dimuat di Lombok Post 11/6
Farida menangis lagi. Tersedu-sedu sampai terguncang. Hingga tangan Ayahnya memegang pundaknya. Ayahnya keluar dari mobil tak tega demi melihat pemandangan yang menghibakan itu.
“Ayo kita pulang, tak baik menangis di kuburan.”
“Aku hanya ingin mengadukan semua kesedihan ini Ayah.”
“Kubur ini tak akan bisa memberi jawaban. Ayo kita bicarakan ini di rumah. Tak ada masalah yang tak punya jalan keluar.”
Kata-kata Ayahnya bagi cambuk bagi Farida yang sudah tenggelam dalam kesedihan itu. Ia masih mengusap air matanya ketika mengikuti Ayahnya ke dalam mobil.
Sepulang dari kuburan, Pak Rosidi memanggil istri dan kedua adik Farida yang lain. Aji masih kuliah di kedokteran dan Umi masih di semester pertama psikologi. Farida, adalah anak tertua. Ia menikah dengan Rustam, lelaki yang hobi bercocok tanam itu. Farida agak buruk rupa. Bibirnya sumbing. Itulah salah satu hal yang membuat seluruh keluarga bahagia ketika Rustam yang polos dan lugu itu mau mempersunting Farida. Tetapi kebahagiaan Farida hanya seumur jagung. Ketika Rustam pulang dari sawah dengan sepeda motornya, sebuah bus keparat menabrak dan meninggalkannya sekarat di tengah jalan. Rustam mengalami pendarahan hebat di kepala. Kemungkinan sembuh sedikit sekali. Andaikata sembuh, ia pasti mengalami gegar otak parah.
Barangkali Farida harus rela karena Rustam pergi selamanya. Namun betapa amat terasa kehilangan hal itu bagi Farida. Ia tak bisa menghapus kesedihannya. Seminggu sesudah kematian Rustam, ia terlalu sering menengok ke kuburan. Hingga kali ini Ayahnya terpaksa memaksanya pulang. Biasanya adiknya yang diajak Farida, tapi mereka mengeluh karena Farida hanya tersedu di depan nisan selama berjam-jam. Menurut kedua adiknya hal ini tak masuk akal. Orang mati toh tak bisa mendengar. Dan orang mati tak akan bisa membantu masalah kakaknya sekarang.
Kini, persoalan itu diangkat di ruang keluarga. Persoalan sebenarnya bahwa Farida sekarang menjadi janda. Apakah ia akan menikah lagi ataukah ia akan menerima status janda itu dan terus bersedih mengenang masa lalu. Dan fakta yang juga tak bisa dihilangkan, Farida masih tetap si Farida sumbing yang tak mudah mendapatkan pengganti Rustam.
“Ayah minta kalian berkumpul di sini karena Ayah ingin mendengar saran kalian untuk kebahagiaan kakak kalian.”
Semua orang menengok pada Farida. Sebaliknya Farida malah menangis, membuat orang lain merasa kesal, seolah kakaknya itu memang minta dibelasi, sebuah hal yang agak berbeda dengan masa lalunya sebelum menikah. Kakaknya dulu adalah orang yang periang dan senang bekerja keras. Tapi sekarang ia lembek. Cinta pada sisi yang paling jelek teleh mengubahnya sedemikian rupa.
“Kita harus memahami kesedihan kakakmu.”
“Masalahnya tak ada lagi orang seperti Rustam Ayah,” kata si Sulung yang kuliah di kedokteran itu. “Maksudku, kakak harus menyadari bahwa hanya ada satu Rustam dan dia sudah meninggal. Ia harus merelakan dan menikah mencari pria lain.”
Pak Rosidi menghela napas. “Aku juga setuju kakakmu menikah lagi. Barangkali dengan begitu kesedihannya hilang. Aku sudah tua. Dan Ibumu juga. Serta kalian juga sangat sibuk masing-masing. Barangkali jika ada suami yang menjaganya maka ia akan baik-baik saja.”
Semua orang kini melihat Farida yang tangisnya sudah reda.
“Ayah bisa menanyai kakak langsung,” kata si Sulung lagi.
“Bagaimana Farida? Apakah kau ingin menikah lagi. Kami bisa membantumu mencarikan lelaki yang mau jadi suamimu.”
Farida mengelap air matanya. Lantas ia mengangguk memberi jawaban.
Pak Rosidi kembali melihati anak-anaknya.
“Bagaimana, apakah ada kalian yang bisa mencarikan calon suami bagi Farida?”
Si Sulung menggeleng. “Rata-rata temanku belum mau menikah, Yah.”
“Bagaimana dengan kau?” tanya Pak Rosidi kepada si Umi.
“Ayah temanku kebanyakan perempuan. Aku tak ada kandidat.”
“Ayah apa tidak ingat dengan si Bejo itu?” Bu Rosidi menyela.
“Bejo siapa Bu? Dia tinggal di kampung ini?”
“Bukan. Itu si anak yang pernah jadi sopir Bapak dulu itu.”
“Tapi, dia itu Ayah usir karena pernah mencuri uang Ayah.”
“Tapi masalahnya Ayah sengaja menaruh uang itu sembarangan kan? Dan dia bilang khilaf soal itu.”
“Alah, itu kan alasan dia saja. Dia juga merokok.”
“Ini bukan soal merokok atau tidak. Ini demi kepentingan Farida.”
“Lho kok bisa, mentang-mentang anak kita tidak laku, terus kita nikahkan dengan siapa saja, tak peduli asal usulnya begitu.”
“Bukan itu masalahnya Pak. Lagi pula dia kan dulu juga dekat dengan Farida. Ibu lihat Farida juga senang dekat dengannya.”
“Tapi dia sekarang sudah menikah, lho Bu,” kata Umi.
“Aku dengar kabar dia sudah cerai. Nanti Ibu akan tanya pada Bu Supiah, tetangga sebelah itu yang dulu mengantar Bejo kemari.”
***
Jadilah esoknya Bu Rosidi menanyakan hal itu pada Bu Supiah, tetangga sebelah rumah yang punya jasa mencarikan pembantu bagi warga perumahan.
“Katanya sih sudah cerai bulan kemarin, Bu,” kata Bu Supiah.
Bu Rosidi menganggap itu hal bagus. Ia segera melaporkan temuan itu pada suaminya.
“Itu kan tanda bagus Pak. Artinya dia sudah sendiri lagi dan bisa menikah dengan Farida.”
“Tanda bagus gimana Bu. Bisa saja karena Bejo itu berbuat kasar pada istrinya lalu bertengkar, kemudian rumah tangga mereka bubar!”
“Ah, tidak mesti begitu kan, Pak. Bapak saja yang terlalu berprasangka buruk. Kita melihatnya dengan sudut pandang yang positif saja. Siapa tahu seorang duda lebih dewasa dan bijaksana kepada keluarganya karena sudah mengenyam pengalaman.”
“Tapi apa Ibu sudah memastikan kalau dia tidak punya anak?”
Bu Rosidi sejenak ragu. Ia lupa menanyakan hal itu.
“Kelihatannya belum Pak.”
“Bener Ibu?”
Bu Rosidi mengangguk walaupun ia juga ragu. Tapi hal itu nanti bisa diatur, pikirnya.
Akhirnya mereka berdua mendatangi rumah si Bejo itu. Rumahnya di desa sebelah. Ia bekerja sebagai buruh bangunan dan sekarang tinggal sendiri. Ketika sampai di sana, rumah itu sepi. Bu Rosidi menanyakan pada tetangga.
“Biasanya cari makan di warung Bu. Kalau mau tunggu biar si Upik yang memanggilnya.”
Mereka bersedia menunggu. Kemudian si Upik pulang membawa si Bejo dengan rokok terselip di telinga. Pak Rosidi agak benci dengan pemandangan itu.
“Ah, Pak Rosidi. Tumben, ada apa?”
Setelah berbasa-basi yang panjang, Bu Rosidi terpaksa mengambil inisiatif hal itu.
“Kalau berkenan, kami ingin menyampaikan permintaan.”
“Bapak ingin saya bekerja di sana lagi?”
“Itu kalau Nak Bejo bersedia.”
“Ya, jelas maulah Bu.”
Pak Rosidi meringis.
“Dan ada satu lagi. Kalau Nak Bejo mau, kami ingin menawarkan Farida pada Nak Bejo.”
“Bukankah Farida sudah menikah, saya dengar dari Bu Supiah.”
“Suaminya meninggal. Dan saya juga dengar dari Bu Supiah kalau Nak Bejo baru saja bercerai. Siapa tahu bisa berjodoh.”
Si Bejo tersenyum lebar. Pucuk dicinta ulam tiba. Tak pernah ia membayangkan bisa mimpi seindah ini.
“Apakah Nak Bejo setuju?”
“Tentu… tentu! Mengapa tidak.”
Begitulah. Begitu mudah. Akhirnya pembicaraan dilakukan. Tanggal pernikahan ditetapkan. Pernikahan kedua itu akan dilangsungkan dengan sederhana. Dan bahkan Farida kini diberi rumah sendiri dengan Bejo dan sepetak kebun di belakang rumah untuk ditanami sayuran atau kebun pisang.
Farida terlhat bahagia. Ia sepertinya melupakan kesedihannya. Ia juga tak keberatan dengan calon suaminya sekarang. Mungkin karena ia sudah kenal sebelumnya. Bejo juga tampak ringan saja. Mungkin karena ia dipinang, bukan meminang. Artinya, ia tak perlu mengeluarkan uang banyak.
Tinggal di rumah sendiri yang lebih baik membuat senang Bejo. Farida mencoba meladeni suaminya dengan sebaiknya. Bahkan kini bayangan Rustam petani sederhana itu hilang. Sekarang rumah itu dipenuhi dengan bayangan suaminya yang baru. Bejo yang berkumis tebal. Bejo yang senang bermain gitar. Bejo yang senang merokok. Dan Farida jatuh cinta dengan mudah pada Bejo. Apa sebab, karena Bejo paling senang merayu Farida.
“Ah, kau istriku yang cantik. Apa kau tidak kasihan dengan aku ini. Mulutku kecut kalau tak merokok. Apakah kau tak punya simpanan sedikit saja. Aku ingin beli rokok. Nanti kalau aku dapat kerja dan uang, akan kukembalikan.”
Farida tak tahan dirayu begitu. Ia membuka lemarinya, memberikan lembaran seratus ribu.
“Ini Abang belilah rokok dan tak usah berlama-lama di warung. Aku ingin Bang Bejo bermain gitar buat Farida.”
Si Bejo tersenyum lebar hampir mirip seringai. Ia berhasil mendapatkan yang ia inginkan dengan mudah. Hidupnya laksana di surga.
“Tapi Abang ingin bekerja juga sayang. Aku tak ingin Ayahmu menilai kalau menantunya tak bekerja.”
“Baiklah, tapi pulang lekas kalau sudah selesai. Aku siapkan air panas untuk mandi dan sop ayam yang lezat.”
Dengan langkah ringan Bejo pergi ke warung. Di sana seharian ia main gaple, bekal uang dari istrinya. Kalau menang, ia lanjutkan minum-minuman. Tapi kalau kalah ia segera kembali mencumbu ketiak istrinya agar dapat uang lagi.
Begitulah, Farida bahagia karena ia bodoh dan mencintai seorang yang membodohinya. Hanya saja Bu Rosidi dan Pak Rosidi harus mendapatkan getahnya karena memilih menantu yang salah. Untuk pertama kali dalam hidup, Bu Rosidi dan Pak Rosidi merasa tergesa menjadi orang tua yang baik untuk anaknya.
gambar diambil dari sini