Perayaan Kesepian Perpustakaan Daerah Karanganyar

Perpustakaan-Daerah-Karanganyar
Road show perpustakaan nasional berjalan dengan setengah hati. Acara yang berlangsung ahad, (23/12), yang dihadiri berbagai eleman masyarakat, pelajar, mahasiswa, komunitas sastra, masyarakat umum, di pendopo Bupati Karanganyar berlangsung semacam seremonial belaka atau membenarkan tuduhan sebagian peserta, acara itu hanya untuk ‘menghabiskan anggaran akhir tahun’. Apa pasal? Acara yang seharusnya digadang menjadi jembatan antara masyarakat buku di karanganyar dan perpustakaan nasional itu, yang dalam undangannya akan menghadirkan narasumber yang kompeten dan lengkap, ternyata sangat bertolak belakang. Bupati yang dijadwalkan hadir juga tidak hadir dan hanya lewat sambutan wakilnya saja. Kepala perpustakaan nasional juga tidak hadir juga diwakilkan. Setda Karanganyar, juga tidak bisa hadir. Anggota DPR Komisi X yang terhormat yang menjadi wakil rakyat, yang seharusnya selalu turut serta berada di depan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, seperti yang selama ini mereka citrakan, ternyata juga mangkir! Hingga akhirnya dalam keadaan yang tertatih-tatih acara itu tetap berlangsung dengan dua narasumber, yaitu kepala perpustakaan karanganyar sendiri dan perwakilan dari perpustakaan nasional Jakarta.

Nasib Masyarakat Buku di Karanganyar
Seakan sudah menjadi aib bagi Karanganyar, bahwasanya keberadaan buku dan perpustakaan bukan sebagai variabel yang seksi dalam konstelasi politik praktis apalagi ketika sudah merambah pada kekuasaan. Inilah yang terjadi pada nasib perpustakaan daerah karanganyar. Rencana perpusda karanganyar akan digusur untuk perluasan open space alun-alun karanganyar, setelah dulu sempat pindah dari gedung olahraga ki ageng serang beberapa tahun silam, dan sekarang akan dipindahkan ke bekas RS Kartini, timur radio Swiba. Kondisi yang selama ini tidak lebih baik dengan nebeng di gedung milik KODIM itu, sekarang nampaknya akan menjadi lebih buruk dengan ‘dimasukkan ke bekas rumah sakit Kartini itu’. Menjadi pertanyaan, apakah sudah sangat sakit kondisi masyarakat buku dan perpustakaan di Karanganyar?

Buku adalah jendela ilmu. Konon, mantra itu masih didengungkan olah praktisi-praktisi pengajar di sekolahan dasar atau para mentor-mentor yang biasa menangani anak yang susah belajar dan tidak mau membaca buku. Namun kenyataan di lapangan, buku bukanlah salah satu menu utama dalam keseharian kita di jaman sekarang. Pararel dengan hal itu mengapa tingkat kesejahteraan masih diukur dengan upah minimum regional dan bukannya dengan tingkat pendidikan regional, seperti yang dilakukan beberapa negara maju. Padahal yang siginifikan sebenarnya justru bagaimana pengelolaan pendidikan menjadikan ukuran standar dalam kemajuan bangsa.

Dalam hal inilah sebenarnya perpustakaan umum daerah mempunyai andil besar dalam menyediakan buku yang murah dan mudah diakses oleh masyarakat khususnya Karanganyar, dan umumnya di Indonesia. Kerjasama dengan komunitas literasi juga dirasakan sangat perlu untuk terus membuat iklim membaca di tanah air ini bisa semakin subur. Seperti yang menjadi yel dalam road show perpustakaan nasional itu, mari jadikan buku sebagai sumber ilmu bagi keluarga, hal itu harus menjadi ‘dzikir’ keseharian kita. Gerakan mengunjungi perpustakaan misalnya, tidak hanya diwajibkan kepada siswa sekolah dasar hingga menengah, tetapi juga bisa menjadi program reguler bagi keluarga. Toh, menjadi pelanggan perpustakaan daerah sangat murah jika dibandingkan manfaatnya. Dengan membayar administras keanggotaan sebesar 2.500 rupiah yang berlaku satu tahun, kita dapat meminjam buku gratis dalam tempo yang ditentukan kecuali buku referensi yang memang hanya bisa dibaca di perpustakaan saja.

Sejalan dengan hal itu, pengelolaan perpustakaan juga harus menjadi prioritas bagi manajemen perpusda karanganyar sendiri. Pelayanan yang ramah dan tepat juga harus menjadi tagline dalam memasyarakatkan buku. Kekurangan memang selalu ada, misal koleksi yang tidak lengkap atau kondisi ruangan yang terbatas, namun niscaya itu bisa akan ditebus dengan sikap dan etos kerja yang profesional. Dan bagaimana penerapannya hal itu di lapangan, tentu dari manajemen perpustakaan daerah harus senantiasa mengevaluasi. Terutama bagaimana agar menjaga koleksi-koleksi di perpustakaan daerah karanganyar bisa tetap terpelihara dan rapi sesuai dengan katalog yang ada. Pengurusan terhadap buku yang dipinjam tidak dikembalikan juga harus segera dilakukan, karena nampaknya kedisiplinan tetap menjadi faktor pertama dalam ukuran kemajuan institusi dan manajemen.

Yang terakhir adalah, bagaimana terus membentuk masyarakat suka buku, sudah menjadi tanggung jawab bersama. Kemajuan jaman yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan ilmu, niscaya akan menjadikan bangsa ini sebagai budak kasar dari negeri lain. Hal ini sudah banyak terjadi dan tidak perlu penulis sebutkan. Peran pemerintah daerah hingga pusat juga perlu ditingkatkan, agar kemajuan pendidikan menjadi prioritas, dan tidak perlu terjadi adanya ‘musibah’ bahwasanya perpustakaan saja di Karanganyar tidak punya gedung sendiri. Sungguh sangat ironis, dengan tingkat pendapatan daerah yang besar dari berbagai sumber daya alam dan industri yang berkembang di Karanganyar, ternyata tidak mampu memiliki perpustakaan sendiri yang mandiri. Juga penulis yakin, tulisan ini akan membawa manfaat daripada mungkin laporan tahunan yang sekedar menjadi juklak dan juknis, yang sama sekali tidak berkiblat bagaimana memajukan kondisi masyarakat buku di Karanganyar apalagi bercita-cita membangun bangsa yang berkarakter dengan buku. Tampaknya hal terakhir ini kita masih terbelakang, dan harus legowo untuk mengakui, sebelum merasa berpongah diri telah menjadi bangsa yang maju dan sukses pada akhir tahun ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s