Dokter Jarwo sedang memeriksa seorang pasien di bilik yang bersekat kain berwarna gelap itu saat seorang perempuan tua tiba-tiba datang menyeruak kain itu dan terbata-bata berkata kepadanya.
“Tolong dokter, anak saya….anak saya akan segera melahirkan. Saya minta bantuannya dokter.”
Tapi dokter Jarwo tak menanggapi segera orang tua itu. Ia menengok pada asistennya, seorang suster yang kemudian segera tergesa minta maaf pada dokter Jarwo atas ketelodorannya.
“Suster tadi ngapain saja? Aku tak mau mentolerir pengganggu saat sedang praktek.”
“Maaf, dokter, saya kecolongan. Sebelumnya dia sudah saya tahan; saya katakan kalau dokter sedang memeriksa pasien; tapi dia memaksa.”
“Sudah, sudah cepat bawa dia ini keluar ke ruang tunggu.”
Pandang mata dokter Jarwo tak melihat sama sekali akan perempuan tua yang digelandang perawat pembantu itu menuju ke ruang tunggu. Dari luar bilik tedengar cekcok antara suster dan perempuan tua itu. Sejenak dokter Jarwo menghela napas, minta maaf kepada pasien hamil yang sedang berbaring di ranjang untuk gangguan sebentar itu.
Pemeriksaan berlanjut.
“Sudah sering ke klinik kehamilan untuk pemeriksaan dini?” dengan ramah dokter Jarwo bertanya pada pasiennya.
“Belum pernah dokter,” jawab perempuan yang tengah terbaring itu. Ia tampak masih sangat muda. “Ehm, saya takut untuk melahirkan normal dok. Saya takut terjadi apa-apa nanti.”
Dokter Jarwo tertawa. “Apa yang harus ditakutkan? Banyak yang mulanya merasa takut saat pertama kali melahirkan seperti anda ini. Tapi saya jamin semua berjalan lancar dan baik-baik saja.”
“Apakah rasanya sakit, dokter?”
Si dokter lagi lagi tertawa. “Menurut anda bagaimana rasanya nanti?”
Si pasien di ranjang itu tiba-tiba bangkit menegakkan punggungnya, matanya lekat menatap pada dokter Jarwo. “Saya mau operasi caesar aja dokter. Suami saya pasti setuju dengan keputusan saya ini. Lagi pula operasi caesar tidak akan merusakan bagian tubuh saya nantinya.”
Dokter Jarwo tertawa meladeni pasien yang takut melahirkan itu, namun saat itu pula perempuan tua tadi kembali menyeruak bilik periksa itu lagi. “Tolong dokter saya sangat butuih bantuan anda. Air ketubannya sudah pecah. Anak saya sangat kesakitan karena kesulitan melahirkan, dokter.”
Sang dokter terpaksa menoleh dan memberi respon dengan wajah marah dan kesal. Betapapun perempuan tua itu tidak bergeming sama sekali.
“Baik, saya akan segera ke sana,” Dokter Jarwo mengalah. Tapi sebelumnya ia merampungkan pemeriksaannya dulu.
Rumah itu berjarak satu kilometer dari klinik. Si perempuan tua itu sepanjang jalan tak bisa tenang dan gugup. Dokter Jarwo sendiri tampak tenang dan dingin.
Akhirnya mereka sampai di rumah perempuan tua itu.
Segera mereka turun dan masuk ke dalam rumah. Betapa terkejutnya mereka dalam sebuah amben rumah yang sempit tergeletak si ibu yang pingsan dengan sepasang anak kembarnya. Untung mereka cepat datang menyelamatkan bayi-bayi itu.
Dokter Jarwo sendiri sebenarnya mulai takjub sendiri saat membersihkan bayi itu yang mulai ramai dengan tangisannya. Sebelumnya mereka berada dalam tumpukan kain milik perempuan yang melahirkan itu. Adapun kain itu hanyalah beberapa pasang pakaian sang perempuan yang sedianya akan dibawa menju ke klinik, tetapi tak jadi, karena ia keburu melahirkan di rumah. Melihat keajaiban ini dokter Jarwo bahkan menangis. Ia mulai jatuh hati pada kedua bayi yang masih merah itu.
Kepada dokter Jarwo perempuan tua itu mengatakan kalau ia tak punya uang untuk biaya membayar perawatan. Ia sebelumnya minta maaf dan bersedia mencicil hutang itu nantinya.
Tiba-tiba dokter Jarwo terpetik suatu ide yang cemerlang di benaknya. Tapi ia juga ragu. Apakah ia akan melakukannya. Bukankah ini adalah sebuah kejahatan. Tapi, kedua bayi itu sangat menarik, sangat cantik.
Dokter Jarwo menghela napas. Ia memutuskan akan melakukannya.
“Saya tak akan mempersoalkan biaya itu. Tapi saya lebih khawatir akan keselamatan kedua bayi ini,” tukas dokter Jarwo.
“Jadi apa yang harus saya lakukan dokter. Saya tak punya apa-apa. Ayah si anak itu juga sekarang bekerja di luar kota.”
Lagi-lagi perempuan tua itu menangis.
“Tak usah kau menangis, aku yang akan merawat kedua bayi ini di klinik dan kau tak perlu membayar. Tapi aku punya syarat,” kata sang dokter.
“Asalkan kedua bayi ini selamat dokter, saya akan melakukan apa saja,” kata perempuan itu pasrah. “Apa syaratnya dokter?”
“Biarkan kedua anak dirawat di klinik. Di sana kesehatannya lebih terjamin. Tetapi kau nanti harus mengatakan pada ibu anak ini kalau ia hanya melahirkan seorang anak saja.”
“Apa maksud dokter?”
Dokter Jarwo menoleh dan tak ingin melihat ekspresi wajah kaget perempuan itu.
“Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu. Kalau kau mau, aku akan merawat anak ini sebagai anakku. Dan begitu pula yang lain akan kuberikan perawatan terbaik sampai ibunya sadar.”
Si perempuan tua makin merasa tak berdaya sama sekali. Anaknya terbaring pingsan dan hanya bisa melahirkan di amben sendiri. Dan sekarang ketika dokter Jarwo hendak mengambil salah satu anak itu, ia benar-benar tak punya pilihan sekarang.
Kedua bayi itu ramai dengan tangisannya, yang tampaknya memberitakan kalau mereka lapar –sementara ia sendiri tak tahu bagaimana mencarikan makanan untuk mereka, karena ia tak punya uang sama sekali. Ia juga tak bisa membayangkan bila kedua anak itu kelaparan kelak.
Akhirnya ia melakukan keputusan sepihak itu. Ia menerima persyaratan dokter Jarwo.
Segera dokter Jarwo mengambil kedua anak itu. Ia memilih bayi yang perempuan, yang akan ia ambil menjadi anaknya. Ia sangat bahagia dan menciumi bayi itu seperti anak dagingnya sendiri. Ya, sudah tujuh tahun perkawinannya tapi istrinya belum juga dikaruniai anak. Dan sekarang ia telah mendapatkannya, kehadiran sang bayi yang telah lama ia rindukan.
Bayi-bayi kecil itu menangis kencang saat dokter Jarwo menyerahkannya pada perawat dibawa menuju ke klinik.
Sendirian perempuan tua itu mencoba mengais air matanya yang terus berderai sambil membersihkan amben sisa melahirkan anaknya. Ia tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tidak juga dirinya. Kemiskinanlah yang telah merenggut cucunya dari ibunya, dari dirinya. Kemiskinan yang telah merenggut kebahagiaannya!
Halo, Mas Andri Saptono. Saya kirim email ya. Mohon dicek 😉 Terima kasih banyak. (Pradita Seti Rahayu – Elex Media)
oke. terima kasih