Sajadah Panjang
…..
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Diatas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
…..
(Lagu Bimbo, Sajadah Panjang )
I
Semua Dimulai Dari Sebuah Malam
Berawal dari sebuah malam dan seorang lelaki dengan impian yang dikejarnya. Ia bekerja keras tak kenal lelah untuk meraih cita-cita. Bersungguh-sungguh membayangkan di setiap langkahnya dengan kecintaan luar biasa, bahwa ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan itu. Itulah harapan. Itulah cinta.
“Apa yang kuperbuat di malam ini adalah demi tercapai mimpiku esok hari!” putus Mahesa saat mulai membersihkan lantai restoran itu. Ia bekerja paruh waktu. Ketika pagi dan sore kuliah tapi ketika malam ia menghabiskan waktu di restoran menjadi pramusaji dan pembersih restoran.
Saat ini sudah hampir jam satu malam. Ototnya terasa linu. Tenggorokannya terasa gatal, pertanda dari sakit demam. Tapi Mahesa tahu ia harus merampungkan tugasnya sebelum pulang. Sejenak ia menghela napas. Lantai telah selesai ia pel. Ruangan telah bersih dan ia siap-siap pergi dari tempat ini. Tapi di tempat lain, di rumah masih menunggu tugas kuliah. Kalau memungkinkan ia akan menyelesaikannya setelah sampai rumah. Namun kalau tak kuat ia tak akan memaksa. Ia tak mau tubuhnya sakit sekarang, karena ia akan memerlukan banyak tenaga untuk kerja dan belajar di hari esok.
“Sudah selesai Pak Marno. Saya pulang dulu,” kata Mahesa pada si penjaga malam yang sedang memutar-mutar sinyal radio, dipilihnya pada lagu dangdut kesukaan. Ia hanya mengiyakan dengan acuh saja salam Mahesa.
Mahesa pergi dengan sepeda kumbangnya meluncur membelah malam menuju ke kamar kost di Gampingan. Melewati Malioboro, salah sudut kota Jogja yang masih belum tidur. Jam segini masih banyak orang begadang, entah itu pedagang, pengamen jalanan, para turis domestik atau turis mancanegara. Ada seorang turis bule sedang serius membidikkan kameranya ke arah gedung Bank Rakyat Indonesia. Ada seorang pengemis sedang menghitung uangnya di bangku taman, tepat di sebelahnya seorang mahasiswa sedang memelototi laptop. Semua kehidupan terasa bergerak lamban. Mahesa terus meluncur ke arah barat. Ketika jalanan menurun ia bisa sejenak istirahat, tak perlu mengayuh sepeda. Tinggal diam saja nanti sepeda akan sampai di kamar kostnya yang terletak dekat pasar, di sebelah SMA 1 Jogjakarta.
Sambil diam begini, Mahesa ingat setahun lalu ketika ia bingung mencari sambilan hingga akhirnya memilih berjualan poster di Malioboro. Tapi ternyata orang-orang lebih memilih poster bintang film, wanita seksi, bukan poster-poster lanskap alam yang ia jual. Mereka hanya melewati saja lapaknya hari demi hari, hingga terpaksa ia menjual rugi semua barangnya kepada seorang pedagang sahabatnya.
“Kenapa dijual?”
“Buat modal Pak.”
“Ini aku kembalikan ke modalmu sajalah. Aku tahu kamu sudah kerja keras,” ujar sahabatnya itu.
“Jazakumullah Khairan. Makasih Pak,” jawab Mahesa benar-benar berterima kasih karena ia hanya rugi tenaga.
Kemudian Mahesa mencoba pekerjaan di sebuah warnet. Sesudah kuliah sore, ia bekerja menunggu warnet selama delapan jam. Dari jam tujuh malam hingga jam tiga pagi. Di sana ia tak menemukan kecocokan. Selain karena merasa lebih capek karena hanya berjam-jam duduk di depan komputer, banyak para kliennya ternyata membuka situs-situs porno.
Mahesa sudah berusaha memprotek hal terakhir ini. Tapi tak banyak hasilnya. Masih saja orang-orang itu berusaha meretas[ Meretas, menghak.] dengan segala cara agar mendapat apa yang mereka inginkan.
Mahesa pilih keluar dari warnet. Setelah dari warnet, ia mencoba bekerja di sebuah rental komputer di dekat kampus. Pekerjaan ini juga tak berlangsung lama. Banyak tugas kampus jadi terbengkelai. Ia pun memilih pergi, hingga ada tawaran menjadi pramusaji sekaligus menjadi pembersih restoran. Ia hanya menjadi pramusaji saat restoran buka dan menjadi pembersih ruangan ketika restoran tutup, sementara bagian cuci piring ditangani pegawai lain.
Mahesa cukup senang dengan penghasilan yang ia dapat dari restoran. Lagipula pemiliknya adalah dosennya sendiri. Malah bekerja sebagai pelayan membuat Mahesa bisa belajar tentang pemasaran dan penjualan. Ia juga belajar bagaimana cara memuaskan para pelanggan dan menghadapi para klien beraneka ragam. Setiap hari sebagai pelayan ia dituntut menghadapi pelanggan dengan ramah. Dan selama lima bulan di restoran Lampung ini ia cukup puas telah melakukan tugasnya dengan baik. Hampir tak ada komplain berarti baik dari pelanggan maupun dari bosnya.
Lamunan Mahesa buyar ketika ia merasa sudah hampir menuju rumah. Namun tiba-tiba ketika ia hendak membelok, dari arah jam dua belas meluncur sepeda motor dengan cepat ke arahnya. Mahesa tak bisa mengendalikan lagi arah sepedanya. Sebuah tumbukan keras terjadi. Sedetik itu Mahesa sempat berpikir bahwa semua mimpinya akan berakhir pada malam hari ini. Bahwa hidupnya akan berhenti pada detik ini.
Suara tumbukan keras itu mengagetkan orang-orang yang sedang menikmati wedangan di Hik dan memaksa menghentikan para pengendara lain. Sungguh, kecelakaan itu terjadi sangat keras! Pasti pengendara sepeda itu akan terluka parah! Pikir mereka.
dimuat di majalah Al Mar’ah