan, tetap dalam wujud kita sendiri. Benar seperti yang mereka katakan kepada kita, “orang miskin dan anak terlantar sengaja dipelihara di Indonesia ini”.
Wallahu a’lam bishshowab.