dimuat di joglosemar
Di setiap penanggalan bulan Sura (baca: Muharam) desa saya melaksanakan sebuah ritual Bersih Desa. Tujuan ritual Bersih Desa adalahuntuk memberikan penghormatan kepada arwah leluhur desa, dengan perwujudan menanam kepala kambing atau memberi sesaji kepala seekor kambing di tengah desa, sementara keempat kakinya harus ditanam di empat penjuru desa(papat kiblat lima pancer). Selebihnya sisa daging kambing yang diberikan kepada ‘danyang’ itu akan dimakan beramai-ramai entah diolah menjadi gulai atau tongseng untuk warga 2 RT.
Hanya saja, pelaksanaan ritual Bersih Desa pada tahun ini agak berbeda. Dengan sebab alasan bertentangan dengan agama, beberapa pemuka desa mengatakan sudah tidak akan memberikan sesajen lagi kepada ‘danyang’. Artinya, kepala dan kaki kambing tersebut tidak akan disajenkan tetapi akan dimasak semua untuk dibagikan kepada masyarakat sebagai sedekah bersama. Pembelian seekor kambing yang mewajibkan setiap warga membayar 30 ribu/kk pada setiap bulan Sura ini, akan dibagikan lagi kepada masyarakat.
Gambaran ritual di bulan Suraini terjadi di desa saya dan beberapa desa lainnya di Karanganyar. Bahkan, ada yang mengadakan pagelaran wayang semalam suntuk dengan dana swadaya dari masyarakat yang tidak sedikit. Rata-rata masyarakat desa ini percaya bahwa ritual Bersih Desa seperti ini akan membuat desa tidak terkena sukerta atau bala bencana. Roh nenek moyang akan melindungi warga masyarakat dari gangguan-gangguan jahat yang tidak diinginkan. Jika kebetulan ada warga penduduk yang berani menolak, atau tidak setuju dengan ide Bersih Desa ini yang memang masih dipengaruhi dengan budaya animisme dan dinamisme (memberi sesajen di punden dan pekuburan desa) warga tersebut akan ditanya balik, “Apakah berani menanggung kalau terjadi sesuatu yang buruk di desa jika nanti tidak diadakan ritual Bersih Desa ini?”
Krisis Datang Silih Berganti
Tatkala terjadi bencana,musibah, atau krisis lingkungan di Indonesia ini, pelbagai cara dilakukan. Entah itu yang sesuai dengan adat istiadat setempat seperti ritual Bersih Desa di desa saya, atau dengan cara yang ilmiah sekalipun semua ditempuh untuk menanggulangi krisis atau bencana tersebut. Tentunya sebagai masyarakat yang berpikir positif dan maju, hendaklah semua cara ditimbang dan diukur dengan proporsional sebelum cara penanggulangan bencana tersebut dilakukan. Jika sebuah cara bertentangan dengan akal sehat dan bertentangan dengan agama, masyarakat juga perlu membuka diri terhadap wacana baru yang lebih dinamis. Daripada mengagungkan tradisi dan adat istiadat setempat yang lebih mengkerdilkan nalar, pemborosan, dan juga melanggar perintah agama (naudzu billahi min dzalik).
Sebagai contoh adalah yang sekarang nyata di Karanganyarhadapi adalah bencana kekeringan dan krisis air bersih. Sungai-sungai sudah tidak mengalir lagi. Sawah-sawah brentek. Waduk Delingan dan waduk Lalung kering airnya. Terjadikrisis air bersih karena sumur-sumur penduduk sebagiannya sudah tidak bisa dipakai karena krisis kemarau berkepanjangan.Bahkan, di bulan oktober yang biasanya sudah murah hujan, nampaknya masih belum saja terlihat tanda-tanda datangnya hujan. Malah yang terjadi di beberapa tempat terjadi Kebakaran yang menewaskan jiwa manusia dan merusak ekosistem alam seperti yang terjadi di Tawangmangu.
Dan akhirnya tanggal 26 oktober kemarin bertempat di alun-alun Karanganyar, dilaksanakan sholat Istisqa (sholat untuk meminta turun hujan) yang dihadiri Bupati dan pelbagai tokoh di Karanganyar. Ini adalah sebuah langkah positif yang bisa ditiru oleh pelbagai tempat lain. Ya, Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah dampak kerusakan global sekaligus bala yang diberikan Allah kepada manusia, agar manusia kembali kepadaNya. Artinya manusia diingatkan untuk berlaku sebagai khalifah (pengelola) yang baik di muka bumi ini. Tidak menjadi kaum yang merusak alam dan merusak lingkungan dengan dalih eksploitasi apapun di atasnya. Sholat Istisqa yang pelaksanaannya dilakukan berjamaah dan di lapangan menundukkan fitrah kita sebagai manusia agar lebih tawajuh (tunduk dan berserah diri) kepada Allah Yang Maha Esa. Dengan sikap ketundukan seperti inilah manusia akan lebih berhati-hati sebagai pengelola di muka bumi ini.
Ya, kita tidak bisa memungkiri bagaimana kerusakan bumi ini makin lama semakin massif dan menimbulkan terjadinya bencana di mana-mana. Contoh sederhana yang terjadi di Karanganyar adalah perkembangan real estate yang menggusur lahan pertanian. Pembangunan pabrik-pabrik dan industri yang merusak ekosistem air tanpa pernah mendapat teguran dari pemerintah daerah. Lahan hijau yang makin hilang dari wajah kota. Pemanfaatan sungai dan waduk yang mengedapankan eksploitasi tanpa henti tanpa memberikan imbal balik untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam itu. Dan masih banyak hal lain lagi.
Menghidupkan Sense of Crisis pada Masyarakat
Sebagai seorang muslim, saya percaya bahwa menangani kemarau berkepanjangan ini adalah bukan dengan memberi sesajen kepada arwah leluhur seperti di desa saya ataupun dengan menghamburkan uang untuk menanggap wayang kemudian turun hujan. Saya percaya sebagai seorang muslim yang perlu kita lakukan adalah melaksanakan sholat Istisqa berjamaah di tanah lapang memohon agar diberikan hujan. Ibadah yang dilakukan secara komunal ini tentu lebih efektif memberikan penyadaran dan sosialisasi penanganan krisis kemarau kepada masyarakat. Pun sebelumnya kita menghentikan perbuatan-perbuatan yang merusak alam serta apapun yang dilarang agama. Dengan cara seperti itulah, insya Allah, hujan akan turun di tengah Karanganyar.
Pun, saya juga kurang setuju dengan ide BupatiKarangayar yang ingin membangun sebuah air mancur modern semacam Wing Of Times di Singapura itu, hanya sekadar memuaskan dahaga hiburan warga masyarakat. Justru yang dibutuhkan masyarakat saat krisis kemarau sekarang adalah pembenahan sumber daya alam, serta menghidupkan kembali sumber-sumber air yang kering untuk pertanian. Tentu dana sebesar 2,5 milyar untuk pembangunan air mancur laser tersebut lebih tepat untuk kegiatan yang lebih bermanfaat daripada sebagai pencitraan kota modern dan mengesampingkan kehidupan masyarakat Karanganyar.
Kita bisa belajar hal sederhana dari pemerintahan negara Jepang dalam krisis panas global ini. Negara Jepang justru mengurangi penggunaan AC di gedung-gedung yang banyak menggunakan kaca. Pemerintah Jepang juga mewajibkan para pejabatnyauntuk melepaskan jas mereka dan menggantinya dengan pakaian kemeja pendek untuk meminimalisir penggunaan AC. Di sekolah-sekolah Jepang pun juga berlaku seperti itu, para siswa tidak memakai jas saat musim panas, tetapi memakai pakaian lengan pendek. Ini adalah sebuah langkah yang sederhana dan positif yang bisa ditiru untuk indonesia, khususnya untuk para pejabat-pejabatpemerintahan atau anggota DPR yang senang duduk di kursi empuk nan nyaman dengan AC yang menderu kencang.
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang di atas adalah menghidupkan sense of crisis pada masyarakat mereka. Sebuah langkah nyata yang bisa diaplikasikan dan dijadikan tauladan oleh bangsa Indonesia yang sedang diterpa krisis multidemensi ini.
Wallahu ‘alam bishshowab.