Review jurai oleh Andri Saptono untuk Festival Sastra Solo yang diadakan Pawon, 22 Feb/23 Feb 2014
Judul buku :Jurai
Penulis :Guntur Alam
Tebal :vii + 300 hlm
Penerbit :Gramedia
Cetakan :Maret 2013
Kata Jurai bermakna garis nasib (kehormatan) pada seorang anak yang dikait-kaitkan orang-orang dengan ayah-ibu si anak tersebut. Bila ada seorang anak yang terkenal urakan, nakal maka akan dikatakan: Itu jurai orang tuanya. seperti pepatah, buah tak akan jatuh jauh dari pohohnya. Namun makna jurai lebih universal. (Footnote hlm. 8) Saya mencoba membandingkan kosa kata ini dengan sukerta, dalam kosmologi Jawa yang berarti ‘tanda lahir buruk’ semacam sifat genetis (gawan bayi) yang dibawa si anak yang kelak membuatnya mengalami nasib buruk, celaka, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga. Misalnya, anak ontang-anting (anak tunggal) atau anak kembar dampit. Dalam kosmologi Jawa, anak yang membawa sukerta ini harus diruwat, dibersihkan dengan cara menanggap wayang yang lakonnya tertentu. Tentu ini bukan persoalan sederhana. Bukan hanya biaya nanggap wayang itu mahal, namun jiwa kemerdekaan anak dipasung dengan kisah dongengan seperti itu yang sama sekali tidak bermanfaat dan membawa mudharat. Bahkan hal seperti ini dimanfaatkan beberapa orang untuk memancing di air keruh, memasang jasa untuk meruwat dengan tarif mahal dan sangat bangsat sekali membodohi masyarakat seperti itu.
Tetapi dalam novel jurai, sang penulis memaparkan tentang kisah kemiripan si tokoh (Catuk), seorang anak laki kelas V SD yang mirip dengan bapaknya. Kemiripan ini adalah jurai dan sukerta yang kelak bisa membawa bala. Kelak suatu saat, tepatnya pada pada suatu siang di musim kemarau, Ebak—ayah Catuk—tiba-tiba pulang ke limas—rumah adat Sumatra Selatan—dalam keadaan tanpa nyawa. Padahal pagi harinya, dia dalam keadaan baik-baik saja, segar bugar tanpa kurang sesuatu apa. Ebak masih bisa menemani Catuk mandi di Sungai Lematang, bahkan masih sempat memboncengkan anak bungsunya itu ke sekolah, sebelum meneruskan perjalanan dengan sepeda kumbang menuju kebun karet milik Toge Nagap yang biasa Ebak sadap (halaman 4). Diceritakan pada bab-bab awal itu Ebak meninggal karena diamuk babi hutan.
Tapi belakangan, penyebab kematian Ebak terkuak. Ebak menemui ajal bukan karena diamuk babi hutan, melainkan karena ditabrak sepeda motor yang dikemudikan anak Toge Nagap, sang majikan Ebak. Toge Nagap berbuat dusta agar tak terkena perkara. Toge Nagap meminta pegawainya yang saat itu berada di TKP (Tempat Kejadian Perkara) mengarang dusta perihal penyebab kematian Ebak bahwa Ebak mati diserang babi hutan. Sementara itu, Toge Nagap yang mengetahui Emak buta huruf, justru membuat surat pernyataan yang berisi Emak tidak akan menuntut apa pun dari peristiwa itu. Hal ini adalah kekhilafan Emak yang tidak bisa baca tulis yang membuatnya mau membubuhkan cap jempol di surat itu (hlm. 109-110).
Hal ini semacam sindiran bahwa kebanyakan majikan yang busuk akan melahirkan anak-anak yang ceroboh dan busuk pula perilakunya. Jika ini dimaksudkan sebagai pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” kiranya ini lebih tepat untuk perkara negatif ini.
Persoalan lain tentang poligami atau kesetaraan gender coba diselipkan penulis dalam novel ini pula. Seperti sudah jatuh kena tangga, ketika hari berduka itu belum sembuh, pada suatu petang, limas Catuk kedatangan tiga orang asing dari Palembang. Mereka itu terdiri dari seorang wanita beserta dua anaknya. Setelah berbasa-basi, mengakulah wanita itu sebagai istri kedua Ebak. Pengakuan itu bagaikan petir di siang bolong, lebih-lebih saat wanita itu menuturkan pernikahannya dengan Ebak dilangsungkan atas restu Emak lewat surat buatan Ebak yang diberi cap jempol Emak.
Persoalan ini seakan menyindir tentang nikah siri. Seorang laki menikahi perempuan dan kemudian menyembunyikan status dan keluarga barunya itu. Persoalan poligami memang tidak bisa dihukumi dengan hukum positif negara. Ada perbedaan mendasar dengan hukum Islam. Seorang lelaki boleh menikah hingga maksimal empat, dengan syarat-syarat tertentu dalam hukum nikah. Ia juga harus bersikap adil dan amanah terhadap keduanya dan tidak berupaya mementingakan satu di atas yang lain. Jika yang terjadi pada kisah Guntur ini adalah memang sebuah kesalahan dan kedzaliman terhadap keluarga. Memang ini banyak terjadi. Tapi ini tidak bisa menghukumi bahwa poligami itu adalah sebuah kejahatan pula. Poligami bukanlah kisah tentang pengkhianatan seharusnya. Dan ia memberi mashalat bagi manusia jika dilakukan dengan dasar yang benar.
Kisah Catuk adalah lokalitas di lingkungan masyarakat Tanah Abang, Sumatera Selatan, yang memiliki kepercayaan atas keterkaitan nasib orang tua dengan anak-anaknya (Jurai). Karena mendapat ‘hidayah’ dan pula didorong amarah, mungkin juga dendam, Emak bercita-cita mengubah nasib diri lewat keempat anaknya—Catuk dan ayuk-ayuknya. Emak bercita-cita menyekolahkan keempat anaknya itu setinggi mungkin semata agar tidak mudah ditipu seperti dirinya. “Kalian tak boleh buta huruf. Kalian tak boleh bodoh. Sekolah yang tinggi, biar tak ditipu.” (halaman 152).
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Emak rela bekerja apa saja. Asal halal dan mendatangkan uang; mulai dari menyadap getah karet, berjualan kemplang, berjualan sayur secara keliling, sampai kemudian nekat merantau ke Muara Enim sebagai buruh cuci sekaligus menjajakan makanan di kantin sekolah. Cibiran dari keluarga dan tetangga tak ia hiraukan. Menurut mereka, Emak salah langkah: buat apa jauh-jauh bekerja di rantau semata untuk menyekolahkan tiga gadis—selain satu bujang tentunya? Toh pada akhirnya setelah menikah gadis-gadis hanya akan mengurus rumah, balik lagi ke dapur!
“Apa kata orang sedusun nantinya? Janda Arianton bin Mustofa meninggalkan limas ke kota demi mengangkat anak gadisnya. Kau ada bujang. Tugas kau untuk mengangkatnya sambil merawat limas. Kelak, bila ia sudah besar dan cukup umur, anak bujang yang mengangkat kehormatanmu. Bukan anak gadis!” (halaman 276).
Tetapi kehendak Emak sudah bulat. Meskipun dibayangi ancaman dikeluarkan dari silsilah keluarga, juga dicibir dan digunjingkan banyak orang sebagai “perempuan pemakan tulang laki,” Emak tetap berangkat ke Muara Enim dengan mengajak anak-anaknya serta. Catuk menyimpulkan kisah perjuangan Emaknya dan juga representasi sang penulis terhadap seorang Ibu yang tegar.
“Emak bisa diandalkan sebagai pengganti Ebak. Setelah kepergian Ebak, aku melihat sosok lain dari Emak. Sosok wanita yang kuat. Kuakui, seorang ibu mampu melakukan apa saja demi anak-anaknya.” (halaman 296).
Guntur Alam menyuguhkan novel apik tentang perjuangan dan mimpi seorang anak manusia untuk mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang lebih baik. Kisah perjuangan kelas akar rumput di sebuah desa pedalaman nan jauh di luar Jawa. Sekaligus novel ini sebagai sebuah sentilan bahwasanya kemakmuran hanya terpusat pada Jawa dan daerah kota, sementara desa pelosok-pelosok seperti Catuk dan keluarganya ini tinggal mendapatkan sisa ampasnya saja. Jika ini merupakan realitas yang faktual terjadi, pastilah desa Catuk ini sangat pelosok dan jauh dari akses kebijaksanaan tangan pemerintah, bahwasanya di jaman sekolah gratis ini Catuk dan ayuk-ayuknya mengalami kemiskinan yang berlarut-larut demi mencicipi pendidikan yang layak.
Berkisah tentang Catuk dan keluarganya memperjuangkan mimpinya. Dalam bingkai jurai, sebuah frame besar atau bisa dikatakan sebagai sebuah kandang besar bagi mimpi-mimpi anak manusia. Mereka ingin terlepas dari jurai tersebut. Letikan api-api kecil dari sang tokoh lewat pertanyaan dan kuriositas itulah api perjuangan itu dibesarkan.
Seperti kisah para perantau, kebanyakan mereka menganggap bahwa seorang lelaki harus pergi dari kampungnya. Atau sebagaimana Imam Syafi’i bertutur dalam diwan-nya, bahwanya air yang tenang dan diam itu lebih mudah kotor daripada air yang terus bergerak. Semangat itulah yang membangun karakter-karakter pejuang dalam novel ini. Orang-orang kecil yang ingin terus maju dan mendapatkan hidup yang lebih baik. Sikap kritis mereka terhadap kejumudan adat leluhur dan nenek moyang. Sentilan terhadap Islam yang sudah melenceng dari manhajnya semula, bahwa Islam itu seharusnya adalah rahmat bagi semesta alam. Hal ini tampil centang perenang dalam kenyataan hari ini pada kisah tahlilan dan peringatan kematian. Padahal manhaj ahlu sunnah wal jamaah sendiri tidak memberikan tuntunan hal tersebut apalagi dengan memberatkan orang yang berduka untuk melakukannya hingga terpaksa berhutang. Islam jauh dari hal tersebut. Dalam novel ini pula si penulis berulang kali dalam banyak halaman mencoba menyentuh sikap kritis kita tentang peringatan kematian itu sesungguhnya hanya kejumudan dan taklid bodoh dipengaruhi oleh sejarah kebudayaan Hindu.
Pun novel ini seakan cermin bagi kisah pembangunan Indonesia kita selama era reformasi ini. Di era sekolah gratis dan gencarnya budaya digital, kisah Catuk ini tampak asing, dan menjadi anomali bagi sebagian pembaca yang tak mengalami peristiwa-peristiwa kemiskinan. Namun novel ini juga tak sekedar pamer kemiskinan seperti kisah-kisah realiti show yang menjamur dalam media televisi kita. Novel ini tak hendak bertutur tentang hal tersebut. Tak ada yang perlu ditangisi dari sebuah perjuangan dari kemelaratan. Perjuangan itu justru merupakan elan hidup yang indah. Perjuangan itu merupakan sebuah romantisme yang sangat berbeda daripada sikap-sikap wakil rakyat bermental pengemis di negara yang bernama indonesia ini. Kegagahan dalam kemiskinan adalah sebuah sikap mulia. Dan hal ini pula yang konon menjadi kredo Rendra, kegagahan dalam kemiskinan.
Secara kualitas teknis novel ini tak ada banyak masalah. Hanya sebuah kritik kecil, bahwasanya narator aku yang terasa tidak pas dengan karakter seorang anak kelas V SD bersepatu butut yang sedang dirundung duka kematian bapaknya. Akan lebih pas mungkin bahwa cerita ini adalah pengisahan masa lalu si tokoh yang kini sudah dewasa atau dengan sudut pandang karakter orang ketiga. Hal ini tentu lebih masuk akal bahwa bahasa tutur seorang anak sangatlah tidaklah mampu menjadi pencatat yang sedetil penulis tuliskan. Pun kisah yang dituturkan pun cenderung lugu dan teramat sederhana, hingga di masa sekarang ia cenderung terlihat epigon Laskar Pelangi atau Hapalan Surat Delisa. Atau jika kita berprasangka baik, novel ini mungkin sudah lama jadi dan kisah penerbitannya saja yang baru terjadi di masa sekarang, hingga ia terlihat sebagai epigon.
Namun semua catatan kritik di atas tampaknya telah tertebus dengan kepiawaian si penulis merangkai prosa yang indah dan mengena di hati. Pembaca dengan mudah mengalir air mata karena tersentuh betapa miskinnya keluarga Catuk itu, betapa kegigihan keluarga itu ikut menyengat hati mereka yang selama ini sedingin porselin di era nafsi-nafsi yang serba digitalisasi ini. Novel ini pula menjadi semacam anomali bagi para pembaca masa kini yang cenderung mengalami degradasi moral. Seperti kita lihat di berita banyak berita-berita dikabarkan pelajar SMP yang membuat video porno sendiri di sekolah dan juga kisah kepala sekolah yang berbuat mesum dengan muridnya yang belum lama menjadi headline di surat kabar.
Novel ini mungkin bila muncul sebelum Laskar Pelangi, bisa saja dia mengalami nasib indah seperti novel Andrea Hirata itu. Hal ini bukan sebuah kecap semata. Banyak nilai indah yang disematkan dalam perjuangan anak manusia ini. Ini menjadi semacam mutiara bagi para pembaca yang bisa ditemukan dalam buku terbitan gramedia ini di tengah gempuran novel pop dan chicklit serta komik alay. Jurai adalah semangat untuk keluar dari kungkungan yang bernama kejumudan tradisi dan taklid. Apalagi jika ia seorang muslim perjuangan Catuk dan keluarganya adalah manifestasi dari jihad fi sabilillah. Yaitu, perjuangan dan hijrah dari kebodohan, kemiskinan menuju kepahaman dan pengakuan akan nilai-nilai kebenaran.
Sungguh Jurai adalah sebuah novel jihad nan liris yang patut Anda koleksi.