Meruwat Kemerdekaan Indonesia: Sejahtera Tanpa Korupsi

Kami bangsa Indonesia
dengan ini menyatakan
kemerdekaan indonesia
untuk kedua kalinya!

Hal-hal yang mengenai
hak asasi manusia
utang-piutang
dan lain-lain
yang tak habis-habisnya
INSYA ALLAH
akan habis
diselenggarakan
dengan cara saksama
dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya
Jakarta, 25 Maret 1992
Atas nama bangsa Indonesia
Boleh – siapa saja

Prolog
Sebuah sajak parodi berjudul Proklamasi, 2 yang digubah penyair Hamid Jabbar menjadi cerminan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kita ternyata masih sering sarapan pagi bersama televisi yang menyiarkan berita korupsi yang makin menggurita. Korupsi yang sejatinya menggagalkan makna kemerdekaan yang selalu kita peringati setiap 17 Agustus ini.
Barangkali, kita memerlukan semacam seremonial yang besar. Yang lebih megah dari sekadar peringatan tujuh belasan dan upacara bendera. Kita memerlukan sebuah ritual luar biasa daripada gegap gempita dentuman meriam di istana negara. Kita memerlukan sebuah ruwatan massal, yaitu ruwatan kemerdekaan Indonesia dalam jiwa sanubari sendiri. Ruwatan sejatinya lebih dari merawat, tetapi mengembalikan hakikat dan martabat kemerdekaan Indonesia yang sejati.

Negara Siaga Korupsi
Di negeri yang konon terkenal subur serta gemah ripah loh jinawi ini, entah mengapa korupsi terjadi setiap hari. Kita lantas bertanya, apa yang salah dengan negeri ini?
Sungguh, Indonesia mendapat peringkat ketiga dalam kuantitas kejahatan korupsi yang menyaingi negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada 8 Maret 2010 PERC (Political & Economic Risk Consultancy) menempatkan Indonesia pada ranking pertama dari 16 negara terkorup di Asia Pasifik. Pada periode tahun 2001-2009, jumlah uang yang dikorupsi mencapai Rp 73,07 triliun. Namun total nilai hukuman finansial yang dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. (infokorupsi.com). Selama kurun waktu 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan 17 operasi tangkap tangan (OTT) tersangka kasus tindak pidana korupsi. Hingga yang paling menghebohkan di awal tahun 2017 ini kasus korupsi E-KTP, yang merugikan negara hampir 2,3 trilyun. Bahkan, di tingkat desa penulis sendiri ada indikasi penggunaan Dana Desa (DD) yang tidak tepat. Mulai dari potongan PPH, PPN, dan potongan administrasi lainnya sebesar 16,5 %, yang menyunat bantuan Dana Desa tersebut.
Sungguh mempertanyakan banalitas korupsi adalah seperti menuduh kepada diri sendiri bahwa korupsi telah menjadi milik kita semua. Seperti yang disampaikan oleh Cak Nun, barangkali karena kita terlalu sibuk membangun teknologi eksternal sehingga lupa membangun dengan arif bagian teknologi internal. Jelasnya lagi yang ia maksud dengan term eksternal dan internal dalam konteks korupsi sejalan dengan yang disampaikan oleh Tamrin Amal Tomagola. Dimulai dari hal kecil tatkala kita bekerja tidak sungguh-sungguh atau seorang anak yang khawatir mendapatkan nilai buruk saat ulangan di sekolah, memilih untuk menulis contekan daripada belajar giat. Waham korupsi sejak dini ini jika kemudian menjadi kaidah bersama di kalangan peserta didik, sejak di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Pun korupsi menggagalkan makna kemerdekaan seperti pesan para founding father daripada bangsa ini. Sebagai rakyat kita hanya membayangkan jika uang yang dikorupsi tersebut digunakan untuk investasi, paling tidak hasilnya akan memberi peluang kerja bagi orang miskin dan hasil produksinya dapat mendorong angka pertumbuhan ekonomi.
Data yang diluncurkan oleh BPS BPS (Biro Pusat Statistik) mengenai angka kemiskinan maka kita akan memperoleh informasi bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 berjumlah 31,02 juta orang (13,33 persen). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen. Arti dari semua ini adalah betapa uang yang sejatinya didistribusikan untuk rakyat telah dimakan habis para koruptor bangsat itu!
Ya, begitulah nasib kita. Bahkan ada sebuah anekdot lucu mengisahkan nasib generasi Indonesia di jaman sekarang. Konon, kekayaan kita sejatinya tak akan habis untuk tujuh turunan, namun sayang disayang, generasi kita adalah keturunan ke delapan. Begitulah, sungguh malang nasib kita, baik kekayaan atau kemerdekaan di atas kaki sendiri, itu pun sudah tak kita miliki.

Membangun Gerakan Sosial antikorupsi
Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah menandatangani deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration Of 8th International Conference Against Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan moral masyarakat, mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah. Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta.
Hal ini pulalah yang membuat Presiden Jokowi keroyo-royo mencanangkan revolusi mental kepada bangsa ini, yaitu revolusi yang bertumpu pada tiga nilai, yaitu integritas, etos kerja, gotong royong. Artinya pula, presiden sebenarnya ingin semua warga masyarakat republik indonesia ini harus direvolusi mentalnya. Dan salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk mendukung program revolusi mental berkenaan dengan program antikorupsi adalah gerakan sosial antikorupsi. Gerakan sosial antikorupsi ini harusnya juga diinisiasi oleh semua institusi di negara ini. Entah itu pemerintahan, pendidikan, usaha dan bisnis, ataupun pariwisata misalnya. Pun seyogianya gerakan semacam ini tentu bisa menjadi pioner bagi gerakan-gerakan antikorupsi lainnya. Entah itu mungkin akan dilanjutkan mendirikan sekolah non-formal antikorupsi, membentuk paguyuban petani antikorupsi, mendirikan pengusaha antikorupsi, komunitas aparatnegara anti korupsi, dsb. Dan harapan kita semua kelak gerakan sosial antikorupsi di masyarakat ini bukan sekedar seremonial belaka atau ritual tahunan dalam rangka menyambut HUT kemerdekaan bangsa Indonesia ini.
Masyarakat sebenarnya mengharapkan hukuman yang lebih keras dan tegas terhadap koruptor agar tercipta efek jera. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati bisa dijatuhkan kepada pelaku korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun, dalam Rancangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan tahun 2008, ketentuan hukuman mati bagi koruptor tak dikenal. Sejumlah ketentuan berkaitan dengan ancaman hukuman lebih ringan dari UU sebelumnya.
Mungkin agar wacana hukuman mati kembali mencuat, dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati hendaknya harus dilontarkan kembali seperti Majelis Ulama Indonesia, NU, Muhammadiyah, atau organisasi agama di Indonesia ini agar lebih berperan dalam pemberantasan korupsi. Kisah Nabi Muhammad SAW yang akan memotong tangan Fatimah binti Muhammad seandainya putrinya itu mencuri, bisa menjadi sebuah pembelajaran yang amat berharga bisa disampaikan lewat kultum (kuliah tujuah menit) di masjid atau di saat tabligh akbar agar wacana antikorupsi ini tidak mengendor. Selain juga bagaimana mengefektifkan kembali organisasi keagamaan ini mensosialisasikan pesan sosial antikorupsi dalam setiap kesempatan yang ada.

Epilog
Mungkin malam ini, di hampir di seluruh sudut desa dan kota di Indonesia, sebagian besar warga masyarakat Indonesia sedang menggelar tirakatan malam kemerdekaan. Mencoba menggali makna dan tujuan proklamasi kemerdekaan sekaligus berdoa untuk kemerdekaan yang sejati untuk negeri ini. Dan dalam hening dan khusuk doa, marilah kita sejenak menanamkan pada diri sanubari untuk mewaspadai penyakit korupsi dalam diri kita. Gerakan sosial antikorupsi harus diinisiasi di semua lini. Dimulai dari keluarga harus betul menanamkan sikap selalu bersungguh-sungguh dalam bekerja agar tidak tercipta mental koruptor. Dan dalam ranah bernegara mari kita dukung bersama lembaga pengawas terhadap tindak pidana korupsi (KPK) dan mendukung ormas keagamaan untuk menjadi pelopor yang terus menghasung umatnya untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Barangkali, itulah bentuk ruwatan massal yang diperlukan oleh jiwa bangsa kita yang sakit ini. Ruwatan hati sanubari kita sendiri yang akan memberikan dampak positif bagi lingkungan kita dan utamanya negara Indonesia tercinta ini. Walhasil, kelak kita bisa berharap negara Indonesia ini akan benar-benar menjadi negara gemah ripah, lohjinawi, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Semoga.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s