dimuat di hikayat solo pos
Pintu tiba-tiba menutup dengan keras. Tapi tak seorang pun berada di tempat itu. Intan memegang erat tangan Lusia. Merinding bulu kuduknya.
“Ah, itu hanya angin lewat,” ujar Lusia enteng.
“Aku tak percaya lagi kamu! Katamu tadi mau ngajak makan di Cafe Cha. Lalu sekarang kita ini di mana!” protes Intan.
“He he… Iya, itu nanti. Ini tempat sudah lama kuincar.”
Tapi Intan berang. Ia tak peduli dengan soal hobi Lusia yang aneh. Masak anak gadis hobi mendatangi tempat-tempat angker bin keramat. Katanya, hobi ini membuat ketagihan. Tapi pertanyaannya, dari sisi mana hobi ini yang bisa membuat jantung orang putus ini bisa bikin ketagihan? Padahal semua yang ia datangi adalah tempat-tempat angker bin keramat. Selain itu banyak pantangan yang kalau dilanggar akan membuat celaka. Eh, Lusia tetap nekat datang ke sana. Misalnya, makam Ratu Kalinyamat. Tengah malam sendirian masuk ke Lawang Sewu di Semarang. Menurutmu apakah ini sebenarnya bibit penyakit gila Lusia?
Intan yang kali ini merasa sial jadi sasaran Lusia. Habisnya Intan dibohongi kalau ia akan diajak makan-makan ke Cafe Cha.
“Satu jam saja di sini. Entar habis itu makan-makan. Aku tidak akan bohong sama kamu kok.”
Intan masih terus memegangi tangan Lusia dengan erat. Di selasar bekas gedung lawas ini mulai tambah menyeramkan. Tiba-tiba Intan menjerit. Kakinya seperti menginjak lengan orang mati.
“Ssttt. Jangan teriak,” perintah Lusia.
Intan gemetaran. “Ayo kita keluar saja Lus. Aku takut nih…”
“Lihat ini bukan lengan orang seperti sangkamu. Ini sebuah botol cola. Tuh lihat!”
“Apanya yang menarik. Ini jantungku mau copot, tahu!”
Lusia buru-buru memberikan temuannya. “Ada bungkus rokok baru juga. Kamu tahu artinya? Tempat ini juga sering didatangi orang.”
Lusia makin penasaran dengan tempat ini. Jika ada orang tempat ini pasti digunakan untuk sesuatu hal. Apakah uji nyali? Kalau uji nyali sih, ia berani. Apalagi kalau ada hadiahnya. Siapa takut?
Mereka makin masuk ke dalam. lagi-lagi Intan menjerit.
“Ada apa Non?”
Intan gemetar melihat di bawahnya. Ia merasa ada lengan menangkap kakinya. Lusia ikut melihat ke bawah.
“Wah, ini temuan lagi. Aku bisa membayangkan siapa orang yang datang ke tempat ini.”
Lusia mengambil bekas minuman mahal itu.
“Ini bukan hanya peminum biasa. Jangan-jangan..”
“Apa kita akan masuk sarang perampok Lus?”
“Bisa saja.”
“Kalau terjadi apa-apa ini salahmu.”
“Iya tenang aja kok.”
Namun yang terjadi lebih mengejutkan Lusia lagi. Di dalam ia melihat tempat itu lebih terang dan lebih bersih dari tempat lain karena di atasnya memakai genting kaca. Ada bekas puntung rokok dan kacang berserakan di pinggir. Dan sebuah bong untuk menghisap narkoba.
“Kau tahu apa hantu yang ada di sini, Tan?”
Intan merinding Lusia menyebut hantu.
“Tempat ini dipakai untuk pesta narkoba Non.”
Intan masih belum ngeh apa yang dipikirkan Lusia. Yang ia pikirkan adalah segera keluar dari sini dari segera ke Cafe Cha, restoran kesukaannya. Itu kan yang tadi dijanjikan Lusia.
“Kamu tahu itu tadi tempat transaksi narkoba dan itu artinya… “
“Artinya apa. Kamu akan mencelakakan kita kalau orang-orang itu datang ke sini…”
“Ssst. Diam sebentar…. ada yang datang!”
Tiba-tiba Lusia membekap mulut Intan. Benar saja, ada suara langkah mengetuk-ngetuk lantai. Bukan satu orang.
Lusia tak perlu menyipitkan mata. Orang-orang itu lebih terlihat jelas daripada mereka melihat dirinya. Ada dua orang. Tapi, yang ia khawatirkan adalah Intan. Anak itu penakut betul. Baru ketika orang-orang itu membelok ke ruangan terang tadi, Lusia melepaskan bekapan tangannya dari mulut Intan.
“Kita harus pergi sekarang juga Lus. Mereka penjahat menakutkan.”
“Tidak, aku ingin tahu.”
“Apa kamu mau membahayakan nyawa kita?”
Lusia menatap mata Intan yang ketakutan. Benar, ia tak boleh egois, walaupun ini sangat membuatnya ingin tahu.
Ia patuh pada Intan. Mereka akan keluar.
Lalu mereka kembali keluar lewat jalan semula, karena hanya itu jalan yang ada. Baru beberapa langkah berjalan, terdengar suara yang mengejutkan mereka.
“Ada yang ketinggalan. Bagong ambil barangnya di mobil.”
Suara perintah itu seperti menggebuk jantung Lusia. Ia harus cepat agar tak ketahuan. Intan juga merasakan aroma mencekam. Bagaimana kalau ketahuan anak perempuan seperti mereka di sarang hantu seperti ini?
Intan dan Lusia bergegas. Tapi malang, dari depan ia juga mendengar suara langkah kaki. Mereka benar-benar terjepit.
Lusia kembali membekap mulut Intan agar tak berteriak. Terasa air panas di tangan Lusia. Tapi Lusia mencoba mengabaikan Intan yang ketakutan hingga menangis. Ia harus tenang.
***
Mereka tertangkap dan hampir tak bisa berbuat apa-apa. Ketiga orang itu membawa senjata api. Ternyata memang tempat ini menjadi tempat transaksi narkoba.
Lusia dan intan berjalan di bawah todongan senjata. Hanya Lusia berharap ketiga orang itu sekedar pengedar narkoba biasa saja daripada, misalnya, preman yang suka ngiler melihat perempuan-perempuan cantik seperti mereka.
“Kita apakah dia Bos?” tanya si Bagong yang berperut buncit.
Tampaknya Lusia harus kecewa dengan harapannya semula. Selain pengedar narkoba mereka juga penjahat wanita.
“Kita singkirkan dia di ruangan sebelah. Setelah transaksi lancar, baru kita menikmati ayam-ayam lezat ini.”
Intan seketika menjerit hingga harus dibentak si Bagong agar diam. Sementara Lusia mencoba menguasai dirinya. Ia memang merasa bersalah mengajak Intan. Tapi ia berharap rencananya berhasil atau mereka akan benar-benar menjadi korban kebiadaban para preman ini.
Ya, di dalam jaketnya, ia memencet tombol panggil kepada kakaknya yang menjadi sersan yang bertugas di Polres. Tombol panggil itu sengaja ia pencet terus. Yang sampai kepada kakaknya adalah teriakan si Intan dan bentakan si Bagong. Apalagi kakaknya itu naksir berat sama si Intan, yang pasti membuat reaksinya lebih cepat daripada Unit Reaksi Cepat milik Polisi.
Hanya itu harapannya. Namun benarkah semua itu tak akan sia-sia?
Mereka berdua digiring ke dalam ruangan gelap tempat mereka bersembunyi tadi. Lalu mereka ditinggal begitu saja. Tampaknya akan ada transaksi besar di tempat ini.
Waktu berlalu seperti berjam-jam. Mereka berdua hanya dapat mendengar selanjutnya yang terjadi di ruang sebelah sebelum mereka akan dijagal oleh para preman tengik itu. Ya, di ruangan itu sebuah transaksi besar sedang terjadi.
Intan terisak saja karena mulutnya dibungkam sapu tangan. Sementara Lusia juga sama sengsaranya. Ia juga disumpal dengan tangan diborgol di belakang.
Lusia berdoa dalam hati agar ia diselamatkan. Kalau tidak, ia tahu tak akan bisa hidup sesudah ini.
Dan entah karena doa Lusia atau karena insting tajam kakak Lusia, tempat itu segera diserbu polisi. Transaksi itu segera kacau balau. Para penjahat itu tak bisa keluar karena dikepung. Salah seorang penjahat yang melawan dengan senjata berhasil ditembak kakinya oleh polisi.
Tapi masalahnya, ada seorang yang tampaknya lebih jahat dari siapapun. Lusia yang kini dijadikan sandera.
“Lepaskan teman-temanku, atau gadis ini mati?” teriak si penjahat.
Lusia mengatur napasnya. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Bau alkohol menusuk hidungnya. Ia patuh ketika didorong-dorong dan dipukul dari belakang, sementara tangannya masih dibawah cengkraman penjahat itu.
Kakak Lusia berpikir keras. Ia harus membuat keputusan berat. Jika melepaskan semua sandera adiknya akan lepas. Tapi jika ia melakukan itu, semua penggrebekan ini akan sia-sia.
Ayolah, bantu aku Tuhan… pikir kakak Lusia.
Lusia juga ikut berpikir. Ia tak boleh panik. Sementara penjahat di belakangnya juga terlihat stress. Jika Lusia bergerak sedikit saja maka memicu penjahat itu menembakkan senjatanya ke arah dirinya. Sangat pasti dirinya akan tewas seketika.
Tentu saja Tuhan yang menolong mereka. Dalam keadaan genting itu siapa kira penjahat itu berteriak-teriak ketakutan sendiri dan histeris ketika seekor cicak jatuh tepat di atas wajahnya. Pistolnya terlempar ke udara gara-gara cicak itu terus merayap di wajahnya tak mau lepas. Kesempatan itu segera digunakan oleh kakak Lusia untuk menerjang penjahat itu. Pergumulan dengan cepat terjadi. Tapi kakak Lusia sudah berada atas penjahat itu sambil menodongkan senjata tepat di atas wajahnya.
“Diam atau peluru ini akan membungkammu!”
Digertak seperti itu penjahat itu diam. Ia patuh saja digelandang bersama teman-temannya yang kini sudah di dalam mobil polisi.
“Kakak…” teriak Lusia sambil merangkul kakaknya.
“Kakak tadi hebat sekali,” puji Lusia.
“Kamulah yang hebat yang mengirimkan panggilan itu pada kami,” jawab kakaknya.
“Ehm, atau karena suara Intan tadi yang membuat kakak segera terbang ke sini, hehe he….”
Pipi kakak Lusia bersemu merah. “Eh, tidak kok…. tadi memang kami sudah mengincar tempat ini lama.”
“Tapi kok pipi kakak merah?” tukas Lusia nyengir.
Dibalas seperti itu jelas kakak Lusia tambah gemas. Ia menjewer adiknya itu dengan keras.
“Tapi yang lebih penting mengapa kamu ngajak Intan ke sini? Apa hobi kamu menyambangi ke tempat angker kumat lagi?”
“Iya tuh, bilangnya pakai ngajak ke cafe Cha. Nih rasain juga…”
Intan dengan senang hati menjewer telinga Lusia yang sebelahnya. Bertiga mereka keluar dari sarang hantu itu sambil tertawa bersama. Lusia hanya meringis kesakitan di hadapan para polisi yang juga ikut tertawa melihat kesialan dirinya.