RESENSI BUKU #‎LaridariPesantren‬, Sebuah Pelajaran Tentang Kebijaksanaan

Oleh yuditeha

Andri Saptono

sebuah novel anak terbaru dari Andri Saptono

Judul : Lari dari Pesantren
Penulis : Andri Saptono
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Cetakan/tahun : Pertama/Akhir 2015
Halaman : 115

Menurut ilmu filsaat, kebijaksanaan adalah kemampuan memilih dan memutuskan cara yang tepat untuk mendapatkan hasil akhir yang terbaik sesuai tujuannya. Dengan merunut pengertian di atas, novel anak berjudul Lari dari Pesantren ini secara implisit telah mengajarkan bagaimana sebuah kebijaksanaan sangat diperlukan dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

Tersebutlah dalam cerita, Albar dan Ilyas, memutuskan lari dalam satu hari dari pesantren Al-Ikhlas untuk memenuhi tantangan dari Bashir bin Lukman, salah satu temannya di pondok yang biasa dipanggil dengan Ucil. Dalam pelarian itu banyak kejadian yang menimpa mereka, yang tentu saja tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya, dari usahanya mencari kerja yang tidak pernah diperoleh, mengemis bahkan mencuri. Semua itu berawal dari keinginannya untuk mendapatkan makanan dan usaha usaha mereka untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang digambarkan sangat keras itu. Karena situasi dalam pelarian yang begitu berat mereka rasakan akhirnya berbagai dosa terpaksa mereka lakukan. Mereka lupa akan ajaran-ajaran luhur di pondok, termasuk sesekali meninggalkan salat.

Cerita menjadi pelik saat mereka ikut terjaring razia petugal satpol PP bersama yang lain. Semua orang yang terjaring razia itu akhirnya dibawa ke hutan buangan, di lepas di sana. Selain mereka, salah satu yang juga ikut terjaring adalah seorang pelacur bernama Warti. Tokoh pelacur inilah yang nantinya justru dipilih berperan peduli kepada Albar dan Ilyas. Hal itu menjadi titik awal penulis merangkai kisah hingga hadirlah sebuah pelajaran tentang kebijaksanaan.

Inilah kecerdasan penulis, ketika pelacur yang identik dengan perempuan kotor dijadikan peran untuk peduli dengan mereka. Perempuan itu yang akhirnya membantu Albar dan Ilyas keluar dari hutan buangan. Dan tak disadari, jalinan persahabatan itu menciptakan kisah saling berbagi kebaikan. Kisah inilah yang akan membentuk peristiwa haru, seiring kesadaran kedua anak itu tumbuh di dada mereka.

Sebuah kesadaran bisa saja tereja karena paksaan keadaan tetapi kesadaran seperti itu, yang tanpa dibarengi dengan ketulusan diri, seringkali akan percuma. Dan untuk kesadaran kedua anak itu lahir dari dalam lubuk hati mereka. Mereka rindu akan ajaran luhur ketika di pondok.

Demikian juga dengan diri Warti, bagaimana terharunya dia ketika melihat kedua anak itu menegakkan salat di tengah jeda perjalanan pergi dari hutan buangan. Meski peristiwa itu bukan sebagai pemicu utama kesadaran Warti untuk bertobat, tetapi kisah-kisah yang dialami bersama Albar dan Ilyas semakin menguatkan tekatnya untuk kembali ke jalan yang benar. Dia ingin benar-benar bertobat.

Hubungan emosional yang terjalin akrap antara Albar, Ilyas dan Warti ini menghasilkan sebuah pengukuhan, kedua anak itu menganggap Warti adalah ibu mereka, yang pada kenyataannya mereka adalah anak yatim dan Warti tidak mempunyai anak. Kisah Albar, Ilyas dengan Warti inilah yang nantinya melahirkan kebijaksanaan yang diambil oleh para ustaz ketika sebulan kemudian kedua anak itu datang lagi ke pondok untuk meminta maaf dan ingin kembali mengikuti pendidikan di sana. Keputusan yang diambil oleh para ustaz mengajarkan pada kita bahwa untuk mencapai sebuah kebijaksanaan yang tepat sangat diperlukan usaha pencarian informasi dari berbagai sumber, dalam hal ini termasuk informasi dari Warti maupun dari kejujuran kedua anak tersebut.

Kebijaksanaan itu juga berarti sebuah kearifan, dimana di dalamnya termasuk pertimbangan mengenai kemanusiaan, terlebih dalam lingkup keagamaan. Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh almarhum Abdurrahman Wahid, bahwa agama hendaknya jangan jauh dari kemanusiaan.

Keistimewaan lain dari novel ini adalah pemilihan tokoh-tokoh dalam novel ini benar-benar bersih, dalam arti netral. Semua tokoh yang dihadirkan itu pada akhirnya akan tetap membawa kepada keagungan Islam beserta ajaran-ajarannya. Tidak ada usaha-usaha untuk membangun terlecutnya isu SARA.

Di sisi lain, ada tokoh bernama Toni, dimana dia sering melakukan kejahatan, suka mengganggu masyarakat dan melakukan pemerasan, termasuk kepada Warti. Pada akhirnya Toni tertangkap oleh petugas. Meski pada saat dia tertangkap dia memohon maaf dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya tapi dia tetap tidak bisa lolos dari hukuman yang harus dijalani, yaitu penjara.

Perbedan penanganan pelanggaran pada kasus Albar, Ilyas dan Toni tersebut semakin memberi kejelasan tentang apa itu kebijaksanaan.***

Yuditeha
Penulis Novel Komodo Inside (Grasindo, 2014). Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s