Era Digital Sebagai Gaya Hidup Kekinian yang Minus Al-Quran

dimuat di joglosemar 10/3/2016

Konsep dunia sebagai global village dengan perkembangan internet yang super cepat, bukan tanpa memakan resiko. Desa yang dulu sebagai citra ketenangan, keramahan, sikap nrimo ing pandum dan religiusitas dengan surau dan langgarnya, kini menjadi hal yang langka. Perkembangan teknologi informasi mengubah mindsite orang desa, seperti contohnya desa yang saya tinggali. Kini desa menjadi sebuah peradaban yang kesingsal karena tak berimbangnya pendidikan agama Islam kepada keluarga dan percepatan teknologi. Teknologi informasi (televisi dan internet) menjadi brain washer adat ketimuran yang menjunjung nilai agama mengekor budaya barat yang mempersetankan agama. Kasus yang nampak terjadi di permukaan, contohnya, hamil di luar nikah, pergaulan bebas, hingga perzinaan merebak di masyarakat yang menganut budaya permisif terhadap kemaksiatan.

Ya, semua ini dipengaruhi dengan teknologi informasi yang tanpa batas dan filter agama Islam yang minim. Kita biasa melahab teknologi informasi secara banal dari televisi. Dalam satu jam misalnya, kita disuguhi oleh pelbagai hal yang kontras dan amat bertolak belakang. Sedetik yang lalu iklan tidak bermutu, kemudian berita kriminal yang vulgar, gosip kawin cerai artis, semuanya kita lahab tanpa filter. Pun artis pamer aurat telah menjadi trending topic di Indonesia ini.

Pelbagai hal yang kontra dengan agama dan moral di atas, diakui telah merebak dan meruyak menjadi penyakit di masyarakat. Semua hal tersebut harus diobati segera kalau sudah terlambat. Namun, jika belum terjadi, akan lebih baik untuk mengambil sikap, mencegah lebih baik dari mengobati.

Teknologi dan Gaya Hidup Kekinian

Teknologi dan gaya hidup kekinian membentuk kualitas manusia sebagai pelakon sejarah yang unik. Keduanya saling mewarnai. Namun tetap prinsip dasarnya adalah teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia untuk menjadi ‘khalifah’ (baca: master) di muka bumi. Arti luasnya tentu saja, manusia yang mengaplikasikan teknologi supaya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan di alam semesta ini. Pun manusia dituntut secara moral juga untuk mempertanggungjawabkan penggunaan teknologi mutakhir tersebut.

Yang terburuk dari gaya hidup digital di era internet cepat ini adalah ‘kesingsal’nya pola pikir kita dengan teknologi yang selalu berevolusi. Kesingsal di sini adalah gambaran betapa teknologi digital telah menjadi tuan atas manusia, bukan sebaliknya. Manusia telah dikendalikan oleh teknologi. Manusia kehilangan jati diri di tengah eksistensi jagat dunia maya, atau kehilangan ruang privat yang membuatnya mati rasa (numb). Manusia mengejar teknologi tetapi melupakan keberadaan habitat aslinya di dunia yang nyata ini.

Ucapan “kesingsal” adalah ucapan dari bahasa Jawa, yang lebih meresap secara maknawi. Kurang lebih artinya manusia tidak bisa melakonkan diri sebagai seorang pribadi yang tulen. Ucapan tidak sama dengan perbuatan. Jauh panggang dari api. Pemikiran tidak mencerminkan perbuatannya. Bahkan kadang kala hipokrasi mewarnai tindakannya. Adapun kesingsal dengan teknologi muthakir secara maknawi adalah bagaimana peran manusia yang seharusnya bisa menempatkan teknologi secara tepat guna, tetapi manusia malah menjadi korban konsumerisme gadget atau semacamnya.

Contohnya adalah ‘para generasi menunduk’, untuk menyebut kaum muda yang lebih banyak menyibukkan dengan gadget daripada berinteraksi secara sosial dengan sekelilingnya. Dalam suasana dan kondisi yang menuntut dia berinteraksi sekalipun, dia lebih memilih untuk menancapkan eksistensinya di dunia maya. Akhirnya, dirinya kehilangan hubungan dan integritas dengan lingkungannya yang asli. Ini adalah sebuah bencana. Tanpa disadari manusia tak akan bisa memberi arti terhadap kehidupan ini. Justru pada soal yang sangat sederhana: berhubungan secara alami dengan lingkungan sekitarnya. Lambat laun manusia hanyalah statistik, mesin, dan barcode saja. Atau para pelaku selfi yang acapkali tidak bisa menempatkan konteks hidup di dunia nyata dengan merusak taman bunga seperti di Bantul kemarin itu atau juga polah mereka yang membuat macet jalan di seputar Pasar Gede hanya karena egoisme ingin berpose di bawah lampion di tengah jalan utama.

Ya, semua itu adalah ekses negatif saja. Evolusi teknologi tanpa henti jika tak diimbangi dengan perbaikan kualitas hidup dan pemikiran manusia, hanya akan mengantarkan kerusakan yang lebih massif dan fatal. Apalagi jika sudah mulai muncul krisis multidimensi pada kehidupan manusia itu sendiri. Contoh sederhananya adalah sebuah bangsa yang rusak mentalnya jika digempur dengan kehadiran teknologi terbaru yang mutakhir, maka lebih banyak mudharatnya daripada mereka akan memberi manfaat. Kerusakan menjalar dari rumah ke rumah bagaikan wabah. Virus negatif akan menghancurkan segala bangunan pembangunan yang telah berdiri maupun akan mulai didirikan. Seperti yang masih menjadi puncak gunung permasalahan di dunia berkembang seperti di Indonesia adalah penggunaan internet untuk mengakses video porno, dan conten seksual yang eksplisit sekadar menuntaskan syahwat purbawi atas nama rasa ingin tahu (kuriositas) atau malah cyber crime yang makin menakutkan di dunia maya.

Hal-hal sederhana yang bisa dikerjakan untuk menghindari segala ekses negatif dari teknologi digital yang super cepat adalah mensosialisasikan bahwa teknologi muthakhir bukanlah tuhan kontemporer. Yang memberi keselamatan bukanlah ‘sebuah gadget yang super canggih’ tetapi Tuhan yang memberi kita kemampuan untuk berpikir dan menalar. Artinya, perasaan ketakwaan pada Tuhan dalam diri yang harus terus dikembangkan dalam dunia yang makin individualis, ekslusif dan self autority ini, terutama manusia sebagai penguasa teknologi.

Juga kemajuan interaksi yang integratif antar manusia lebih penting dalam segala komunikasi, terutama di dunia maya. Persoalan bersama yang lebih dipecahkan dalam komunitas di dunia maya, sifat bencana yang perlu tanggap darurat, niscaya akan lebih mudah tergalang penanggulangannya jika bisa dikoordinasikan dalam dunia maya, di mana masyarakat dunia adalah sebuah global village.

Aplikasi-aplikasi untuk pembangunan lebih didahulukan untuk diciptakan daripada misalnya hiburan dan permainan, atau dengan memberi batasan pada beberapa aplikasi permainan. Tujuannya ini agar lebih banyak dimunculkan aplikasi teknologi untuk pembangunan yang memberi manfaat. Bahkan sebenarnya kemunculan seni musik, sastra, dan hiburan lainnya, menurut hemat penulis, tujuan aslinya adalah memberi warna indah dan halus pada kehidupan manusia itu sendiri. Menjadikan hidup lebih elegan, berseni dan berbudaya. Kegiatan ngeblog dengan blog untuk pendidikan dan pengetahuan. Jadi bukan semata seni untuk kebebasan seni itu sendiri yang lebih merugikan kualitas manusia itu sendiri. Misalnya, content porn sexuality yang harusnya bisa dihindari atau lebih baik disingkirkan. Percayalah, tak ada manfaat dalam content yang seperti itu. Alih-alih hanya memperbesar eksploitasi terhadap perempuan, kapitalisme dunia hiburan yang makin menghancurkan otak dan kepribadian manusia.

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… (QS. At.Tahrim: 6)

Dan dari pragmatisme yang terjadi di atas ada beberapa kasus yang terjadi di desa saya sendiri yang membuat kita makin prihatin dan khawatir.

Adapun tulisan ini tidak hendak menguliti moral orang per orang, khususnya pemuda-pemuda tetangga yang sudah melakukan penyimpangan. Tapi sebagai sample kasus yang coba kita dedahkan permasalahannya dan kita berikan solusi untuk perbaikan umat.

Sample Kasus:

Sebut saja ES (32 th). Dia dulu teman SD saya. Sebagai perempuan dia bergaul terlalu bebas. Sering berganti pacar, hingga akhirnya terjerumus ke dalam hiburan malam, bekerja di tempat karaoke. Dia sering pulang malam, diantar sembunyi-sembunyi oleh laki-laki yang seringnya berbeda-beda. Dia menjadi rumor dan gunjingan di desa. Hingga ia pun memungkasi masa lajangnya dengan menikahi seorang tentara yang sudah beranak-istri. Nikahnya nikah siri. Tapi, nasibnya juga tak menjadi lebih baik, si tentara sudah tak bersamanya lagi, meninggalkannya sendiri atau karena memang statusnya sebagai tentara melarangnya untuk beristri lebih dari satu.
Lain lagi nasib si D (27 th), dia adalah seorang gadis lugu dengan basic pendidikan orang tua yang seadanya, walaupun juga tidak bisa dikatakan sebagai orang yang tidak mampu. Perkenalan D dengan seorang jejaka di luar, ternyata menjadikannya perempuan pemuas nafsu lalu dibuang begitu saja. Hingga akhirnya orang tuanya terpaksa “menikahkannya” (membayar seorang lelaki agar mau menikahinya). Sekarang sudah lebih baik nasibnya, mempunyai anak lelaki yang lucu. Dan si lelaki bayaran ternyata mau bertanggung jawab sebagai seorang suami.

Kini yang terbaru adalah si R (26 th) yang kumpul kebo dengan pasangannya dan anehnya orang-orang di sekitar sudah begitu permisif akan hal itu. Lebih aneh lagi, si perempuan, yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan tekstil, mau dikeloni di rumahnya itu. Pun sudah dua bulan hal itu terjadi. Hal terakhir ini saya sempat berkoordinasi dengan ketua Takmir masjid untuk mengecek hal ini dan menasehatinya. Saya masih menunggu kabar selanjutnya.

Satu lagi, kasus perselingkuhan seorang warga pendatang Nasrani yang menyelingkuhi seorang tetangga yang awalnya diperkejakan sebagai tenaga setrika di rumahnya. Bermodal uang banyak, si perempuan itu mau ditipunya hingga mau berzina. Akhirnya kasusnya terkuak di muka umum. Bahkan sempat digruduk oleh warga. Si lelaki dihajar (walaupun tidak sampai babak belur) oleh si suami. Hingga akhirnya dilerai oleh sang ketua RT (beragama Nasrani). Padahal boleh saja secara syariat seorang perusak “pagar ayu” seperti ini dibunuh atau halal darahnya. Namun, yang tak kalah mengejutkan adalah jawaban si perempuan yang diselingkuhi itu. Dengan enteng dan berani dia menjawab, “Lha, salahe bojo ora isa nyucukupi!” Kurang lebih terjemah bebasnya, “Salah suami tidak bisa mencukupi kebutuhan.”

Lima kasus itu nyata terjadi di desa saya yang kecil dan hanya 2 RT yang tak lebih dari 70 KK (Kepala Keluarga) itu. Namun mengapa semua itu bisa terjadi sebenarnya adalah gunung es yang besar dan puncaknya adalah kejadian-kejadian yang tak mengenakkan dan merupakan penyimpangan terhadap agama dan moral tersebut.

Pembinaan moral dari keluarga

Rasulullah sudah berpesan dengan kalam Allah Ta’ala untuk menjaga keluarga kita.

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… (QS. At.Tahrim: 6)

Hasungan ini sangat urgen. Pendidikan sejak dini lewat teladan akhlak yang baik harus diutamakan. Sebabnya anak lebih melihat teladan orang tuanya daripada tutur ceramah mereka. Anak sering kali lebih merasa ingin didengarkan dan diperhatikan daripada diceramahi yang kerap kali bernuansa emosi. Artinya pendampingan terhadap mereka sangat penting hingga mereka dewasa dan mencukupi pendidikan agamanya. Ya, memang keteladanan adalah kebiasaan yang bisa dilatih dan diukur sekaligus bisa kita aplikasikan.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk memberi teladan mendidik moral anak antara lain:

Mengenalkan Allah kepada anak sejak usia dini.
Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan formal yang berkiblat kepada agama. Sejalan dengan hal itu orang tua juga harus memerhatikan dirinya untuk mau belajar dan mempelajari agama serta mengamalkannya. Pengalaman membuktikan bahwa anak-anak yang dididik di pondok lebih nurut dan berhasil ketimbang di sekolah umum. Pun, asumsi bahwa pondok adalah tempat buangan bagi anak anak adalah hal yang keliru. Di pondok, anak lebih diajar untuk mengenal Allah dan syariat Allah yang semuanya itu bertujuan untuk kebahagiaan hidup manusia baik di dunia dan akhirat.

Menggerakkan keluarga ke masjid sebagai bagian dari dakwah.
Masjid merupakan tempat yang paling dicintai oleh Allah. Biasakan anak kita untuk menyambanginya ketika beribadah sholat atau belajar Al Quran. Keluarga juga harus ikut berduyun-duyun pergi ke masjid walaupun bagi perempuan tidak ada larangan untuk sholat di rumah. Namun hendaknya ‘pencitraan yang positif” ini harus terus dibangun dan dijadikan sebagai dakwah. Barangkali dengan niatan dakwah seperti ini Allah akan memberikan barokah dan hidayah kepada keluarga kita.

Mengenalkan shirah Nabi dan tarikh para sahabat, serta keutamaan-keutamaan mereka.
Teladan yang paling utama adalah Nabi Muhammad saw serta para sahabat, tabiin, tabiut tabiin dan para ulama. Orientasi mereka yang semata-mata ridha Allah dan Rasulnya mampu mengalahkan gemerlap dunia dan isinya ini. Nilai-nilai yang mereka ajarkan dan gaya hidup mereka adalah warisan dari para nabi. Jika anak terbiasa diperkenalkan dengan nilai-nilai yang tinggi dan mulia ini, maka tak mungkin anak kita pun akan meneladani mereka dan bergegas untuk mencari ilmu lebih dari memburu kekayaan di dunia yang fana ini.

Bersikap pertengahan
Dalam aspek dakwah, yang sering kita lupakan adalah bersikap pertengahan di dalam keluarga. Mungkin pada awalnya untuk mendidik anak, sering kali terjadi perdebatan, letupan emosi yang tidak perlu, atau sesuatu yang membuat hubungan kedua orang tua dan anak menjadi renggang karena perbedaan pendapat, semata orang tua ngege mongso, ingin segera anaknya berubah baik atau karena orang tua tidak melakukan seni komunikasi yang baik. Dalam hal ini Al Quran mengisyaratkan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Karena itu bersikap proporsional dalam mendidik anak harus bersikap pertengahan kepada mereka. Tidak mutlak menuntut mereka alih-alih kita memberikan pengajaran yang elegan lewat teladan keshalihan.

Ulasan kecil di atas adalah tentang gambaran permasalahan moral dan akhlak di desa saya, yang mungkin juga gambaran di beberapa tempat lain di Indonesia ini. Degradasi moral karena kesingsal dengan teknologi informasi yang banal. Terutama dari televisi dan internet yang menihilkan agama, pamer aurat, dan menghasung hedonisme semata. Akhirnya anak-anak muda rentan menjadi korban alih-alih menjadi beban terbesar kita untuk memperbaiki dan mendidik akhlak mereka.

Hal ini salah satunya terjadi karena keluarga tidak mendasari dan melandasi budi pekerti anak-anak mereka dengan agama Islam yang kaffah. Masjid sekadar sebuah infrastruktur yang melengkapi di sebuah desa, bukan sebuah center point di desa sebagai barometer perkembangan desa tersebut. Artinya jika lebih banyak orang yang kembali ke masjid, niscaya Allah akan meridhai desa tersebut dan menjadikan orang-orangnya mempunyai izzah yang bagus.

Beberapa hal sederhana itu semoga bisa menjadi langkah aplikatif yang bisa diterapkan pada keluarga-keluarga kita. Kita juga berharap bahwa kualitas bangsa Indonesia ini dapat diperbaiki dimulai dengan pembangunan akhlak keluarga dengan dinul Islam yang kaffah.

Disebutkan dalam Al-Quran: ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 28).

Last but not least,  life is being to be a master not a monster! Manusia bukan sekedar hewan bernalar. Teknologi diciptakan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari segi duniawi dan ukhrawi. Ubudiah maupun ilahiah. Tapi, saya wajib mengimani bahwa teknologi kekinian adalah sebuah temuan yang canggih dan mutakhir. Membuat manusia bisa membuat satu lompatan dalam sejarah hidupnya. Begitu.

Allahu ‘A’lam bish showab

 

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s