Air Mata Orang Tua teruntuk Anaknya

dimuat di Solopos

Sanyoto melihat malam ini cuaca terang. Langit bersih. Kelihatannya ia bisa mengeluarkan becaknya malam ini. Tubuhnya masih bisa dipaksa. Demi kontrakan dan yang terpenting bisa membayar uang syahriah (uang bulanan) anaknya yang di pondok. Yang terakhir ini ia harus prioritaskan lebih dari yang lain. Baginya anak adalah investasi dunia akhirat.

Sanyoto salin baju tebal. Kaos kaki panjang ia pakai. Handuk kecil terlilit di leher. Untuk berjaga-jaga ia juga mengantongi balsem di saku.

Sanyoto biasa mengetem di perempatan Papahan. Terkadang masih ada satu dua penumpang saat malam begini. Lumayan, bisa buat tambahan membeli lauk. Namun, akhir-akhir ini pendapatannya berkurang. Tukang becak kalah bersaing dengan ojek online atau taksi yang bersliweran. Untunglah sesekali ada saja penumpang yang minta diantar ke PKU Muhammadiyah itu.

Khusus untuk orang yang ingin ke PKU, entah itu menjenguk orang sakit atau menunggu pasien, Sanyoto tak pernah menarik tarif. Mau dikasih berapa saja ia mau. Alhamdulillah, cara ini membuatnya tidak kemaruk. Toh, rejeki sudah diatur.

Sanyoto sudah hampir sampai di tempat biasa ia ngetem. Dia menyebrang agak lama karena kondisi tubuhnya yang masih belum sehat benar. Kawannya tukang becak yang lain, Parjo, ternyata tidak ada. Kata Yu Darmi, bakul sate lontong lesehan itu, Parjo sedang punya hajat mengkhitankan anaknya.

“Sudah kelas enam, anaknya pengin disunat,” ujar Mbok Darmi yang sibuk mengemasi dagangannya.
Sanyoto ingat kemarin saat ngobrol dengan Parjo. Soal anaknya yang sudah minta khitan dan niatan Parjo menyekolahkan anak semata wayangnya itu ke pondok. Biar anaknya punya landasan agama yang baik. Kalau di sekolah umum, kurang banyak porsinya, cerita Parjo.

“Mbok Darmi, saya bisa titip ya mbok? Sebentar…”
Sanyoto bergegas turun dari becaknya menuju ke sebuah warung kelontong. Di sana ia membeli amplop. Setelah itu uangnya yang hanya selembar lima puluh ribu itu ia masukkan di amplop. Sedianya uang itu untuk nambah biaya kontrakan. Tapi, mas Parjo yang mengkhitankan anaknya lebih membutuhkan. Biar bisa diberikan hadiah untuk anaknya walaupun tak seberapa.

“Ini Mbok, titip buat anaknya mas Parjo ya.”
“Ya, nanti tak sampaikan. Saya duluan, nggih…”
“Sudah habis ya, Mbok?” tanya Sanyoto.
“Alhamdulillah, habis tidak habis ya disyukuri, mas. Ini sudah waktunya pulang. Dibagi sama yang di rumah …”
Sanyoto tersenyum. “Nggih Mbok. Leres .”

Sanyoto duduk di jok penumpang agar tidak banyak kena angin. Ditunggunya penumpang dengan sabar. Satu jam berlalu hingga kendaraan yang melintas makin jarang.

Sanyoto jadi melamun. Ia jadi ingat si Salim anaknya yang ia sekolahkan di pondok yang telat bayaran bulanannya. Awalnya teman-temannya menyarankan untuk sekolah di negeri saja. Gratis, tidak ada uang bulanan. Tapi, Sanyoto bertekad menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren.

“Lha, kalau lulus nanti mau jadi apa? Cari pekerjaan sekarang itu makin sulit lho, To? Mau jadi mubaligh kalau nggak lucu, ya nggak laku.”

Sanyoto ingin anaknya jadi ustadz yang mengajar agama. Tidak terkenal tidak masalah. Soal makan, kalau mau bekerja apa saja pasti bisa. Yang penting halal.

Lamunan Sanyoto buyar ketika sebuah taksi berhenti tidak jauh dari becaknya. Seorang laki-laki turun. Orangnya tinggi besar. Raut mukanya bersih dan halus milik orang kaya.

“Mangga pak. Nitih becak….” tawar Sanyoto.
Orang kaya itu berkenan naik.

“Antar saya ke Nglano.”
“Nggih. Bismillah…” ucap Sanyoto mulai menggenjot pedalnya. Selama perjalanan sang penumpang lebih sibuk dengan hapenya. Sanyoto mengawasi jalan, menjaga agar tidak terjatuh pada lubang.
Sampai di perempatan Nglano, Sanyoto memutuskan bertanya.
“Nglanonya sebelah mana pak?”
“Komplek wetan pasar ya!”
“Maksud Bapak…?” Sanyoto mengernyitkan dahi.
“Ya, saya mau diantar ke lokalisasi Dangkrong itu! Apa sampeyan punya bisa carikan gendhuk yang bagus. Nanti saya tambahi bonus.”

Glek! Naudzubillah. Sanyoto merasakan tenggorokannya tiba-tiba kering.

“Tidak pak. Saya sama sekali tidak pernah ke sana,” pungkas Sanyoto.

Sanyoto kian ragu dirinya akan mengantar orang ke komplek pelacuran. Ragu dengan status uang yang akan ia terima? Lantas, apakah ia tega keluarganya akan diberi makan dari upah jasa semacam ini?

Sanyoto teringat biaya kontrakan. Teringat biaya sekolah anaknya yang di pondok.

Memasuki lokalisasi Dangkrong itu becak berjalan di antara rumah-rumah petak berjajar. Musik dangdut mengalun dari sebuah warung tempel. Tampak beberapa pemabuk duduk terbahak-bahak di depan kamar yang remang-remang lampunya.
“Berhenti sini saja.”

Becak berhenti. Sanyoto mengangkat roda belakang agar penumpangnya lebih mudah turun.
“Kembaliannya ambil saja,” si penumpang mengulurkan lima puluh ribuan.
Sanyoto hanya melihati uang lima puluh ribu itu. “Maaf pak. Saya tidak bisa menerima.”
“Maksudmu kurang?”

Uang itu menjadi tujuh puluh lima ribu. Sanyoto masih menggeleng.

“Ini kubayar dua kali lipat. Seratus!” Lelaki itu terlihat kesal.

“Maaf, saya tak bisa menerima uang bapak,” lagi jawab Sanyoto kali ini langsung berbalik mengangkat ekor becaknya. Tak dihiraukan lelaki yang termangu itu. Bukan, apa-apa. Ia takut dengan godaan untuk menerima uang lelaki itu. Ya, dirinya bukan sok suci. Tapi, kalau berlama-lama di situ, akhirnya ia akan menerima uang itu juga. Jadi lebih baik ia lari saja dari tempat itu.

Sanyoto terus menggenjot ontel becaknya hingga napasnya ngos-ngosan. Ia berharap sakit demamnya sirna seiring keringat yang membanjir ini, harapnya.

“Tin…tinnnn….”

Tiba-tiba suara klakson sepeda motor membuatnya terkejut. Aneh,ia merasa sudah di pinggir. Ditengoknya ke belakang agar yakin.

“Berhenti pak!” teriak seorang tukang ojek.
Sanyoto kenal tukang ojek yang biasa mangkal di dekat Dangkrong itu. Dan di belakangnya sosok penumpang yang usai mbecak padanya dan barusan ia tolak uangnya itu.
Lhadalah! Apakah lelaki itu marah padanya?
Sanyoto mengerem becaknya. Tukang ojek itu berhenti di sisinya. Si penumpang turun sambil membayar ongkos si tukang ojek.

Sanyoto menunggu-nunggu gerangan apa yang terjadi.
“Boleh saya naik becak bapak lagi,” tanya lelaki aneh itu.
Sanyoto tidak paham. “Mau kemana lagi pak?”
“Antar saja saya ke penginapan yang lain.”
“Kenapa tidak naik ojek sekalian tadi.”

“Tidak, karena saya ingin bicara lagi dengan sampeyan.”

Sanyoto tidak paham. Tapi, lelaki itu tiba-tiba sudah naik. Sanyoto terpaksa menggenjot.
Baru sepuluh kali genjotan penumpang itu akhirnya bicara, tepatnya bertanya mengapa menolak uang yang ia berikan.
“Saya minta maaf kalau sikapnya saya tidak berkenan, pak.”

“Tapi mengapa uangnya tidak sampeyan terima?”

Sanyoto menjelaskan mengapa ia terpaksa menolak uang itu. Dirinya bukan sok suci. Bahkan, sebenarnya ia sedang butuh uang. Tapi, ia ingin uang nafkah keluarganya dan yang ia niatkan untuk biaya sekolah anaknya di pondok itu berasal dari rejeki yang thayib. Artinya, tidak sekadar halal, tapi juga dari sumber yang baik.
Becak Sanyoto akhirnya berhenti di sebuah losmen. Seorang satpam yang ramah menyambutnya dengan membuka pintu gerbang.

Sang penumpang itu turun.

“Berapa pak?”

Sanyoto tersenyum. “Seikhlasnya Bapak saja.”

Lelaki itu tersenyum. “Saya salut dengan prinsip sampeyan, meski sampeyan seorang tukang becak. Dan ini saya titip buat anaknya yang di pondok ya…Sudah, jangan ditolak!”

“Tapi pak? Ini banyak sekali…?”

“Tidak apa. Uang saya yang di tas masih banyak. Jangan khawatir soal kehalalannya.”
Sanyoto merasa bungah tidak bisa terkatakan.

“Sebenarnya apa yang Bapak lakukan pada saya sudah sangat berarti. Mencegah saya tidak jadi pergi ke tempat pelacuran dan saya senang sampeyan tidak perlu berkhotbah pada saya…” ujarnya dengan senyum.

Sanyoto malah bingung. Uang enam ratus ribu itu ia pegang dengan gemetar. Ya, ia belum pernah menerima uang sebanyak ini secara cuma-cuma.

“Alhamdulillah… semoga Gusti Allah memberi balasan yang lebih banyak pada Bapak..”

Lelaki itu berlalu. Sanyoto terbayang uang kontrakan.Terbayang uang bulanan anaknya yang sekolah di pondok. Udara terasa mengelus keringat di tengkuknya dengan lembut. Gusti Allah ora sare! Alhamdulillah.
***
Salim tampak kesal karena dihukum membersihkan deretan WC santri. Ia tidak terima dengan hukuman itu. Bukannya dipuji karena mampu mendebat argumen pak Kyai, tetapi ia malah disuruh membersihkan WC kotor. Bukan itu saja, sudah dua kali ini ia membersihkan menggosok WC, tapi menurut pak Kyai masih harus diulang lagi. Ini pelecehan.
Salim tak dapat bersabar lagi. Sikat pel yang ia pakai menggosok closet berdentang ia lemparkan ke tong tempat sampah. Sengaja ia lakukan. Ia tidak terima mengapa santri berprestasi seperti dirinya disamakan seperti pelanggar peraturan.

Masih dengan alunan kemarahan di dadanya, Salim ngeloyor pergi dari kamar mandi tempat ia dihukum itu. Namun, baru beberapa langkah, wajah pak Kyai yang berwibawa tiba-tiba dengan cepat sudah muncul di depan hidungnya.
Salim sudah bersikeras ingin protes. Menurutnya hukuman itu tidak adil.

“Apa sudah selesai hukuman kamu, Salim?” Suara pak Kyai yang dalam mencekam Salim.

“Su..sudah Ustadz. Tapi, saya tidak terima…”

“Maksudmu?”

“Saya tidak terima dihukum dengan cara begitu, Ustadz.”

“Baik, kalau masih tidak terima. Aku tambahi hukuman kamu dengan karantina di penjara malam ini!”
Tercekat Salim. Mau membantah, tak ada satu patah kata yang keluar.

“Dan satu hal lagi, pikirkan mengapa kamu itu dihukum dengan cara membersihkan WC. Jika sudah tahu jawabannya kamu bisa temui aku.”

Pak Kyai berbalik. Salim menahan kemarahannnya. Dengan rasa kesal makin menggumpal ia seret langkahnya menuju ruangan penjara buat santri pelanggar peraturan pondok.

Penjara itu adalah bekas ruangan kelas. Tidak ada alas apapun. Dindingnya dingin dan hanya berkawat anyaman lebar yang membuat nyamuk leluasa masuk.

Salim duduk menyandarkan punggungnya. Semakin ia marah semakin sosok Kyai sepuh itu menancap dalam otaknya.
***
Di dalam maktabah, Kyai sepuh itu belum meminum kopi buatan bu Nyai. Ia menghela napas panjang dan tak bicara sedari tadi. Istrinya yang hapal perilaku suaminya itu bertanya ada apa gerangan.

“Ada yang panjenengan pikirkan?”

“Kamu masih ingat kali pertama ayahnya Salim datang dengan anaknya itu?”

“Ya, tentu masih ingat. Tekadnya keras sampai mau berhutang untuk biaya mondok Salim.”

“Dan uang angsuran ayahnya itu yang aku suruh simpan, masih ada kan?”

“Masih, saya sendirikan seperti perintah panjenengan.”

“Ya, aku sungguh berharap anak itu masih bisa kerasan di pondok.”

“Lho, ada apa dengan Salim, Kyai? Bukankah, Salim itu anak yang cerdas.”

“Memang anak itu cerdas, tapi ia belum bisa mengendalikan egonya. Akhir-akhir ini dia berambisi mendebat ustadz pengajar. Adabnya sebagai santri mulai terkikis. Hari ini tadi aku hukum dia untuk membersihkan WC. Dan malam ini dia kusuruh merenung di penjara.”
“Maklum dia masih muda, Kyai.”

“Ya, aku berharap dia bisa melampaui egonya sendiri, insya Allah. Aku sungguh berharap banyak pada anak itu. Seperti yang kulihat dulu ketika mereka datang. Memang kusuruh ayahnya itu berhutang, tapi saat itu sudah kuputuskan tidak akan mengambil uang mereka sepeserpun. Insya Allah, akan kuberikan sesudah Salim lulus.”

“Salim itu cerdas. Semoga dia mau berpikir, insya Allah,” timpal Bu Nyai seperti meyakinkan suaminya.
***
Tatkala terdengar suara adzan pertama di pondok, Salim masih belum memicingkan mata. Benaknya meruang tatkala dirinya datang ke pondok ini pertama kali. Karena tak punya uang Ayahnya menyanggupi berhutang pada pak Kyai. Dan sejak saat itulah Salim mengetahui bahwa dirinya harus bertekad menjadi siswa berprestasi. Hasilnya selama dua tahun ini ia sudah melampaui target kelulusan. Lebih dari 200 matan hadits ia hapal. Dua puluh juz Qur’an juga sudah ia setorkan dalam sekali duduk. Ia lakukan semua itu agar orang tuanya tidak menyesal menyekolahkan di pondok yang ayahnya nekad lakukan dengan berhutang itu.

Tapi ia tidak mengerti, mengapa pada dirinya saja pak Kyai begitu keras mengajar. Sering ia dihukum tanpa sebab, membersihkan WC yang kotor atau disuruh menyapu seluruh halaman. Semua hukuman itu terasa tidak relevan. Malah sekarang ia diminta merenungi mengapa ia dihukum dengan cara seperti ini!

Salim menghela napas panjang. Hingga detik ini Salim masih belum menemukan jawaban itu.
Innamal a’malu bin niyat…tiba-tiba terlintas potongan hadits shahih itu entah darimana menyelusup ke benaknya.
Salim menajamkan ingatannya lagi. Itu adalah nasihat pertama kali yang ia dapatkan saat masa taaruf atau masa orientasi di pondok ini. Saat itu, pak Kyai menceritakan bagaimana ulama-ulama salaf berjuang setiap saat menata niat. Bahkan ada seorang ulama yang begitu disegani dan dihadiri ribuan jamaah dalam setiap majelisnya melakukan amalan mencuci WC. Salah satu makna dari amalan itu bahwasanya manusia tak akan bisa mencapai langit kecuali karena ridha-Nya dan sejatinya manusia hanyalah tahi busuk yang lekat di badan.

Salim bercermin pada dirinya. Ia mengakui perilakunya banyak berubah setelah melampau target kelulusan. Ya, sekarang ia sering merasa benar dan suka mendebat para ustadz, seolah lupa bahwa ia telah belajar semuanya dari mereka.
“Astaghfirullah…” Salim menunduk menyadari kesalahannya. Hatinya banjir tiba-tiba. Ia tersungkur ke lantai dengan menetes air mata.

Entah berapa lama saat Salim terisak itu, sejurus terdengar kunci penjara itu terbuka. Salim melihat siapa yang datang dan langsung menubruknya. Ia mencium tangan pak Kyai yang datang mengunjunginya.
“Sekarang kamu sholat Subuh bersama teman-teman kamu,” perintahnya.
“Maafkan saya berlaku ujub selama ini, Ustadz….”

Lelaki sepuh itu mengelus kepala Salim. “Kamu tak perlu minta maaf padaku. Tapi, bersyukurlah kamu punya orang tua yang telah membesarkanmu menjadi seperti ini. Doakan selalu mereka setelah kamu sholat.”
Salim menyeka air matanya, ia mengangguk. “Insya Allah, Ustadz.”

Lelaki sepuh itu beranjak pergi meninggalkan Salim yang menjadi tambah terisak mengingat wajah ayah dan ibunya. Tiba-tiba rindu pada mereka menggedor kencang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s