Peziarah Lawu

dimuat di Solopos (2/4)

Bayu sedang tidak tertarik mitos Sendang Drajat sekarang. Alih-alih ia hanya butuh berhenti sebentar di sendang itu untuk membasahi tenggorokan yang kering setelah pendakian 4 jam tanpa henti dari Cemoro Sewu dan terus menerus diterpa cuaca buruk sepanjang perjalanan. Alhamdulillah, ia bersyukur berhasil mendaki sejauh ini meskipun belum sampai ke puncak. Sejenak ia teringat saat Mamanya melarangnya habis-habisan melarangnya mendaki Lawu.

“Bayu kan laki-laki, Ma. Biarin aja. Lagipula dia bersama teman-temannya,” bela Ayahnya.

“Sama saja. Tetap sama berbahayanya! Pokoknya tidak boleh,” Mamanya ngotot.

Bayu merasa berdosa karena membohongi Mamanya. Sebenarnya ia hanya sendirian. Bisa dikatakan Bayu terdorong ke puncak Lawu ini lantaran sebuah pesan misterius dari mendiang kakeknya. Kalau diibaratkan layang-layang, pesan Kakeknya adalah angin yang menerbangkan dirinya hingga sejauh ini.

Ya, kakek Bayu adalah semasa hidupnya adalah seorang penganut teosofi kejawen. Kakeknya itu senang melakoni laku hidup dengan prihatin dan tirakat, seperti berpuasa tujuh hari atau kadang melakukan ziarah ke puncak gunung untuk bertapa. Kakeknya meminta Bayu mengembalikan sebuah Lingga untuk diletakkan di puncak Argo Dumuling . Batu berbobot tiga kilogram, yang sekarang berada di dalam tas ransel Bayu itu, adalah simbol kesuburan dalam ranah agama kuno.

Begini pesan yang tersurat secara eksplisit untuk Bayu itu.

Kepada cucuku kelak…
Kalau tiba waktunya, antarkan batu Lingga ini ke puncak Argo Dumuling di puncak gunung Lawu. Di sana ada sebuah batu besar, letakkan batu itu di atasnya. Seseorang yang telah lama menunggu akan mengambilnya. Saat itu janjiku telah terpenuhi.

Ada urusan apa kakeknya harus mengembalikan lingga itu ke gunung Lawu masih menjadi misteri bagi Bayu. Kakeknya banyak mempunyai koleksi benda-benda antik di rumah. Setelah meninggal dunia, semua benda pusaka itu dirawat Ayahnya. Namun ayahnya hanya menyimpan benda-benda itu seperti koleksi barang antik. Barulah ketika Bayu tertarik membuka beberapa buku-buku lawas yang ditulis kakeknya, ia tak sengaja melihat sebuah pesan yang tertindih sebuah batu lingga.

Bayu menyangka ayahnya juga melihatnya. Lagi pula benda itu mirip dengan alat kelamin pria yang agak mencolok karena berwarna hitam. Anehnya Bayu tidak merasa heran ayahnya begitu saja melepaskan dirinya pergi ke puncak Lawu ini. Bayu berpikir Ayahnya malah sudah tahu tentang pesan ini.

Hal ini membuat Bayu sempat bertanya-tanya selain memang ada dorongan untuk kembali ke gunung Lawu ini sejak terakhir kali naik gunung saat kelulusan SMA itu. Pesan kakeknya itu juga membuat Bayu berpikir, apakah kakeknya sudah merencanakan jauh hari cucunya menjadi ‘duta Lingga’ ke gunung Lawu ini. Satu hal lagi, ia juga ingin membuktikan kepada Mamanya, ia tidak seperti yang dikhawatirkan Mamanya yang cenderung terlalu berlebihan.
***
Satu jam berjalan dari Sendang Drajat, Bayu berhasil menginjakkan kaki di Argo Dalem. Bayu bergegas mengetuk pintu warung Mbok Yem yang tampak tertutup rapat dengan terpal, menjaga dari derasnya terpaan kabut. Tak lama kemudian seorang lelaki berselempang sarung dan memakai ketu tebal membukakan pintu.

“Sendirian saja?” Matanya melihat-lihat ke kiri kanan Bayu, betul-betul tak ada siapapun selain Bayu sendiri.

“Iya Pak,” jawab Bayu sambil menahan gigil di puncak ini.

“Wah berani sekali. Ayo silakan masuk. Cuacanya lagi tidak bagus.”

Bayu segera masuk dan bergegas menghampiri perapian yang menyala. Di dalam Mbok Yem tersenyum ramah mempersilakan Bayu. Bayu berpikir raut muka Mbok Yem tak berubah sama sekali sejak terakhir ia melihatnya ketika SMA. Mungkin memang orang yang tinggal di gunung itu lebih awet muda ketimbang orang yang tinggal di perkotaan. Di sini segalanya lambat dan tenang berbeda dengan atmosfer kota yang cenderung sibuk dan ramai hingga membuat orang cepat stress, pikirnya.

“Siapa nama kamu Nak? Nekat sekali ke puncak Lawu sendirian dengan cuaca buruk seperti ini?” tanya Mbok Yem sambil melinting tembakau untuk rokok.

“Nama saya Bayu, Mbok. Dari Jakarta,” jawab Bayu ringan sambil senyum.

“Betul-betul nekat kamu ini. Sudah pernah ke sini dulu? Tentunya ke sini bukan kebetulan berlibur kan?”

“Iya Mbok. Dulu pernah ke sini sama temen-temen,” jawab Bayu meringis, merasa kasihan dengan rasa khawatir yang diungkapkan blak-blakan oleh Mbok Yem.

Bayu ingin menjelaskan tentang tujuan utamanya ke puncak Lawu ini, namun keburu anak Mbok Yem, menyela dengan menyodorkan kopi berikut mie rebus. Rasa lapar Bayu tak sabar untuk menyantap semua itu. Mbok Yem juga tak banyak bertanya lagi, ia mempersilakan Bayu menikmati makanan dan menghangatkan diri di depan tungku.

Bayu menikmati semua sajian itu dengan lahap. Perutnya ternyata juga sangat baik mampu menampung semua makanan yang disuguhkan anak Mbok Yem, Mas Yatno. Hingga rasanya Bayu menjadi malu sendiri karena semua makanan itu ludes tanpa tersisa sama sekali.

Mbok Yem dan Mas Yatno hanya tersenyum saja dengan hal itu. Mereka maklum bahwa tamunya memang sangat lapar.
Semakin malam udara makin dingin menusuk tulang. Malam itu percakapan mereka tak banyak. Mbok Yem lebih awal masuk ke dalam biliknya yang rapat, sementara Mas Yanto, rewang Mbok Yem hanya bergelung di sudut seperti seekor kucing.
Bayu sendiri nyaris terjaga sepanjang malam karena kedinginan. Ia terus menghadap tungku sambil mendekatkan tangannya pada api yang menyala dua puluh empat jam itu. Kalau hampir mati, kayu kembali dimasukkan ke dalamnya. Berkat adanya tungku itu ruangan tetap hangat.

Mbok Yem bangun saat tengah malam itu. Bayu mengira itu memang sudah kebiasaan para orang tua, yang sebentar-bentar mudah terbangun. Orang jawa menyebutnya nglilir, atau terjaga dari tidur malam.

“Masih kedinginan?” tanya Mbok Yem bersimpati.

“Iya Mbok. Dingin sekali. Berapa derajat suhunya ya?”

“Itu ada termometer ditempel di pilar. Biasanya dingin seperti ini sekitar lima derajat celcius.”
Hening sejenak. Mbok Yem asyik kembali melinting rokok. Mungkin untuk menghangatkan badan, kalau memang benar rokok bisa menghangatkan badan.

“Mbok boleh tanya letak Argo Dumuling itu dimana?” tanya Bayu mengisi keheningan itu.

“Oh, mau ke Argo Dumuling to?”

“Iya Mbok. Saya harus ke sana.”

“Tidak jauh, dekat dengan Pasar Setan . Puncak bukit yang terlihat menaranya itu. Kamu bisa melihatnya ketika cuaca terang dari puncak Lawu.”

“Berapa jauh jaraknya, Mbok?”

“Kamu sudah tahu Pasar Setan belum?” tanya Mbok Yem sambil mengamati raut muka Bayu yang penuh rasa ingin tahu yang bengal.

“He he he.. belum tahu Mbok,” jawab Bayu sambil meringis.

“Tempatnya sekitar dua ratus meter sebelah timur Argo Dalem , berupa lembah batu-batuan. Cukup mudah jalannya karena ada jalan setapak yang bisa dilalui. Terus dari Pasar Setan kamu bisa berjalan ke timur lagi sekitar lima ratus meter dan naik bukit kecil yang ada menaranya itu. Sebenarnya mau apa ke Argo Dumuling, kalau boleh tahu, Nak?”
Bayu mengambil lingga itu dari dalam tas carriernya. Ia mengangsurkan benda hitam itu pada Mbok Yem yang sedang merokok.

“Ini Mbok. Sebuah batu lingga. Saya tidak tahu persis tentang batu lingga ini. Apa Mbok mengetahui kegunaan batu ini?”
Mbok Yem mengernyitkan dahi setelah mengamatinya.

“Kenapa Mbok?”

“Batu Lingga ini adalah simbol kelamin laki-laki, simbol kesuburan. Batu ini dulu banyak berada di puncak Lawu ini digunakan semacam ritual meminta kesuburan para para peziarah di gunung Lawu ini. Siapa yang memberikan ke kamu?”

“Sebenarnya bukan diberikan. Tapi saya ada pesan dari kakek saya untuk membawa batu ini ke puncak Argo Dumuling dan meletakkan batu itu di sana.”

Mbok Yem mengernyit tajam. “Kakekmu pasti orang sinting, menyuruh cucunya pergi ke puncak gunung untuk hal semacam ini.”
Bayu tak mengetahui makna pernyataan itu.

“Siapa nama kakekmu?”

“Wiryo Sentanu, Mbok.”

“Aku merasa pernah mengenal nama itu. Tampaknya dulu ia cukup dikenal para peziarah di tempat gunung Lawu ini.”
Bayu entah mengapa merasa bangga.

Mbok Yem mengembalikan batu itu. Bayu kembali memasukan ke dalam ransel.

“Berhati-hatilah kalau ke sana nanti. Tempat itu bukan untuk piknik!” pesan Mbok Yem sambil menatap tajam Bayu.
***

Sebelum matahari terbit Bayu berkeras melanjutkan perjalanan. Ia pamit kepada Mbok Yem dan Mas Yatno yang ternyata sudah bangun duluan. Ia keluar dengan merapatkan jaket di badan, disambut kabut luruh yang begitu tebal.

Ketika sudah berjalan hampir kepayahan sampai di Pasar Setan, Bayu mendapati pemandangan hamparan bebatuan seperti yang diceritakan Mbok Yem. Batu-batu itu memang terlihat berserakan, tapi juga bukan tanpa struktur. Ada beberapa mitos di tempat ini, semisal tiba-tiba ada suara tanpa wujud yang menanyakan mau beli apa, dan orang yang ditanya itu harus membuang duit berapa saja. Konon jika melakukan hal itu niscaya di dalam tasnya akan banyak uang dari dunia gaib.

Namun tentu saja Bayu melewati semua itu dan mengabaikan atmosfir aneh yang sempat memengaruhi dirinya di Pasar Setan itu. Ia memilih terus berjalan untuk menuntaskan misinya, hingga akhirnya ia sampai di bukit Argo Dumuling dengan terengah-engah.
Setelah berkeliling akhirnya Bayu melihat batu besar yang dicarinya itu, yang berada di tubir jurang. Perasaannya lega tugasnya hampir selesai.

Bayu segera menghampiri batu itu dan membuka tasnya. Diletakkan batu itu di tengah batu yang besar itu sambil menyaksikan pemandangan lepas jurang yang mengangga di bawahnya. Menakjubkan sekaligus menegangkan!

Sungguh, berdiri di atas batu itu ia serasa diserbu seribu sensasi rasa ngeri bercampur kekaguman memandang hijau lazuardi ciptaan Allah Yang Maha Kuasa ini. Perasaan ini tak akan tergantikan oleh apapun, bahkan ia akan terima dimarahi Ibunya bila tahu tentang hal ini. Ya, tapi tentu saja ia tak akan menceritakan hal ini, khawatir Ibunya bisa pingsan di tetap, pikir Bayu sambil senyum.

Namun seketika lamunan Bayu pecah. Tubuhnya tersentak ke depan hampir terpeleset terjun ke jurang. Entah darimana, angin berhembus kencang tiba-tiba. Kalau ia tetap berdiri sangat mungkin sekali tubuhnya yang kecil akan terbanting ke jurang yang mengangga. Karena itulah Bayu terus merunduk, waspada, menyadari banyak para pendaki yang sudah tewas di gunung ini yang penyebab salah satunya karena badai kabut seperti ini!

Bayu berusaha merangkak turun dari batu. Tak ingin tubuhnya terhempas ke jurang yang dalam itu. Ia bertahan dengan telungkup ke rumputan dan tak bergerak entah berapa lama hingga badai benar-benar reda. Sedetik waktu saat itu seakan berjam-jam lamanya.

Akhirnya badai berlalu. Bayu mengucap syukur dirinya selamat tak kurang suatu apa. Namun seketika ia terkejut melihat batu Lingga hitam itu sudah lenyap dari tempatnya penuh keanehan. Padahal saat itu tak ada orang yang datang. Tak mungkin pula angin mampu membawa batu itu terbang seperti menerbangkan kertas yang ringan. Saat bingung memikirkan semua itu jantungnya hampir saja copot ketika mendengar seruan keras dari belakangnya.

Bayu mengenali suara Mbok Yem.

“Kau tak apa-apa, Nak?”

“Tidak apa-apa Mbok. Badainya sudah lewat.” Bayu merasa lega Mbok Yem datang.

“Syukurlah! Kakekmu pasti orang sinting. Dahulu ia pernah mengadakan perjanjian dengan Sunan Lawu dan hampir saja menjadikan dirimu sebagai wadal . Aku baru ingat itu dan langsung berlari ke sini tanpa berhenti sama sekali.”

Bayu mendengarkan cerita Mbok Yem dengan seksama. Ternyata batu Lingga simbol kelamin dan kesuburan itu dipakai oleh para peziarah kuno yang hendak mencari anak atau lebih tepatnya meminta dianugrahi kesuburan. Tentang hal ini Bayu ingat bahwa dia baru dilahirkan setelah ayah ibunya menikah selama sepuluh tahun. Selama itu ia mendapat cerita dari kakeknya bahwa orang tua mereka sangat putus asa karena tak segera mendapat momongan. Dan karena itulah juga betapa Mamanya kadang sangat berlebihan sekali menjaga agar ia tak pergi kemanapun karena ia anak satu-satunya yang diperolehnya dengan susah payah.

“Sekarang sudah selesai. Kau tak apa-apa. Setelah batu lingga itu kembali kepada pemiliknya tak akan ada gangguan lagi padamu. Kaupun tak usah khawatir, apalagi dengan berpikir bodoh mengira dirimu adalah anak hasil perjanjian dengan Jin Sunan Lawu. Semua itu hanya mitos isapan jempol belaka. Orang mengira mendapatkan anak karena pertolongan Sunan Lawu. Tapi tidak, semua itu karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Bayu mengangguk paham pada penjelasan Mbok Yem. Ia pun tak pernah merasa dirinya lebih buruk dari siapapun walaupun ia anak tunggal ontang-anting yang terlalu dimanja oleh Ibunya.

Mereka pun segera kembali ke warung.

“Saya akan langsung turun saja Mbok,” kata Bayu saat mereka sampai di warung.

“Jangan turun sendiri? Biar Yatno menemani kamu sampai ke Cemoro Sewu.”

“Tidak usah, Mbok. Malah jadi merepotkan nanti.”

“Tidak apa-apa. Aku pernah kenal baik dengan kakekmu. Jadi anggap saja ini demi hubungan baik kami,” kata Mbok Yem sambil tersenyum.

Bayu tak dapat menolak. Sebentar Yatno keluar dari warung sambil membawa keranjang bambu yang digendong di punggungnya. Lelaki itu hendak turun untuk berbelanja ke pasar Tawangmangu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s