Topeng Monyet Pilkada

dimuat di litera Joglosemar

“Kalian tahu pekerjaan yang kita lakukan semalam pasti akan lebih berguna di kota. Kabarnya persaingan politik di Ibu kota lebih panas. Kita pasti akan mendapat uang banyak dari setiap juragan yang kita temui,” kata si pemimpin topeng monyet itu sambil menghembuskan rokok.

Rombongan pengamen larang-topeng-monyet-jokowi-halangi-rakyat-cari-makan-halaltopeng monyet itu makin bergegas. Mendung gelap menggantung alamat hujan deras. Lima belas menit mereka harus sudah sampai di desa sebelah. Kliwon, kera mereka yang bersepeda motor kayu ditarik oleh si pemimpin rombongan sendiri, seorang tua yang berambut putih sekitar umur lima puluhan yang sering dipanggil mbah Mbesur, karena memperlambat perjalanan, kini rantai itu digulung sedangkan si Kliwon ganti naik ke pundak si lelaki tua itu.

Dua orang anak kecil di belakangnya membawa peralatan musik yang sederhana. Bagong, yang bertubuh gendut membawa kendang untuk ditabuh ketika memanggil orang-orang mendekat. Bendot, yang lebih kurus membawa kenong. Baik kendang maupun kenong fungsinya sama.

Seorang lagi bertubuh kurus tinggi yang biasa menyembunyikan wajahnya di balik topi yang juga digunakan sebagai pelindung panas itu, membawa peralatan si Kliwon ketika beraksi: sepeda motor dari kayu, payung, dan juga sebuah meja kursi kecil –semua properti itu diikat menjadi satu biar mudah dibawa.

Tak ada yang bicara selama berjalan bergegas itu. Si Kliwon yang duduk di pundak mbah Mbesur karena sudah bosan memainkan topi si pemimpin rombongan yang sudah berwarna tanah itu, kini matanya terus-terusan memandangi jalanan di depan yang serasa tak berujung.

Ternyata hujan lebih cepat turun dari perkiraan mereka. Untunglah ada sebuah gardu poskamling yang kosong dan terbuka. Mereka masuk ke dalam. Semua peralatan segera dibawa masuk agar tidak rusak. Napas ngos-ngosan setelah berlomba dengan hujan yang menderas

Si Kliwon berputar-putar hingga membuat tali itu kusut sendiri. Mungkin ia bosan di dalam gardu yang sempit itu dan ingin bermain hujan di luar. Anclung yang menyandarkan punggung batuk-batuk sebentar.

“Mungkin sampai malam hujan ini baru reda,” ujarnya.

Memang benar langit begitu hitam. Si pemimpin rombongan juga melihat hal itu. Terpaksa malam ini mereka harus tidur di gardu keamanan desa ini.

“Kau lapar, Gong? Bendot, kamu juga lapar tidak?” tanya mbah Mbesur pada Bagong dan Bendot. “Kalau lapar, kalian bisa kau buka bungkusan itu. Aku sama Anclung nanti belakangan.”

Wajah si Bagong dan Bendot gembira membuka bungkusan nasi mereka. Karena berlebih Bagong menawarkan nasi bungkus itu pada si Anclung. Tapi, si kurus tinggi itu menolak, ia pilih menyulut rokok.

“Pendapatan kita menurun hari ini. Di desa terlalu banyak anak kecil tapi mereka sama sekali tak membawa uang,” keluh si Anclung sambil menghembuskan asap rokoknya.

Mbah Mbesur tak berkomentar. Biarpun begitu ia memahami keluhan anak buahnya itu. Kendala sekarang memang sering turun hujan sehingga tidak mungkin mereka menggelar atraksi topeng monyet. Sejurus ia terbetik ide luar biasa melihat tempelan-tempelan pamlet di gardu poskamling itu.

“Bagaimana kalau kita besok main di sini? Lihat, tampaknya poster-poster pilkada ini. Kita bisa mencari keberuntugan di sini. Kita bisa datang ke tempat para calon lurah ini. Mereka pasti akan menanggap kita,” Si pemimpin rombongan menyampaikan pikirannya kepada kedua anak buahnya. Memang benar, dari pamlet dan poster di gardu desa ini sedang mengadakan pilihan lurah.

Si Anclung mengangguk. Begitu juga si Bagong. Artinya juga yang lain hanya mengikut saja.

Mereka kemudian mencoba untuk tidur, tak peduli meski rambut dan pakaian masih basah.
***
Pagi itu matahari bersinar cerah. Para pengamen topeng monyet itu dibangunkan oleh cahaya matahari yang memapar wajah mereka. Sejurus perut terasa keroncongan ketika bangun. Mbah Mbesur berinisiatif mengeluarkan roti kering tawar dari dalam tasnya. Menu sarapan pagi seperti biasa. Ia membaginya menjadi empat bagian. Setiap bagian roti tawar itu ia olesi dengan margarin yang ia bawa. Margarin itu memang serba guna, kadang ia gunakan untuk memasak atau membakar sesuatu di perjalanan. Roti kering tawar dengan margarin juga tak pernah bermasalah dengan perut mereka, bahkan lebih mengenyangkan ketimbang nasi bungkus.

“Ini roti kita yang terakhir,” ujar mbah Mbesur.
Mereka mengerti keadaan itu. Tapi perut mereka yang lapar membuat mereka segera menghabiskan roti kering tawar itu. Untuk minum mereka masih punya persediaan dalam tas.

Setelah kenyang dan membasuh diri di sebuah masjid mereka meneruskan berjalan. Seperti rencana mereka akan akan mampir di rumah para calon lurah itu. Semoga saja mereka ditanggap dan tidak dibiarkan berlalu.

Benar saja, ketika sengaja rombongan topeng monyet itu lewat di depan salah satu posko, salah seorang calon lurah memanggil dan menanggap mereka. Ternyata topeng monyet berhasil memanggil para warga berdatangan di rumah calon lurah itu. Segera saja rumah itu ramainya seperti pasar tiban.

Para pengamen tukang monyet itu pun diberikan kaos bergambar calon kepala desa terpilih itu. Tentu saja para pengamen itu tak keberatan. Para pengamen itu hanya butuh uang. Si Kliwon juga mampu menghibur dan mengumpulkan orang-orang yang ingin melihat tarian topeng monyet di rumah si calon lurah itu.

Setelah atraksi selesai rombongan topeng monyet itu segera pergi. Seperti rencana semula, mereka juga akan mendatangi kepada calon lurah yang satunya. Siapa tahu nasib baik masih beserta mereka. Pun, semua orang tahu, musim pilkada adalah ajang mengumpulkan massa dengan berbagai hiburan.

Untuk hal ini mereka tidak terlalu bodoh. Baju yang diberikan oleh calon lurah itu kini mereka lepas. Mereka simpan agar tidak terlihat saat atraksi nanti.

Singkat kata, seperti pengalaman yang telah mereka lalui, mereka pun ditanggap oleh calon lurah itu. Mereka juga disuruh memakai kaos yang bergambar calon lurah terpilih. Tentu saja ketiga pengamen itu tak ada yang menolak. Mereka hanya lebih peduli pada uang.

Akan tetapi kali ini si Kliwonlah yang menolak untuk beraksi. Monyet iu memang kecapekan dan sialnya tak mau dibujuk dengan apapun.

Mbah Mbesur membentak si Kliwon. “Kliwon! Ayo pakai kaosnya”
Kera itu hanya menatap. Ia menolak untuk bekerja lagi. Beberapa kali dipukul ternyata Kliwon masih tak bergeming. Hal itu membuat marah si pemimpin. Apalagi semua mata penonton sudah terlihat tak sabar.

“Kliwon aku tidak akan memberimu makan!” ancamnya.

Tapi kera itu masih menolak. Ia berputar-putar dan mengamuk membuat ribut dan membuat anjing doberman milik si calon lurah menyalak kencang.

Entah dilepaskan atau memang terlepas sendiri, anjing doberman milik si calon lurah itu mengejar si Kliwon. Terjadilah kejar kejaran. Melihat hal ini mbah Mbesur khawatir terhadap keranya yang pasti terbunuh bila berhasil tertangkap Doberman yang besar itu. Ia menyuruh Bagong dan Bendot untuk segera menangkap anjing doberman itu. Tapi sayang sekali semua terlambat. Doberman itu berhasil mencengkram leher si Kliwon hingga berlumuran darah.

Hancur hati mbah Mbesur melihat kera yang telah hidup mengelana bersamanya belasan tahun itu mati dengan leher hampir putus.

Si calon lurah buru-buru minta maaf. Ia berjanji akan mengganti semua kerugian rombongan topeng monyet itu.

“Tidak, saya hanya minta doberman itu juga mengganti dengan nyawanya.” Mbah Mbesur tak terima. Tak takut dengan siapapun mbah Mbesur yang aslinya mantan preman itu hendak mencekik si doberman itu. “Anjing itu harus mampus seperti Kliwon!”

Terjadilah perkelahian antara rombongan pengamen topeng monyet dikeroyok oleh anak buah si calon lurah yang tak terhitung jumlahnya. Karena kalah mbah Mbesur dan anak buahnya terpaksa melarikan diri. Akan tetapi, mbah Mbesur tak akan bisa tenang sebelum balas membunuh si pembunuh Kliwon itu.
Diam-diam mereka menyusun sebuah rencana balas dendam.

“Kita akan mengadu kedua lurah itu. Hanya dengan begitulah kita bisa menang!” kata mbah Mbesur.

“Bagaimana caranya, bos?” tanya Anclung.

Mbah Mbesur menjelaskan rencananya. Malam itu mereka semua menggunakan kaos bergambar calon lurah A dan akan menyerang calon lurah B. Dengan cara adu domba seperti itu pastilah mereka bisa dikalahkan dengan mudah walaupun tidak berhasil membunuh si doberman.
***
Pagi itu beberapa lelaki yang berpakaian lusuh sedang minum teh di warung. Tapi orang-orang itu mereka memang tak sedang berniat untuk sarapan. Mereka hanya ingin mendengarkan hasil siasat mereka semalam.

Ternyata rencana mereka berhasil. Orang-orang di warung di tempat itu semua sedang membicarakan kisah pertikaian berdarah dua calon lurah di desa sebelah. Pilkada terpaksa dibatalkan dan kedua calon lurah itu kini sedang menjalani proses pemeriksaan oleh polisi.

“Akhirnya Kliwon dapat tidur dengan lelap,” ujar mbah Mbesur nampak puas.

“Untuk Kliwon,” mbah Mbesur mengangkat gelas tehnya. Yang lain juga ikut mengangkat gelas teh sebagai tanda kemenangan.

Setelah minum di warung mereka pergi dari desa. Peralatan topeng monyet sudah mereka jual sebagai kayu bakar di warung itu. Pun mereka memutuskan akan mencari pekerjaan lain saja di kota.

Akhirnya mereka berhasil mendapat tumpangan sebuah truk yang hendak menuju kota.

“Kalian tahu pekerjaan yang kita lakukan semalam pasti akan lebih berguna di kota. Kabarnya persaingan politik di Ibu kota lebih panas. Kita pasti akan mendapat uang banyak dari setiap juragan yang kita temui,” ujar mbah Mbesur sambil menghembuskan rokok. Terbayang dalam matanya mereka akan menjadi pemain topeng monyet baru yang akan mengadu keberuntungan di kota, topeng monyet di kisah-kisah pilkada.

sumber gambar merdeka.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s