Hidup Tanpa Rencana # cerber Al Mar’ah # 2

sajadah

Dada Mahesa terasa sesak. Ia ingin muntah. Sepertinya benturan yang terjadi membuat ia pening. Ia masih ingat dengan kejadian tabrakan baru saja tadi. Dan sekarang, tak tertahankan lagi ia ingin muntah.

Tapi betapa terkejutnya ketika Mahesa membuka mata. Ia berada di sebuah ruangan asing. Ia bingung memikirkan dimana sekarang berada. Ia sekarang telah berada di ranjang. Tunggu dulu, pikirnya, apakah aku sedang berada di rumah sakit?

Mahesa membuka mata dengan jelas. Ya, katanya pada dirinya lagi, ia berada di rumah sakit. Ruangan putih ini. Bau obat menusuk hidung. Dan ia melihat dengan jelas infus yang mengalir ke tangannya.

Mahesa bernapas lagi mengendalikan hatinya yang tergoncang. Ia tak percaya bahwa ia sekarang berada di rumah sakit. Entah berapa lama ia terbaring di sini. Dan ketika ia melihat ke bawah ia melihat kedua kakinya diperban!

Mahesa beristighfar dalam hati. Ia ingin menangis melihat kenyataan yang terjadi alih-alih ia tak bisa menahan diri untuk memuntahkan isi perutnya yang bergejolak.

Saat itu seorang suster sedang masuk dan segera menolongnya.

“Syukurlah Anda sudah sadar,” katanya dengan ramah dan tak marah sambil membersihkan isi perut yang mengotori lantai.

Tapi tetap saja Mahesa tak bisa menutupi kegoncangan hatinya.

“Bagaimana keadaan saya suster?”

“Anda baik-baik saja. Untuk lebih jelasnya nanti saja menunggu pemeriksaan dokter.”

“Jangan bohong Suster. Bagaimana nasib kaki saya?”
Si suster hanya tersenyum. Muntahan itu telah selesai bersih. Melihat tanpa jawaban Mahesa rasanya ingin menangis. Ketika ia ingin mengangkat kakinya bahkan kakinya tak dapat ia gerakkan. Terasa berat.

“Sebaiknya jangan dipaksa.”

“Apa saya akan cacat suster? Jawab saya suster?”

“Tenanglah, dokter akan merawat dengan baik. Anda akan baik-baik saja.”

Mahesa mengira ia pasti akan habis. Ia mengais air matanya dengan sengit, mencoba bertarung dengan kegoncangan haitnya. Ia berpikir banyak hal, dan ketika memaksakan dirinya untuk hal itu ia kembali memuntahkan isi perutnya lagi.

“Apakah terasa mual sekali?” tanya suster.

Mahesa hanya mengangguk lemas. Sebentar kemudian suster menyuntikkan sesuatu ke dalam infusnya. Mahesa tiba-tiba terasa mengantuk hingga jatuh tertidur .
***
“Selamat siang,” berkata si suster. Mahesa merasa malu bahwa dirinya baru bangun sesiang ini. Terlihat sinar matahari sudah memancar keras masuk ke dalam ruangan. Entah jam berapa.

“Hari apa ini Suster?”

“Hari sabtu.”

Hari sabtu, berarti sudah seminggu ia berada di rumah sakit ini. sendirian saja dirinya tanpa penjenguk. Untung si suster cukup ramah dan mengerti keadaannya. Sebelah kakinya ternyata masih harus digips. Tapi ia sudah mengatakan kepada dokter bahwa ia ingin pulang. Si dokter belum memberi jawaban. Ia tahu harus meyakinkan si dokter itu lagi.

“Anda melewatkan sarapan pagi lagi? Bubur anda sudah dingin.”

“Masih kurang garamnya suster. Kurang asin sedikit.”

Si suster tertawa kemayu. “Sekarang garam mahal Mas. Para petani garam tak bisa membuat garam sendiri. Sekarang garam harus impor.”

“Malah murah kan kalau impor Suster.”

“Iya, seharusnya. Tapi para pedagang, berprinsip, kalau bisa dijual mahal kenapa harus dijual murah!”

Mereka tertawa bersama. Mahesa masih tak menyentuh sarapan paginya. Ia hanya tak ingin perutnya penuh dan ia harus bersusah payah ke kamar mandi setelah sarapan. Kruk yang ada belum ia biasa pakai. Para penjenguk yang berada di sebelahnya yang sedang menjenguk keluarganya hanya melihatinya iba. Mereka merasa kasihan karena dirinya hanya sendirian saja di rumah sakit ini.

Mahesa sebenarnya juga tak tahan dengan pandangan mereka seperti itu. Menganggap dirinya adalah makluk memelaskan yang perlu ditolong. Sebenarnya kalau boleh ia akan mengatakan pada mereka bahwa ia tak perlu dikasihani, cukup saja beritahu apa yang harus ia lakukan, tapi jangan belas kasihan. Bukan saatnya ia harus mengasihani diri sendiri. Ia harus bangkit bagaimanapun keadaannya. Walaupun ia sendiri tapi tolong jangan lihati dia dengan pandang belas kasihan itu. Itu hanya akan membuatnya merasa menjadi orang pemarah saja.

Di dalam kamar mandi, barulah Mahesa kadang merasa terbebas dari banyak hal yang selama ini ia harus tutupi. Kadangkala ia malah berhasil menangis di kamar mandi dengan menyemprotkan keran agar suara tangisnya tak terdengar hingga keluar.

Tapi Mahesa sudah tak perlu itu lagi. Ia ingin keluar hari ini. Kalau ia tetap menunggu ia bisa mati karena bosan.

Hari itu, Mahesa mengatakan pada dokter dengan jelas. Sang dokterpun tampak maklum. Kabar baiknya si dokter menyetujui sekaligus juga menyampaikan bahwa semua biaya ditanggung oleh si penabraknya.

Deg! Jantung Mahesa seperti berhenti berdetak. Selama ini ia tak pernah berpikir dan memikirkan tentang keadaan penabraknya. Siapa dirinya. Dan segalanya ia buta. Entah mengapa ia tak sempat memikirkan hal itu. Selama ini ia terlalu stres mengatasi dirinnya sendiri.

“Bagaimana dirinya, Dok?”

“Dia tidak apa-apa. Hanya luka-luka lecet dan memar. Tak ada gegar otak.”

Mahesa mengangguk mendengar penjelasan sang dokter dan entah mengapa merasa sedikit kecewa karena si penabraknya ternyata sama sekali tidak terluka. Yang terluka parah adalah dirinya.

Mahesa jadi tersenyum nyinyir ketika dokter pergi. Tampaknya skenario yang diatur Tuhan untuk dirinya sangat tidak adil. Ya, bukan si penabraknya yang berkendaraan motor yang mengalami sakit tapi adalah dirinya yang berkendaraan kecil harus terluka hingga kakinya patah dan harus digips.

Bahkan masih ada lagi, si pengendara itu adalah orang kaya yang mau membiayai semu biaya sakit di rumah sakit.

Hidup tak perlu rencana, karena Tuhan telah memberikannya sepanjang waktu. Ya, itulah yang terjadi padanya. Ia hanya bisa merencanakan tetapi Tuhan yang menentukan.

Apakah ia boleh menggugat Tuhan?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s