dimuat di joglo semar 04/11/
Kepulanganku ke rumah Simbok kali ini bukannya tangan kosong. Setidaknya ada sedikit yang kubawa. Ada kain batik untuk Simbok, oleh-oleh snack untuk keponakan. Namun aku masih merasa salah. Sepuluh tahun lebih aku tak pulang. Adikku yang lain, mereka selalu pulang. Namun karena aku bukan orang yang paling kaya di antara mereka, jarang sekali aku pulang. Dan ini adalah tujuh tahun terakhir aku pulang kampung ke rumah Simbok di jawa timur ini. Walaupun alasan ini pula bukan penyebab utama aku enggan pulang.
Di mobil ada anak dan istriku yang sdang tertidur. Mereka tampaknya menikmati perjalanan jauh. Tak keberatan kuajak pulang ke Malang. Istriku yang dapat cuti panjang dari perusahaan terserah saja. Malah dia sering menanyakan mengapa aku jarang pulang ke kampung halaman.
Aku menjawab karena memang aku tak ingin pulang. Kerinduan pada Simbok memag kurasakan meletup kali ini hingga aku memutuskan mengajak mereka. Sering aku bermimpi melihat Simbok. Raut wajahnya, rambutnya yang beruban, semua begitu lekat dan nyata terbayang padaku.
Perjalanan dari Jakarta bukannya tanpa kesulitan. Jalanan macet di mana. Untunglah anak-anakku tak banyak rewel. Kami bisa mengatasi setiap kendala. Dan sering kami hanya istirahat ketika anak-anakku hendak ke kamar kecil. Tapi itu tak masalah. Istriku tahu yang harus dikerjakannya dan banyak membantuku dalam perjalanan kali ini.
Namun rasanya masih ada yang kurang kubawa dalam perjalanan ini. Ada yang ingin berbeda kubawa pulang untuk Simbok.
Di pinggir kali itu ketika kami melewati persawahan yang dibelah sebuah sungai, aku melihat beberapa orang yang tampak asyik bekerja. Ya, mereka adalah para pembuat cobek batu Malang yang terkenal itu.
Aku jadi terpikir sesuatu. Segera aku turun ke dari mobil. Anak dan istriku bertanya. Tapi aku hanya tersenyum saja.
Ya, aku ingat sesuatu yag amat lekat pada pikirannya tentang Simbok. Aku selau duduk di dekatnya membawa buku ketika Simbok meracik sambal. Dengan senang aku mengamati gerakan tangannya. Bau sambal yang meruap ke hidung dan kadang membuat bersin.
Aku menyukai kenangan saat itu. Dan ingin kubawakan cobek terbaik buat Simbok, sebuah cobek asli buatan Malang.
Aku turun dan melihat beberpa orang yang sedang memelah batu. Nampak di dekat kali seorang yang sedang membuat cobek. Segera kudatangi. Cobek itu baru setengah jadi.
“Apa masih lama Pak?” tanyaku tanpa basa-basi. “Ini dijual kan?”
“Ya, tentu saja Pak,” jawabnya ramah.
“Saya mau menunggui. Boleh kan?”
“Silakan.”
Aku menelopon istriku. Kukatakan tunggu dua puluh menit lagi. Kukatakan mereka boleh turun ke kali atau melihat pemandangan.
Istrku ternyata tertarik dan turun. Sementara anak-anak katanya masih tidur. Jendela sudah dibukannya jadi tak perlu khawatir.
Istriku mendekat. Tertarik dari binar matanya yang memancar penuh kecantikan.
“Ini dibuat langsung. Bukan cetakan seperti yang di rumah itu.”
“Seperti yang kaulihat.”
“Wah, aku juga ingin membawa pulang satu set.”
“Ah, lama nanti.”
“Nggak pak. Sudah ada yang jadi kok,” kata bapak itu. “Cuma ngrampungin yang ini saja.”
Aku senang dengn cobek itu. Hasilnya betul-betul maha karya yang ajaib. Sebuah cobek. Ini past akan sangat berguna bagi Simbok.
***
Perjalanan pulang mudik menjadi berarti dengan membawa cobek. Anak-anakku tak tahu menahu tentang cobek.
“Berat sekali batu ini,” kata si sulung.
“Bentuknya lucu…” kata adiknya.
Aku sendiri hanya tersenyum mendengar mereka. Pikiranku sesekali menerawang tentang masa kecilku di desa. Rasanya aku memang dilahirkan dengan cobek dan sambal trasi yang pedas. Ya, itu telah mewarnai sepanjang hidupku. Tidak hanya di masa kecilku.
“Dulu bapakmu itu nggak mau makan, kalau tidak ada sambelnya. Pernah sampai dia pilih jajan di luar. Habis gara-garanya saat itu langka lombok, harga lombok selangit.”
Itu kata simbokku tentang bapak.
Aku percaya apa disampaikan simbokku. Walaupun aku belum pernah melihat bapakku. Kata simbok, bapak meninggal ketika aku kecil. Aku memang tak punya ingatan tentang bapakku.
Ah, simbok. Rasanya perjalanan ini akan selalu kembali padamu. Aku selama ini tak pernah merasa jauh padamu. Aku selalu merindukanmu. Banyak hal yang ingin kusampaikan, kuutarakan. Tidak ada yang lebih mengerti aku selain engkau.
Dulu istriku sering bertengkar dengan simbok. Tapi itu dulu. Ketika kami masih remaja. Kemudian kami pindah, dan lamat-lamat itu kerinduan mulai menjelma di antara kami.
“Apa simbok akan marah denganku Mas?”
“Mana mungkin simbok marah. Simbok sudah lupa semua hal remeh itu.”
“Menurut Mas, aku ini menantu yang baik?”
“Tentu saja.”
Istriku tersenyum, tapi ia tahu kalau aku cuma menghiburnya. Padahal, sebenarnya itu memang benar. Hanya saja yang membuat kami tidak tampak menantu yang baik adalah kami tak pernah pulang, sampai sepuluh tahun ini.
Rumah dan desa, menjadi kenangan sepanjang jalan. Dan cobek ini menjadi alasan bahwa aku akan pulang. Tidak akan lama lagi.
Lebih dari itu, aku ingin bertemu simbokku. Kepada orang tua aku berbakti. Kepada mereka aku ingin mengabdi. Mereka ingin kubawa ke kota. Ke tempat yang indah-indah. Ke tempat yang menyenangkan.
Apakah simbok mau?
*
Kepulanganku hanya menemukan simbokku yang tiduran di amben. Ia sudah pikun dan sakit keras. Kepada aku saja dia sudah tak mengenali.
Istriku memegang tanganku, tahu kepedihan yang kualami. Ada rasa bersalah yang kurasakan. Melalui tatap mata saudaraku yang kini berkumpul, aku juga merassa mereka pasti menyalahkan aku. Dan kuakui aku memang bersalah.
“Simbok sering menyebut namamu ketika tidur,” kata kangmasku.
Ya, hanya ketika tidur simbok sering mengigau, memanggil namaku. Ketika saat mengigau itu, aku balas memanggilnya, kukatakan bahwa aku berada di dekatnya.
“Le, pulanglah le… apa kau tak rindu simbokmu… le, apa kowe wis lali…”
Aku terisak. Istriku tetap berada di sampingku namun air matanya lebih deras daripada aku. Aku tahu dia juga merasa bersalah. Tak banyak kenangan yang tercipta antara kami.
“Simbok maafkan Esti, Mbok…” istriku ikut mendekat.
Dan suara simbok seperti menjauh. Kini tubuhnya bergerak dengan kekuatan yang besar. Ia terguncang. Istriku makin terisak. Kami juga mengenali tanda-tanda itu. Aku menyuruh Esti mundur.
“Cepat panggil kangmas..”
Istriku berlari. Aku tetap memandangi simbok, yang kini aku tahu sedang menjalani sakaratul maut. Apakah dia sedang bertemu dengan malaikat maut yang menyeramkan itu? Ataukah dia sedang menjalani rasa sakit yang luar biassa, ketika ruhnya itu bergerak lepas dari jasadnya?
Aku mungkin tak bisa merasakan semua kesakitan yang maha dasyhat itu. Namun air mataku terus mengucur, tak bisa kubendung. Segalanya tak tergantikan. Antara aku dan simbok. Antara kami bersama, satu keluarga ini. Kenangan yang luruh. Segalanya menyerbu, menyesakkan dadaku. Hanya ingatan-ingatan pesan ustadz yang terngiang ketika berhadapan dengan musibah seperti inil, bahwa dilarang untuk menganiaya diri sendiri ketika keluarga kita meninggal. Aku harus yakin dengan jalan simbok yang lebih baik. Bahkan, kata masku, simbok sebelum meninggal memberikan sebatang sawah untukku.
Tapi, aku sudah memutuskan semua. Aku ingin sawah ini diurus kakakku, dan hasil panennya diberikan kepada warga miskin di desa ini. Biar kang masku yang mengurus. Semua biaya aku yang akan menanggung, dan kumohonkan agar shodaqoh ini pelepas kepergian untuk simbokku. Kepadanya terakhir aku bisa berbuat. Kepadanya aku yang tak sempat menemani di kala ia kesepian. Dan tak sempat mengusap kakinya, dari debu-debu keletihan. Dan yang tak sempat menadahi air matanya ketika ia berduka.
Simbok, selamat jalan. Aku tahu engkau menemukan rumah lapang dari doa-doa tulusmu. Semoga Allah memberimu kehidupan yang lebih baik sekarang.
dengan sedikit pengeditan 🙂