“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… (At.Tahrim: 6)
Tulisan ini tidak hendak menguliti moral orang per orang, khususnya pemuda-pemuda tetangga yang sudah melakukan penyimpangan. Tapi sebagai sample kasus yang coba kita dedahkan permasalahannya dan kita berikan solusi untuk perbaikan umat.Sample
Kasus:
Sebut saja ES (32 th). Dia dulu teman SD saya. Sebagai perempuan dia bergaul terlalu bebas. Sering berganti pacar, hingga akhirnya terjerumus ke dalam hiburan malam, bekerja di tempat karaoke. Dia sering pulang malam, diantar sembunyi-sembunyi oleh laki-laki yang seringnya berbeda-beda. Dia menjadi rumor dan gunjingan di desa. Hingga ia pun memungkasi masa lajangnya dengan menikahi seorang tentara yang sudah beranak-istri. Nikahnya nikah siri. Tapi, nasibnya juga tak menjadi lebih baik, si tentara sudah tak bersamanya lagi, meninggalkannya sendiri atau karena memang statusnya sebagai tentara melarangnya untuk beristri lebih dari satu.
Lain lagi nasib si D (27 th), dia adalah seorang gadis lugu dengan basic pendidikan orang tua yang seadanya, walaupun juga tidak bisa dikatakan sebagai orang yang tidak mampu. Perkenalan D dengan seorang jejaka di luar, ternyata menjadikannya perempuan pemuas nafsu lalu dibuang begitu saja. Hingga akhirnya orang tuanya terpaksa “menikahkannya” (membayar seorang lelaki agar mau menikahinya). Sekarang sudah lebih baik nasibnya, mempunyai anak lelaki yang lucu. Dan si lelaki bayaran ternyata mau bertanggung jawab sebagai seorang suami.
Kini yang terbaru adalah si R (26 th) yang kumpul kebo dengan pasangannya dan anehnya orang-orang di sekitar sudah begitu permisif akan hal itu. Lebih aneh lagi, si perempuan, yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan tekstil, mau dikeloni di rumahnya itu. Pun sudah dua bulan hal itu terjadi. Hal terakhir ini saya sempat berkoordinasi dengan ketua Takmir masjid untuk mengecek hal ini dan menasehatinya. Saya masih menunggu kabar selanjutnya.
Satu lagi, kasus perselingkuhan seorang warga pendatang Nasrani yang menyelingkuhi seorang tetangga yang awalnya diperkejakan sebagai tenaga setrika di rumahnya. Bermodal uang banyak, si perempuan itu mau ditipunya hingga mau berzina. Akhirnya kasusnya terkuak di muka umum. Bahkan sempat digruduk oleh warga. Si lelaki dihajar (walaupun tidak sampai babak belur) oleh si suami. Hingga akhirnya dilerai oleh sang ketua RT (beragama Nasrani). Padahal boleh saja secara syariat seorang perusak “pagar ayu” seperti ini dibunuh atau halal darahnya. Namun, yang tak kalah mengejutkan adalah jawaban si perempuan yang diselingkuhi itu. Dengan enteng dan berani dia menjawab, “Lha, salahe bojo ora isa nyucukupi!” Kurang lebih terjemah bebasnya, “Salah suami tidak bisa mencukupi kebutuhan.”
Lima kasus itu nyata terjadi di desa saya yang kecil dan hanya 2 RT yang tak lebih dari 70 KK (Kepala Keluarga) itu. Namun mengapa semua itu bisa terjadi sebenarnya adalah gunung es yang besar dan puncaknya adalah kejadian-kejadian yang tak mengenakkan dan merupakan penyimpangan terhadap agama dan moral tersebut.
Pembinaan moral dari keluarga
Rasulullah sudah berpesan dengan kalam Allah Ta’ala untuk menjaga keluarga kita.
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… (At.Tahrim: 6)
Hasungan ini sangat urgen. Pendidikan sejak dini lewat teladan akhlak yang baik harus diutamakan. Sebabnya anak lebih melihat teladan orang tuanya daripada tutur ceramah mereka. Anak sering kali lebih merasa ingin didengarkan dan diperhatikan daripada diceramahi yang kerap kali bernuansa emosi. Artinya pendampingan terhadap mereka sangat penting hingga mereka dewasa dan mencukupi pendidikan agamanya. Ya, memang keteladanan adalah kebiasaan yang bisa dilatih dan diukur sekaligus bisa kita aplikasikan.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk memberi teladan mendidik moral anak antara lain:
Mengenalkan Allah kepada anak sejak usia dini.
Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan formal yang berkiblat kepada agama. Sejalan dengan hal itu orang tua juga harus memerhatikan dirinya untuk mau belajar dan mempelajari agama serta mengamalkannya. Pengalaman membuktikan bahwa anak-anak yang dididik di pondok lebih nurut dan berhasil ketimbang di sekolah umum. Pun, asumsi bahwa pondok adalah tempat buangan bagi anak anak adalah hal yang keliru. Di pondok, anak lebih diajar untuk mengenal Allah dan syariat Allah yang semuanya itu bertujuan untuk kebahagiaan hidup manusia baik di dunia dan akhirat.
Menggerakkan keluarga ke masjid sebagai bagian dari dakwah.
Masjid merupakan tempat yang paling dicintai oleh Allah. Biasakan anak kita untuk menyambanginya ketika beribadah sholat atau belajar Al Quran. Keluarga juga harus ikut berduyun-duyun pergi ke masjid walaupun bagi perempuan tidak ada larangan untuk sholat di rumah. Namun hendaknya ‘pencitraan yang positif” ini harus terus dibangun dan dijadikan sebagai dakwah. Barangkali dengan niatan dakwah seperti ini Allah akan memberikan barokah dan hidayah kepada keluarga kita.
Mengenalkan shirah Nabi dan tarikh para sahabat, serta keutamaan-keutamaan mereka.
Teladan yang paling utama adalah Nabi Muhammad saw serta para sahabat, tabiin, tabiut tabiin dan para ulama. Orientasi mereka yang semata-mata ridha Allah dan Rasulnya mampu mengalahkan gemerlap dunia dan isinya ini. Nilai-nilai yang mereka ajarkan dan gaya hidup mereka adalah warisan dari para nabi. Jika anak terbiasa diperkenalkan dengan nilai-nilai yang tinggi dan mulia ini, maka tak mungkin anak kita pun akan meneladani mereka dan bergegas untuk mencari ilmu lebih dari memburu kekayaan di dunia yang fana ini.
Bersikap pertengahan
Dalam aspek dakwah, yang sering kita lupakan adalah bersikap pertengahan di dalam keluarga. Mungkin pada awalnya untuk mendidik anak, sering kali terjadi perdebatan, letupan emosi yang tidak perlu, atau sesuatu yang membuat hubungan kedua orang tua dan anak menjadi renggang karena perbedaan pendapat, semata orang tua ngege mongso, ingin segera anaknya berubah baik atau karena orang tua tidak melakukan seni komunikasi yang baik. Dalam hal ini Al Quran mengisyaratkan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216). Karena itu bersikap proporsional dalam mendidik anak harus bersikap pertengahan kepada mereka. Tidak mutlak menuntut mereka alih-alih kita memberikan pengajaran yang elegan lewat teladan keshalihan.
Ulasan kecil di atas adalah tentang gambaran permasalahan moral dan akhlak di desa saya, yang mungkin juga gambaran di beberapa tempat lain di Indonesia ini. Degradasi moral karena kesingsal dengan teknologi informasi yang banal. Terutama dari televisi dan internet yang menihilkan agama, pamer aurat, dan menghasung hedonisme semata. Akhirnya anak-anak muda rentan menjadi korban alih-alih menjadi beban terbesar kita untuk memperbaiki dan mendidik akhlak mereka.
Hal ini salah satunya terjadi karena keluarga tidak mendasari dan melandasi budi pekerti anak-anak mereka dengan agama Islam yang kaffah. Masjid sekadar sebuah infrastruktur yang melengkapi di sebuah desa, bukan sebuah center point di desa sebagai barometer perkembangan desa tersebut. Artinya jika lebih banyak orang yang kembali ke masjid, niscaya Allah akan meridhai desa tersebut dan menjadikan orang-orangnya mempunyai izzah yang bagus.
Beberapa hal sederhana itu semoga bisa menjadi langkah aplikatif yang bisa diterapkan pada keluarga-keluarga kita. Kita juga berharap bahwa kualitas bangsa Indonesia ini dapat diperbaiki dimulai dengan pembangunan akhlak keluarga dengan dinul Islam yang kaffah.
Disebutkan dalam Al-Quran: ”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal [8]: 28).
Allahu ‘A’lam bish showab