dimuat di Gagasan Solo Pos
Pasar Nglano dan Dangkrong Indah (DKI) adalah dua entitas yang saling koheren. Saya masih ingat ketika presenter TATV, Wawin dan Mamang, yang syuting “Blusukan Pasar” di Pasar Nglano waktu itu. Para ibu pedagang pasar dengan jenaka ngaturi (Jawa, menawari dengan halus) dua presenter TV yang kocak itu untuk mampir ngalor. “Mampir ngalor” ini tentu saja adalah mampir ke lokalisasi Dangkrong. Dan rupanya dua presenter ini juga paham tentang keberadaan lokalisasi Dangkrong yang terkenal itu. Bahkan, secara ikonik Dangkrong ini lebih terkenal daripada pasar Nglano yang berdekatan dengan Pabrik Gula Tasikmadu tersebut.
Menurut sejarahnya dulu lokalisasi itu berkait paut dengan kisah para pekerja di pabrik gula Tasikmadu. Keberadaannya yang sangat dekat dengan lokasi mess para pekerja menyimpan simpul yang saling terkait. Sebagian para pekerja di jaman itu setelah gajian biasa diam-diam pergi ke lokalisasi yang sudah berdiri puluhan tahun di tanah pemerintah Kabupaten Karanganyar tersebut. Sebaliknya, ada juga bakul jamu (baca: bakul jamu nyambi PSK) dari lokalisasi yang dulu sering menyambangi dan masuk ke area pabrik Gula Tasikmadu, terutama saat tanggal gajian pekerja.
Menghidupkan kembali Dangkrong Indah adalah bagian dari nostalgia pasar tradisional. Namun, jangan buruk sangka dulu. Menghidupkan bukanlah kembali mendirikan lokalisasi Dangkrong yang kini sudah tergusur itu. Sebenarnya, nama Dangkrong adalah sebuah akronim dari sendang ngerong. Keberadaan sendang itu sendiri berada tepat di utara pasar Nglano. Mata air sendang tersebut menjadi agung (melimpah) ketika musim hujan yang juga dihuni oleh ikan-ikan lele dan kutok. Sebaliknya, air sendang akan kering ketika musim kemarau. Dan saat itulah terdapat rong (lubang kecil) yang menjadi persembunyian ikan lele dan kutok tersebut agar tidak mati kekeringan.
Konon, sendang ini berkait-paut dengan dua buah sendang besar yang lain yang juga di daerah Karanganyar. Mitos ini dibumbui kisah misteri lele besar yang sering diberi makan para pengunjung untuk ngalap berkah. Beragam motivasi mereka, ada yang ingin menang judi, PSK yang ingin laris pelanggannya, ataupun motivasi temporer lainnya.
Secara substansif Dangkrong adalah sendang penjaga air di desa Nglano. Pohon-pohon besar mengitari sendang tersebut menjadi penyimpan air hujan dan peneduh bagi para pengunjung pasar. Makna menghidupkan kembali Dangkrong di sini sangat relevan dengan pembangunan pasar Nglano yang sedang berlangsung. Area sendang yang luas dan asri ini bisa dijadikan semacam rest area yang teduh dengan komplek mushola di tempat tersebut. Bahkan, selain rest area juga bisa ditambahi semacam ruang nostalgia pasar Nglano tempo dulu dengan memajang potret dan miniatur Pasar Nglano tempo dulu yang bisa memberikan edukasi tentang pasar tradisional terhadap masyarakat. Pasar sejatinya bukan sekadar tempat bertemunya penjual dan pembeli, namun telah menjadi denyut kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Hal ini mengingatkan saya tentang pengamalan berpasar di pasar Nglano di jaman dulu. Saya masih banyak menemui ibu-ibu berpakaian jarit membawa obor sambil menggendong senik di punggungnya dengan bermacam-macam sayuran, atau sesekali ayam kampung yang ingin dijual di pasar. Terkadang mereka tidak sendiri, tetapi mengajak cucu atau anak sendiri. Yang berkesan adalah rata-rata sang cucu atau anak kecil yang ikut ke pasar itu banyak yang memakai baju seragam sekolah meski hari libur. Atau salah satu celana maupun kemejanya adalah baju seragam sekolah. Ternyata saat itu, baju seragam sekolah merupakan baju terbagus yang mereka punya. Lain tidak.
Pun mereka menuju ke pasar yang menempuh perjalanan sekitar 10-15 km sambil berjalan kaki diterangi obor. Ketika matahari sudah mulai meninggi, obor itu dimatikan dan disimpan di gerumbul semak pinggir jalan. Ketika pulang mereka akan mengambilnya lagi untuk dipakai besok hari. Obor itu juga sangat sederhana sekali. Ada yang berupa plompong pepaya atau potongan bambu pendek.
Di pasar Nglano, keadaan juga masih sederhana. Di saat itu saya sering melihat ibu-ibu senam di sebuah lapangan utara pasar Nglano setiap hari tertentu. Mereka adalah para PSK yang mendapat pengarahan dari puskesmas Nglano. Namun, pikiran saya saat itu hanya sederhana saja. Saya melihat mereka adalah ibu-ibu yang rajin berolahraga setiap hari tertentu.
Kami terkadang juga senang mampir melihat lele-lele besar di sendang itu. Di tempat itu terkadang berkumpul penjudi atau beberapa pedagang yang sejenak ngaso dinaungi pohon trembesi dan beringin yang besar. Sesekali ada pemain siter yang ditanggap oleh seorang pedagang yang dagangannya laris.
Revitalisasi Sendang-Sendang di Karanganyar
Salah satu cara membangun yang indah adalah dengan melestarikan juga cagar budaya yang ada. Menghindari untuk menebang pohon-pohon besar yang ada di kawasan pembangunan tersebut. Dipilih cara dengan dicangkok untuk dipindahtempatkan ke kawasan lain yang lebih butuh pohon penjaga air.
Hal ini jika diperhatikan juga menjadi titik balik yang positif bahwa sudah saatnya pemerintah juga nguri-nguri sendang-sendang yang lain yang ada di Karanganyar. Tentu dalam artian positif dan menghindari untuk membungkusnya dengan hal-hal yang bersifat mistis. Karena hal itu akan lebih banyak mereduksi akal dan nalar modern. Alih-alih, orang hanya datang sekadar berziarah, ngalap berkah atau hal-hal yang berbau kemusrikan belaka. Namun apabila dikemas dalam edukasi yang benar dan bagus, kita bisa berharap anak cucu kita akan merawat sendang-sendang sebagai warisan cagar alam dan budaya. Pun, di Karanganyar masih banyak sendang yang belum terjamah untuk dilestarikan dan dirawat. Semisal, yang pernah saya temui ada di Delingan, Dawan, Jumantono, dan di beberapa titik lain.
Ada sebuah kisah Mukidi yang bisa dijadikan ibrah dalam jiwa pembangunan Karanganyar ini. Ada tiga orang yang punya karakter berbeda: mbah Atmo, Sanyoto dan Mukidi. Mbah Atmo adalah tipikal orang kuno. Dia menggunakan pohon besar untuk bertawasul mendekatkan dirinya kepada penciptanya. Dia mengkeramatkan pohon besar tersebut. Memberinya sesajen, memberinya pagar, serta menjauhkan manusia dari pohon tersebut dengan menganggapnya keramat. Sanyoto berbeda pikiran, dia melihat bahwa pohon besar itu bernilai kayu yang mahal jika dijual. Jadi sudah saatnya pohon itu ditebang untuk diambil kayunya. Toh, nanti bisa ditanami bibit lagi di tempat itu. Apalagi tempat itu menurutnya dijadikan tempat kemusyrikan oleh mbah Atmo. Akhirnya kedua orang ini bertengkar. Dan yang muda yang menang. Sanyoto ngotot untuk menebangnya.
Namun, berbeda dengan Mukidi. Dia melihat dengan perspektif yang berbeda. Jika pohon besar ini ditebang, otomatis penjaga air ini akan punah. Burung-burung yang biasa berteduh dan membuat sarang akan pergi dari tempat itu. Lambat laut alam akan berubah menjadi meranggas kemarau jika tidak ada cagar alam ini lagi.
Ya, sebenarnya kita bisa menjadi orang yang lebih positif dengan melihat keberadaan sebuah tempat itu secara komprehensif. Daripada sekadar melihat Dangkrong Indah itu secara parsial belaka. Faktanya keberadaan sendang yang bisa kita manfaatkan dan kita bangun menjadi hal yang positif. Lebih jauh menghidupkan kembali Dangkrong indah menjadi lebih urgen daripada sekadar membangun los pasar yang modern namun gersang.
Hal ini bisa ditempuh dengan mengubah ikon Dangkrong Indah (baca: sendang) yang merupakan bagian dari pasar Nglano menjadi sebuah taman atau rest area yang bisa memberikan edukasi pasar tradisional. Sekali lagi, pasar Nglano sekilas bukan sekedar tempat pertemuan antara penjual dan pembeli belaka. Pasar telah menjadi denyut kehidupan masyarakat. Dan entitas Dangkrong Indah adalah wajah peradaban yang perlu dilihat dengan kacamata yang bijaksana. Hal yang bersifat (khabaits) seyogianya tidak serta merta dimusnahkan, tetapi bisa dirudapaksa menjadi hal yang positif, yakni merawat sendang dan memberikan edukasi tentang pasar tradisional. Di sinilah jiwa membangun yang sehat itu bisa diwariskan kepada anak cucu kita seperti kisah Mukidi di atas. Begitu.
gambar diambil dari sini