Jakarta – Kent Ridge

dimuat di analasisadailycom

P6200140-1024x768
Selalu menarik memandang wajah kota Kent Ridge, Singapura di kala gerimis. Gedung dan manusia bertabir putih oleh hujan. Di jalanan orang berpayung bening atau berponco sampai mata kaki, bergegas seakan tak ingin kedahuluan oleh hujan yang sewaktu-waktu turun lagi. Pepohonan poplar dan bougenvil bergerak-gerak ditiup angin menggugurkan daunnya menambah warna kemuraman kota dengan empat musim ini.

Barangkali kota ini adalah wajah masa depan yang beruntung bisa dilihat sebagai Jakarta 2020 nanti. Sungguh, kota ini patut diberi pujian. Bangunan perumahannya rapi dan elok. Jalanan bersih dari sampah dan banjir. Hanya dedauan poplar dan bougenvil yang semarak tumbuh di pinggir jalan, mengotori jalanan ketika dihembus angin. Namun itu tak perlu dikhawatirkan. Meski masyarakat terlihat individualistis justru setiap warga merasa harus membuktikan kalau mereka punya kepedulian terhadap lingkungan, terutama kebersihan. Pun mobil penyapu sampah selalu siaga menyapu bersih jejak sampah setiap pagi.

Aku sendiri berasal dari Jawa, tepatnya dari Solo. Sudah setahun lebih aku tinggal di asrama mahasiswa National University of Singapore ini sebagai mahasiswa beasiswa. Bekerja di sebuah restoran Indonesian Food milik Mr. Sanyoto yang buka dari jam delapan pagi hingga jam sepuluh malam. Aku diperbolehkan mengambil paruh waktu, semata agar bisa tetap mengikuti kuliah. Tak terhingga rasa terima kasihku pada mereka karena semua itu.

Ah, memandang hujan jualah yang memancing rasa rindu akan kampung halaman. Rindu menyesakkan dada pada rumah joglo tempat aku dilahirkan oleh Ibuku di desa. Pada bau ampo yang menusuk hidung ketika hujan menyentuh tanah pertama kali. Oh, aku rindu dengan segala yang bersatu di tanahku. Apalagi saat tubuhku demam begini dan perasaan sepi terkurung sendirian di kamar asrama kampus membuat rindu akan rumah makin berkecambah.

Kuakui tubuhku mengeluh karena aku bekerja terlalu keras. Kuliah pagi dan kerja sesudahnya. Obat param gosok yang biasa kubeli pada sebuah toko di Indonesia membuatku tetap berada di rumah. Semata menghindari keluhan dari kawan-kawan yang tak menyukai bau obat seperti milikku ini. Mereka menyarankan aku pergi ke dokter. Tapi aku justru tidak terbiasa dengan dokter. Aku pilih mengeroki diriku sendiri dengan obat param gosok yang bisa kubeli di sebuah apotik yang menjual obat Indonesia. Namun karena obat param gosok yang kupakai ini berbau menyengat, aku harus terima tetap berada di rumah, menghindari dari celaan orang-orang karena bau yang tak mereka sukai.

Sean, kawan seorang pemuda Indonesia lain juga mengkhawatirkan aku –selain ia benci dengan bau obat param gosok itu tentunya.

“Kau masih tidak mau periksa ke dokter?” Dia menggelengkan kepala. Takjub dengan kebandelanku.
Aku tersenyum saja. “Ini hanya demam biasa kok. Aku minta maaf kalau bau param gosok ini membuatmu pusing.”
“Bukan itu saja. Dokter itu lebih tahu penyakitmu. Kau tak boleh menganggap remeh rasa sakit pada tubuh.”
Aku sendiri mengingat penyakit paling berat yang pernah terjadi padaku adalah typhus. Namun kali aku yakin ini cuma demam biasa.

Oh, ya, kau pasti belum banyak mengenal Sean. Menurutku Sean meskipun pendiam dan tak banyak bergaul dengan mahasiswa lain, ia juga seorang pemuda yang baik dan tidak kampungan. Maksudku memang sebagian mahasiswa dari Indonesia seperti itu. Gaya hidup mereka hedonistis dan cenderung ekslusif. Sean berbeda. Bahkan kalau boleh ia harus digelari ‘Sean Volunteer’, karena ia lebih sibuk dalam kegiatan sosial dari hal apapun.

Aku ingat percakapanku dengannya yang makin menyingkap tabir siapa dirinya. Kami duduk di beranda berbincang tentang kampus yang semua orang sibuk berlomba untuk prestasi. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan negaraku.
“Indonesia tertinggal jauh. Ini membuatku sedih. Kau tahu alasan orang tuaku yang menyekolahkanku di sini. Karena ia tak percaya dengan pendidikan di Indonesia.”
“Sebegitukah? Ayahmu terlalu serius,” kelakarku.
“Orangtuaku memang keras. Dia lahir di jaman perang dan ia banyak menyaksikan perkembangan di tanah air daripada siapapun.”
Aku tahu orang tua Sean adalah seorang pengusaha sukses. Seorang keturunan China daratan yang berjuang di Indonesia ini. Namun, aku tak tahu kalau ia mempunyai pandangan minor tentang pendidikan Indonesia.
“Aku juga mendapat kabar dari beberapa kawan sekarang terjadi demo besar-besaran di Jakarta. Katanya lagi ada seorang mahasiswa tertembak peluru karena demo kenaikan BBM itu. Yah, negara kita masih berjuang untuk sesuatu yang dasar. Pemerintah masih tak berpihak pada orang kecil.”

Aku sendiri sedang membayangkan orang tuaku di sebuah desa di Solo. Orang-orang desa sederhana. Duduk di depan televisi sambil menikmati kopi dan ubi goreng. Dulu, ketika kami ingin membeli televisi banyak sekali pertimbangannya. Emak harus rela si Blorok dibawa ke pasar. Kemudian juga adikku harus rela kalau sunat nanti tidak minta hadiah. Begitulah, akhirnya televisi itu kami beli. Acara yang disukai Emak dan Bapak adalah acara Dunia Dalam Berita di TVRI. Aku sendiri pilih di depan buku menghadapi ujian dan tes pelajaran sebagai persiapanku mendapatkan beasiswa. Aku berjuang lebih dari orang lain di sekolahku karena itulah beasiswa itu diberikan padaku.
Di masa sekarang, demo kenaikan BBM apakah berpengaruh pada Emak dan Bapak? Aku ingat ketika mereka panen dan menjual kacang atau jagung dari ladang kebanyakan tidak menjualnya ke kota. Tak ada alat trasport dan hal itu dimanfaatkan oleh para tengkulak yang membeli dengan harga murah. Ah, Indonesia yang malang….
“Kau melamun?” tanya Sean.
“Aku ingat rumah.”
“Kangen ingin pulang?”
“Aku tak bisa pulang walaupun ingin. Aku masih harus bersabar.”
“Bagaimana skripsimu?”
“Hampir berakhir. Kau sendiri?”
“Aku sudah selesai.”
“Kau hebat. Apa rencanamu setelah ini?” Aku memang selalu takjub dengan kecepatan Sean. Menurutku ia jenius.
“Aku ingin pulang. Aku ingin kuliah di tanah air.”
“Mengapa ingin pulang? Masa depanmu terbentang di sini. Kau bisa mengambil S2 di sini dengan mudah. Di Indonesia kau tidak bisa meraih puncak.”
“Kurasa tidak tepat seperti itu. Setiap orang punya pilihan. Kau masih ingin di sini setelah lulus?”
“Kurasa iya. Tempat ini lebih baik dari Indonesia seperti katamu.”
Ia mengangguk. Aku kembali bertanya. “Mengapa kau ingin kembali ke Indonesia?”
“Aku ingin berbuat sesuatu untuk negaraku.”
Aku kembali tertawa, menyindir. “Aku dengar persoalan orang Indonesia jauh lebih banyak dan berat. Semuanya kronis. Tak banyak orang idealis betah mengabdi di Indonesia.”
“Biarpun begitu aku ingin pulang. Meskipun juga orang tuaku ingin aku tinggal di sini. Tapi kau juga tahu aku.”
“Kau akan nekat?”
Ah, membayangkan seperti Sean adalah sebuah kemustahilan padaku. Kuakui aku memang bukan orang idealis yang akan nekat melawan pendapat orang tua. Sean orang yang berbeda dan aku tahu benar soal itu. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya menjadi aktivis di banyak organisasi sosial. Ia pernah mengatakan ingin menikah dengan gadis Indonesia yang saat itu kuanggap karena rasa melankolisme dirinya saja.
“Bukankah banyak gadis-gadis menarik di kampus ini. Kau punya banyak penggemar di sini,” ujarku saat itu.
“Mereka adalah orang-orang ambisius seperti ayahku. Aku hanya ingin bertemu dengan seorang perempuan yang punya kasih sayang terhadap rumah dan anak. Aku rindu dengan hal semacam itu.”
“Kurasa kau paradoksal.”
“Maksudmu?”
“Kau begitu bersemangat menjadi aktivis, tapi kau ingin memiliki istri yang hanya sibuk di rumah. Bukankah itu paradoksal. Ini jaman modern, Bung,” kataku.
“Kau salah menafsirkan. Aku ingin seorang ibu yang baik bagi rumahku. Menjaga keluarga dengan baik. Aku tak berpendapat bahwa perempuan harus selalu di rumah. Tapi aku lebih menyukai mereka yang memilih beraktivitas di rumah. Bagi seorang anak, merupakan sebuah kemewahan apabila ibu mereka selalu di dekat kita. Lain berbeda jika istrimu adalah seorang wanita karier.”
Aku baru bisa memahami apa yang Sean katakan. Memang di Singapura ini amat biasa perempuan menikah di atas 30 tahun. Juga di sini lebih banyak perempuan yang menggugat cerai pada suaminya.
Ah, aku juga ingat Emakku. Ia setia menemani ayahku menjadi seorang petani di desa. Malah kata Emak, dia pernah belajar tulis menulis tapi kemudian berhenti karena keburu menikah. Bapakku sendiri juga orang desa sederhana. Beliau tak bisa baca tulis. Ketika mendapat surat dari kelurahan saja, aku yang membacakannya. Begitu juga ketika bicara di telepon denganku, ia hanya akan bicara seperlunya saja daripada panjang lebar.
“Jangan lupa ibadah. Hati-hati dengan siapa kau bergaul. Pilih teman yang baik,” pesan Bapak ketika bicara di telepon.
Apa kau juga dekat dengan anak gadis di sana? Bapak tak melarang, tapi jaga dirimu sendiri dengan baik. Bapakmu di sini juga tidak bisa kirim apa-apa selain donga .”
Lalu pembicaraan kami berakhir. Itu berbeda dengan Sean ketika berbicara dengan ayahnya. Mereka selalu terlihat berdebat entah itu di telepon atau lewat Skypi.
“Ayahku berubah menjadi pragmatis. Itu harus kutentang,” kata Sean saat itu.
“Ia hanya ingin kau bahagia, Sean,” belaku saat itu.
“Kau terdengar manis. Tapi ayahku sedang menjadi hipokrit. Itu suatu kemunduran!”
Ya, begitulah kawanku yang idealis itu. Dari sikapnya yang idealis itu, aku tahu ia adalah seorang pemuda yang baik. Masa depan terbuka lebar untuk orang seperti dia di negara dengan julukan ‘Dermaga Dunia’ ini.
***
Jam enam sore Sean menelponku akan datang. Katanya, ada hal penting mendadak. Aku mengiyakan saja. Dalam hati sebenarnya aku ingin pulas tidur. Tapi itu sepertinya bukan karakterku. Meskipun tubuh sakit aku ingin tetap bergerak. Aku tak ingin membiarkan waktu berlalu dengan diam. Bahkan jika masih bisa bekerja untuk mendapatkan uang, akan kulakukan.
Ketika Sean datang ia berbicara berbicara tentang keadaan Indonesia.
“Banjir Jakarta sudah sangat parah. Aku ingin pulang lebih cepat saja.”
Aku tertawa menimpali.“Apa insting aktivismu kambuh lagi?”
“Aku serius. Aku perlu bantuanmu sekarang.”
“Bantuan apa?” tanyaku ganti tertawa. “Aku hanya mahasiswa miskin yang dibeasiswai pemerintah.
“Kau hanya menggalang dana lewat jejaring sosial untuk kita berikan pada korban banjir,” potongnya.
“Tidak, tidak…. Aku tak bisa. Kau ajak orang lain saja..”
“Tak bisa mengapa? Apa kau sudah tak peduli dengan orang di negaramu sendiri –pemerintah yang telah memberi kamu beasiswa? ”
Aku terkejut. Tuduhan itu terlalu tajam.
“Bukan itu, Sean.”
“Lalu apa? Karena kita nyaman di sini lalu seakan kacang yang lupa kulitnya!”
“Kau tahu aku bukan seperti itu. Tetapi, pemerintah di sana pasti sudah berbuat sesuatu. Aku sendiri tak punya banyak teman di Facebook atau Twitter. Aku buta soal itu.”
Tapi Sean terus memaksaku dan mengancamku tak akan mau bertemu lagi denganku. Ia menyuruhku membuat akun Donatian for Flood Jakarta di Facebook. Aku ditugaskan untuk mengurusi jejaring sosial itu sedang Sean akan berkoordinir dengan temannya yang bertugas di Palang Merah Indonesia.
“Banjir di Jakarta ini lebih parah dari yang pernah ada. Hampir sepertiga Jakarta terendam banjir. Tulis seperti itu di Facebook dan Twitter.”
Aku patuh saja pada perintah Sean. Karena demamku agak reda aku cukup kuat juga melaksanakan itu semua.
“Oh ya, donasi diutamakan berujud uang agar lebih mudah untuk didistribusikan.”
Aku kembali menulis itu di status Facebook.
Selama dua hari sebelum aku masuk kuliah lagi aku bekerja keras dengan Sean mengumpulkan donasi. Semua kami lakukan lewat komunitas mahasiswa Indonesia dan juga KBRI. Sambutan baik kami terima dari mereka.
“Aku berencana pulang. Bagaimana kalau kamu ikut?” tawar Sean.
“Aku tak bisa. Aku …”
“Kalau tak ada uang, aku yang akan membelikan tiket.”
“Aku tak bisa meninggalkan kuliahku di sini, Sean.”
“Kau libur dululah. Kau bisa minta ijin untuk berlibur sebentar.”
“Apa mereka akan terima hal itu? Tidak, itu tak akan mudah.”
“Kau belum mencobanya. Kita akan lebih bermanfaat kalau bisa langsung terjun di sana.”
“Tidak, aku tak bisa seperti itu. Aku berbeda denganmu, Sean. Aku terikat dengan beasiswa ini. Lagipula aku sudah tak masuk beberapa hari mau ditambah liburan ke Indonesia lagi.”
“Ini demi menolong korban banjir.”
“Tidak harus kita, kan? Maksudku, kita bisa menyerahkan uang kepada mereka. Sudahlah, aku sampai di sini saja membantumu. Aku tak bisa lebih.”
Sean tak bisa memaksaku. Aku tahu aku terlihat buruk di matanya. Tapi, aku tak bisa menafikan bahwa aku punya tanggung jawab di sini. Pada beasiswaku, pada Mr. Sanyoto, tempatku bekerja, dan pada orang tuaku di rumah yang memintaku belajar baik-baik. Itu semua harus kupertahankan. Sedangkan Sean sendiri berbeda banyak hal. Dia orang kaya. Dia bisa pergi kemana saja. Bisa kuliah di manapun suka. Tabungannya saja cukup untuk membuat perusahaan sendiri.
***
Hujan turun lagi ketika aku berangkat kerja. Ini hari pertamaku bekerja setelah libur karena sakit. Aku tak mau membuat Mr. Sanyoto kecewa. Aku punya tanggung jawab.
Setelah meletakkan buku kuliahku di kamar asrama kampus, aku langsung berangkat kerja. Untuk makan siang, aku sudah menyiapkan roti gulung omelet sebagai pengganti sarapan. Ya, aku cukup terbiasa dengan roti dan telur sebagai pengganti nasi di Singapura ini. Tapi kalau daging sapi, aku belum terbiasa. Kondisi lambungku yang lemah membuatku berhati-hati dengan makanan daging.
Aku biasa naik kereta bawah tanah. Perjalanan ke pusat kota hanya memakan 15 menit saja. Jadwal kereta di sini jauh lebih tertib dari belahan negara manapun. Aku bisa mengandalkan semua itu.
Aku berangkat dengan berjalan kaki menuju lorong kereta bawah tanah. Tempat ini bersih dan nyaman. Walaupun di dalam tanah, tapi cahaya terang dan udara segar karena ada kipas-kipas besar yang menjadi pasokan untuk udara masuk di ruangan ini.
Orang-orang bergegas memasuki lorong bawah tanah. Beberapa duduk di bangku menunggu sambil membaca buku. Atau pemusik jalanan dengan sakshophone-nya yang melengking. Artist itu sedang membawakan Moonligh Sonata Beethoven. Beberapa pejalan melemparkan koin dan ada beberapa perempuan yang melemparkan dollar padanya. Artist jalanan itu tetap khusuk melantunkan musiknya.
Ya, pengamen jalanan di sini memang berbeda dengan Jakarta. Di Indonesia sudah mahfum pengamen kerap berbuat rusuh. Di sini berbeda. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur tak melihat semua itu di sini, ataukah mengutuk orang-orang yang menjadi berandalan di Indonesia-ku.
Ketika di dalam kereta aku memakan makananku. Di sini orang bebas berbuat sekehendak hatinya asalkan tidak mengganggu. Tidak jauh di sebelahku ada sepasang kekasih berciuman. Mereka tak malu dilihati orang. Aku sendiri menikmati roti gulungku. Aku masih ingat pesan Bapak, untuk tidak dekat dengan wanita ketika kuliah. Lebih mengganggu konsentrasi belajar daripada membantu. Mungkin seperti sepasang kekasih itu, mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama setiap hari dan nyaris tak peduli dengan apapun.
Kereta berhenti di stasiun tujuan. Aku keluar bersama manusia lain. Orang-orang yang lebih tinggi dariku membuat sosokku kecil dan sering terjepit. Dulu, pertama kali aku masuk dan keluar seperti ini merasa minder. Aku seperti merasa memakai pakaian yang kebesaran. Mereka tinggi dan besar. Pakaian mereka bagus. Sedangkan aku memakai pakaian hangat bekas dosenku yang pernah tinggal di Indonesia. Ia kasihan padaku karena aku tak punya pakaian hangat.
Ah, sekarang aku cukup mandiri. Ketika musim dingin atau hujan begini aku sudah bisa menyesuaikan diri. Aku bisa membeli pakaian di toko pakaian bekas di kawasan sub urban di kota.
Keluar dari lorong ternyata hujan masih gerimis. Aku bergegas bersama orang-orang berjaket tebal dan sebagian berpayung bening seperti yang biasa dipakai para pejalan kaki di Jepang. Harus diakui budaya Jepang dan Korea juga menginfiltrasi Singapura. Banyak anak muda terutama Indonesia yang ikut-ikutan dengan gaya harajuku itu.
Aku sudah sampai di restoran. Di dalam sudah menunggu pekerjaan yang menumpuk. Termasuk cuci piring dan harus siap menjadi pelayan. Ya, aku satu-satunya karyawan paruh waktu di sana. Yang lainnya adalah orang Indonesia yang dibawa Mr.Sanyoto untuk bekerja di restorannya. Ada Pak Ahmad, Ibu Sumirah, Pak Legowo dan seorang tukang memasak dari Jogja, Mas Kasmidi. Mas Kasmidi sendiri adalah chef andalan di restoran Indonesian food Mr. Sanyoto ini.
Tak lama berselang aku masuk restoran, hujan bertambah deras. Aku segera melepas jaketku di kapstok. Kulihat wajah-wajah Indonesia dan beberapa pasangan turis atau warga kota di sekitar restoran.
“Assalamu’alaikum..” sapaku kepada Pak Kasmadi di dapur yang mencincang daging bebek.
Dia menjawab salamku sambil tetap sibuk pada pekerjaan dan pisau yang bergerak lincah. Aku langsung memakai celemekku. Yang pertama kukerjakan adalah membersihkan tumpukan piring kotor.
“Hujan deras di luar ya?” tanya Pak Kasmadi. Dia seorang penggemar Aa Gym. Aa Gym sendiri beberapa kali datang ke kota ini dan mengatakan kekagumannya terhadap kebersihan dan pelayanan publik kota ini. Walaupun begitu ia juga mengkritik biaya hidup di Singapura yang mahal.
“Ya, hujan deras, Pak,” jawabku.
“Aku dengar tanah air juga banjir,” sambung mas Kasmidi.
Tiba-tiba aku jadi teringat dengan Sean yang bersikeras ingin ke Jakarta. Dan besok ia akan berangkat untuk menjadi sukarelawan. Mungkin dia sedang berkemas sekarang.
Setelah selesai mencuci piring, aku berganti pakaian pelayan. Mengantarkan kopi atau makan siang pada beberapa pengunjung. Saat aku membawa cangkir kopi seorang pengunjung, aku menoleh pada berita dari luar negeri. Tagline berita itu bertajuk ‘Sepertiga Jakarta Terendam Banjir’. Memang benar banjir Jakarta sangat masif. Aku melihat banyak rumah di tepi sungai Ciliwung dan terutama kawasan Pluit terendam banjir. Bahkan, kawasan Pluit yang konon mengadopsi tata kota di Belanda yang anti banjir, ternyata juga terendam parah. Sudah begitu pemerintah sendiri kesulitan untuk mengevakuasi korban karena peralatan yang terbatas.
Aku segera meletakkan cangkir kopi itu karena si pengunjung menegurku tak segera meletakkan pesanannya alih-alih mataku lebih tertuju televisi.
Aku minta maaf padanya. Ia juga ikut melihat banjir dan mengatakan turut bersedih dengan bencana di Indonesia. Aku menghargai ucapannya dan mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.
Ketika kembali di belakang Mr. Sanyoto yang juga ada di dapur bicara tentang hal itu.
“Tak ada untungnya terus-terusan menyalahkan pemerintah. Masyarakat sendiri harus menyadari apa yang mereka kerjakan ketika mengotori sungai mereka sendiri.”
Tanggapan dari para pekerja kebanyakan menyalahkan pemerintah dan pembangunan yang padat di kota Jakarta.
“Sebenarnya saya dan Sean membuat akun web bagi siapa saja yang ingin donasi untuk korban banjir Jakarta,” ujarku menyela.
“Oh, ya. Sean anak pengusaha terkenal Indonesia itu. Bagus sekali. Baiklah, aku nanti titip uang ke kamu saja.”
“Ehm, dia akan berangkat ke Jakarta besok. Langsung saja lewat rekeningnya.”
“Baguslah, kita juga akan membuka kotak di depan untuk donasi. Kita mencoba mengetuk hari orang Indonesia yang datang ke sini. Semoga saja kenyamanan di sini tidak membuat mereka lupa akan Indonesia.”
Entah mengapa aku tersindir. Ucapan itu persis tuduhan Sean padaku.
Mr. Sanyoto menjadikan sebuah akuarium yang tak dipakai sebagai tempat menaruh donasi. Rencananya donasi akan kami tutup hingga restoran tutup.
Ketika malam, kami menghitung uang itu bersama. Cukup banyak. Semuanya dibulatkan menjadi 1.000 dolar Singapura dalam semalam. Rencanaku besok uang itu langsung kuberikan pada Sean.
Di perjalanan pulang di kereta aku merasa bimbang. Ada bagian diriku ingin pulang ke Indonesia bersama Sean. Tapi belahan diriku yang lain juga menasehati, bahwa aku tak perlu bersikap jadi sok pahlawan. Pun aku menggalang dana di sini.
Ketika kereta berhenti, aku sejenak membeli minuman kaleng di sebuah supermarket yang buka 24 jam.
“Are you Indonesian?” tanya petugas toko itu ramah.
Aku mengangguk. Memang wajah Indonesia itu terlihat jelas di mata mereka. Tentu karena orang Indonesia lebih gelap dan kerdil dari mereka.
“I’am sad about your flood in Jakarta,” katanya.
Aku kembali tersentak. Orang lain di sini begitu simpati terhadap banjir Jakarta dan menganggap ini sebagai sebuah persoalan mendalam. Bahkan perlu ia katakan kepada orang asing sepertiku ini.
Aku mengangguk dan mengucap terima kasih sambil buru-buru keluar dari supermarket. Saat kupandang hujan di luar entah mengapa aku dapat merasa bagian bumi ini pun sedang menangis untuk bencana di Indonesia.
Tanpa kusadari aku sudah menghubungi Sean.
“Apa kau besok jadi berangkat?” tanyaku dengan kesadaran yang membuatku berdebar. Ini adalah sebuah pilihan besar yang telah kuputuskan.
“Ya, ada apa?”
“Ehm, aku ingin ikut. Masih bisakah? Aku hutang dulu tiket pesawatnya.”
“Tidak masalah. Aku jemput kau di asrama besok.”
Aku menutup telepon. Mataku terasa basah. Tapi aku tersenyum. Aku sudah memutuskan akan pulang, sejenak menjenguk negaraku yang kini sedang tertimpa musibah. Ini yang bisa kulakukan sedikit untuk negeriku. Sesuatu yang terlambat dan aku merasa malu mengingat hal ini.
Segera aku bergegas lari ke asrama karena hujan bertambah deras di halaman.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s