Resensi Novel “Lost in Lawu” Yuditeha

Untitled
PERIHAL LOKALITAS, MENTALITAS DAN SOLIDARITAS
Judul : Lost In Lawu
Penulis : Andri Saptono
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan/tahun : Pertama/ Maret 2016
Halaman : VIII + 226 halaman

Membaca Lost In Lawu serasa kita ikut dalam petualangan pendakian di Gunung Lawu. Ada ketegangan ketika proses petualangan itu bergulir. Namun secara tersamar sesunggungnya novel ini menawarkan petualangan yang lebih dari sekedar petualangan yang bersifat fisik. Lost In Lawu adalah sebuah kisah yang mengusung tema lokalitas, mentalitas dan solidaritas. Ketiga tema tersebut berbaur untuk menguatkan jalan carita.

Pertama tema lokalitas. Di setiap daerah pasti mempunyai tempat-tempat istimewa, demikian juga di Karanganyar. Dalam hal ini Gunung Lawu merupakan salah satu aset daerah Karanganyar. Keberadaan Gunung Lawu tentu saja akan memberi efek bagi warga sekitarnya, terkhusus untuk masalah tingginya intensitas pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Keadaan ini akan mendorong para investor berlomba-lomba untuk menanamkan modalnya dalam berbagai bentuk bisnis. Tanpa adanya pemikiran tentang kearifan lokal, bisa saja penduduk sekitar hanya akan menjadi budak bagi para investor. Novel ini memberikan contoh beberapa tindakan kearifan lokal tersebut untuk menghalau pelaku investor jahat (ditokohkan oleh Om Lien dan Mikhael), pengusaha yang hanya ingin mengeruk keuntungan daerah tersebut. Bahkan dapat dikatakan inti dari kisah novel ini terletak pada masalah tersebut. Tokoh inspiratif dalam hal ini dimotori oleh Sungkono, yang dulunya pewaris pimpinan Padepokan Harimau Gunung dan pada akhirnya menjadi Lurah di desa Tegal Winangun. Bisa jadi tema lokalitas ini digarap sesungguhnya merupakan tanggapan dari penulis terhadap kegelisahannya mengenai hal itu, dimana secara sosiologis dia adalah anggota masyarakat yang mempunyai hubungan langsung dengan lokasi tersebut.

Kedua tema mentalitas. Sesungguhnya, urusan mendaki gunung bukan melulu bertumpu pada kekuatan fisik. Memang kekuatan fisik akan mendukung jalannya prosesi pendakian tetapi hal itu bukan menjadi syarat mutlak. Yang sebenarnya terpenting dalam pendakian adalah urusan mentalitas pendaki itu sendiri. Pada saat kita naik gunung, sesungguhnya mental kita sedang diuji. Kesiapan mental kita acapkali menjadi penentu apakah kita akan mampu melakukan pendakian itu dengan baik atau sebaliknya. Dan sesungguhnya mental kita akan diuji bukan hanya pada saat kita melakukan prosisi naik saja, tetapi juga pada saat kita sampai di puncak dan turun gunung.

Pada saat kita naik gunung, selain fisik, perihal mental memang sangat penting. Posisi naik, kita akan berapa pada zona lelah. Lelah inilah yang akan berpotensi memunculkan pemikiran-pemikiran yang tidak baik. Seperti menggerutu, mengumpat, mengeluh, penyesalan dan kehendak menyerah. Dalam kenyataan pun, entah kenapa, jika ada pendaki yang tak mampu mengelola emosinya, ada-ada saja yang mereka alami. Hal itu merupakan bukti bahwa kematangan mentalitas sangat diperlukan. Dalam novel ini dicontohkan bagaimana seorang Galih yang berulangkali menemui peristiwa yang tidak terduga saat dirinya kurang mampu mengendalikan emosinya. Tetapi bukan berarti pendaki yang bermental baik tidak akan menemui peristiwa buruk. Perbedaannya adalah paling tidak untuk pendaki yang bermental baik tentu saja akan berbeda bagaimana cara mereka menghadapi masalah yang datang. Contohnya kelompok Bayu, bukan tanpa rintangan, tetapi mereka berusaha untuk tetap bijak dalam menghadapi masalah yang ada.

Kematangan mental akan diuji juga pada saat kita sudah berhasil sampai di puncak dan turun gunung. Pada saat kondisi seperti itu kita cenderung untuk tergoda bersikap belagu karena sudah merasa berhasil menakhlukkan gunung. Padahal sesungguhnya pemikiran menakhlukkan di sini kurang tepat bagi pendaki, tetapi seharusnya kita berusaha menjadi penikmat keindahan dengan penuh rasa syukur. Apa yang kita dapatkan di sana semata karena ijin dari Sang Pemberi Hidup. Novel ini dengan tersirat telah memberi contoh bagaimana kita seharusnya bersikap pada saat kita diberi anugerah keselamatan dan pengalaman yang mengagumkan itu.

Ketiga tema solidaritas. Dalam novel ini digambarkan pula bahwa tantangan petualangan itu ternyata selain kita harus dapat mengelola mental kita juga harus tanggap situasi, baik itu terhadap alam yang kita huni maupun terhadap orang lain. Di novel ini didedahkan sebuah konflik yang ternyata terjadi di area gunung dimana konflik itu dapat mengancam jiwa mereka. Para pendaki dituntut untuk bersikap solider terhadap orang yang dirasa pantas untuk dibela. Sikap solidaritas ini sesungguhnya memang mudah saja muncul jika kita berada dalam sebuah medan perantauan. Contoh misalnya, di daerah perantauan kita bertemu sesama perantau. Secara alamiah rasa kita seakan-akan punya ikatan hubungan yang erat. Ada upaya untuk saling membantu dan saling peduli. Demikian juga dalam cerita di novel ini, bagaimana kisah Galih beberapakali ditolong oleh kelompok Bayu, demikian juga sebaliknya di satu kesempatan Galih merasa perlu menolong kelompok Bayu karena merasa telah berhutang budi. Meski konsep sebab pertolongan itu atas dasar balas budi atau alasan apa pun tetapi tetap saja peristiwa itu merupakan bukti bahwa kita sesungguhnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri hingga merasa bahwa kita tidak memerlukan bantuan orang lain.

Konsep solidaritas ini merambah ke tingkatan yang lebih tinggi ketika ada sebuah keputusan bagaimana baik kelompok Bayu maupun Galih sendiri akhirnya memilih untuk membantu Sungkono yang berada dalam bahaya atas rekayasa dari Sukriya dan para komplotannya. Meski konsep solidaritas ini bisa merujuk pada pengakuan bahwa kelompok Bayu dan Galih bisa dianggap pahlawan tetapi mereka sendiri secara rendah hati mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan yang memang seharusnya dilakukan. Bukan lantas menjadi belagu dan adigung adiguna.

Tentu saja selain novel ini mengetengahkan ketiga tema di atas, kehadiran beberapa tokoh perempuan menjadi pemanis konflik novel ini, diantaranya adalah Raras, istri Sungkono beserta Ratri, putrinya, Nuning, perawan Desa Tegal Gede, korban kebiadaban Mikhael yang bekerja sama dengan Sukriya, dan Susan, sebagai wanita hadiah dari Mikhael untuk Sukriya. Untuk hal ini, sebenarnya ada pertanyaan yang menggelitik: Kenapa sosok perempuan di sini hanya ditempilkan sebagai pemanis saja? Mengapa tidak ada tokoh perempuan yang ikut berperan? Misalnya salah satu pendaki ada yang perempuan atau entah tokoh apa. Ini hanya pertanyaan renungan.

Ditinjau dari kekurangannya, jika boleh dianggap sebagai kekurangan, di novel ini ada bagian yang salah menyebut nama tokoh dan kurang tepatnya ilustrasi sebuah keadaan. Tapi sesungguhnya jika adanya kecermatan segi editing baik dari editor, sebagaimana sudah menjadi tugasnya maupun penulis sendiri, sesungguhnya kesalahan seperti ini sangat mungkin bisa dihindari. Tetapi terlepas dari itu semua, novel Lost In Lawu ini merupakan novel yang pantas untuk kita baca, karena di dalamnya menyuguhkan banyak ilmu dan pengalaman, terkhusus bagi kita orang yang ingin mengenal lebih jauh tentang apa dan bagaimana itu Gunung Lawu. Novel ini juga sarat dengan pembelajaran sikap hidup, dimana hal seperti itu adalah hal penting kita perlu dalami karena kita adalah manusia yang mudah sekali jatuh ke dalam kesalahan. Berlatih mengelola mental kita akan semakin menunjukkan bahwa manusia memang seharusnya tampil sebagai makhluk yang paling luhur diantara makhluk hidup lainnya.

Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat kepada Andri Saptono, selaku penulis Karanganyar yang telah berhasil mendokumentasikan salah satu aset daerah ini ke dalam bentuk tulisan (novel). Kita memang tidak mungkin abadi tapi seyogyanya apa yang kita tulis semoga bisa berumur panjang hingga bisa dinikmati oleh generasi setelah kita. Terima kasih.

Yuditeha
Penulis fiksi yang tinggal di Jaten RT 01 RW 14 Karanganyar.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s