Anomali Monti

dimuat di Solo Pos

Sebuah anomali barangkali terjadi pada Monti. Monti, adalah anak pertama Mama yang mempunyai tubuh paling besar di antara kami. Jika dilihat dari foto keluarga, siapapun tahu ia sangat mirip Papa. Tetapi karena mentalnya yang terbelakang membuat ia terlihat sangat kontras dari semua anak Mama yang rata-rata berprestasi. Mbak Ira, terutama yang paling keras kepada Monti –untuk tidak aku katakan membencinya bahkan menuduh Monti hasil hubungan gelap Mama.

“Ia tidak mungkin mirip Papa. Sama sekali tidak! Monti adalah seorang idiot dan itu tak mungkin menurun dari Papa,” pendapat Mbak Ira dengan ketus.

Sejatinya aku tahu Mbak Ira hanya kecewa dengan Mama. Seperti yang berulang kali ia katakan, Mama selalu menekannya karena ia adalah satu-satunya anak perempuan di antara kami. Anak perempuan mempunyai kewajiban yang besar menurut Mama. Dan anehnya karena terlalu sering ditekan seperti itu alih-alih Mbak Ira membenci Monti satu-satunya anak “yang tak berguna” bagi keluarga.

Mamaku sendiri, di usianya yang senja tinggal bersama Monti di Jakarta. Aku tinggal di semarang, di studio sekaligus galeri kecilku. Ira tinggal di Jogjakarta dengan keluarganya karena dekat dengan rumah sakit ia berpraktek sebagai dokter. Kakakku, Agus, tinggal di istana negara, tempat ia bekerja. Edi, sedang menyelesaikan S3 nya di Australia. Ed, begitu biasa kami memanggilnya, pergi dari rumah melanjutkan studi setelah perkawinannya gagal. Ia mengatakan satu hal padaku sebelum ia berangkat.

“Hati-hati kalau memilih istri. Cantik, kaya dan pintar bukan jaminan kau bahagia.”

Aku tahu nasehat itu sangat berkaitan dengan pengalaman perkawinannya yang gagal. Aku sendiri tak terlalu suka memegang sebuah perkataan dari pengalaman orang lain. Aku percaya tiap orang hanya menjalani takdirnya saja. Kewajiban kita hanyalah membuat pilihan yang terbaik, itu saja.

Dan akhirnya, hanya Monti yang dekat dengan Mama secara harfiah. Seluruh waktunya, 24 jam sehari, dekat dengan Mama. Monti harus kami akui menjadi sosok yang istimewa bagi Mama.

Mama pernah menuturkan, Monti dilahirkan ketika Papa depresi. Saat itu Papa sudah dinyatakan gila oleh dokter. Kenyataannya, semua itu terjadi ketika sehabis Papa ditugaskan di Ambon yang sedang berkonflik. Entah apa yang terjadi, setiap malam Papa selalu gelisah. Ketika ia melihat pistol ia berteriak kepada Mama untuk menyingkirkan. Dan memang Mama harus membuangnya agar Papa bisa diam. Karena jika hanya disembunyikan di dalam rumah, Papa masih bisa tetap menciumnya seperti anjing mencium tulang. Mama akhirnya membuang pistol itu ke sungai. Barulah Papa mulai diam dan tenang. Mama yang saat itu sedang hamil harus selalu berbagi dengan depresi Papa. Hingga ketika Monti lahir, secara ajaib saja sakit tiba-tiba Papa menghilang. Ia akhirnya kembali berdinas seperti biasa dan memilih bertugas di jalan raya.

Memang pilihan Papa itu membuat rumah tangga menjadi lebih tenang. Tapi kesehatan Papa cepat memburuk. Di Jakarta, jalanan adalah tempat yang mengerikan. Debu, polusi dan segala keruwetan tumpah ruah di situ yang tak mungkin terpecahkan oleh seorang profesor sekalipun. Dan Papa meninggal karena sebuah kecelakaan. Sebuah mobil berplat merah yang dikendarai seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) mabuk menabraknya. Papa menghembuskan napas terakhir saat perjalanan ke rumah sakit. Namun Mama tak bersedih ketika Papa meninggal. Mama juga tegar mengantar jasad Papa sampai ke liang lahat.

Monti, yang menurut Mbak Ira adalah anak haram, memang terlihat berbeda dari kami karena ia terbelakang. Tapi secara fisik ia mirip Papa. Proporsi tubuhnya yang besar dan potongan rambut yang selalu cepak. Monti juga menggemari permainan polisi-polisinan sampai sekarang. Ia sering mengajakku bermain di kebun saat pulang menengok Mama.

“Ayo mengaku! Kamu pasti yang telah menjambret perempuan tak bersalah itu. Ayo mengaku! Kalau tidak kamu akan aku tembak!” Monti menarik bajuku tak peduli kancing bajuku lepas, kemudian ia akan menodongku dengan pistol.

“Monti, bukan begitu hukuman soerang penjambret. Masak hanya menjambret saja mau kau tembak!” kataku memarahi.

Dan Monti akan sedikit garuk-garuk kepala, kemudian membenarkan.
“Baik, sekarang permainan kita rubah, aku yang jadi polisi kau yang jadi penjahat,” usulku.

“Tidak, kita tidak bermain begitu. Begini saja, kita sama-sama jadi penjahat. Tapi kita akan menyamar menjadi polisi, lalu kita merampok sebuah bank.”

Inilah permainan yang menurutku paling cerdik yang bisa Monti pikirkan. Ia meminjamiku satu stel pakaian polisi milik Papa, kemudian kami pura-pura merampok sebuah bank. Kami akan merampok “Bank Mama”.

Kemudian kami mendatangi Mama. Entah mengapa memegang pistol mainan ini juga membuatku tersenyum. Monti sepertinya benar tentang hal ini. Sementara itu Mama masih serius dengan jahitan ketika kami datang. Sekilas saja ia melirik kami.

“Kau mau membantuku petugas –seorang perempuan tua yang sedang kesulitan memasukan benang ke dalam jarum ini?” pinta Mama pada Monti.

Tiba-tiba saja Monti tersenyum gembira berubah seperti anjing yang ditawari tulang. Aku jadi terhenyak. Ini tak sesuai dengan rencana kami. Seharusnya kami akan merampok dan bersikap seperti seorang penjahat profesional.

“Oh, dengan senang hati, nyonya,” jawab Monti sangat ramah.
Monti telah melupakan rencana kami. Segera ia serius sekali dengan jarum itu dan membuatku hanya bisa menunggu.

“Kau sudah lupa dengan rencana kita Monti?” ingatku kesal.
“Aku harus membantu nyonya tua yang sedang kesulitan ini petugas. Jangan ganggu aku. Aku sedang sibuk.”

Aku hanya bisa menghela napas. Mama melirikku sebentar.
“Kapan kau akan memikirkannya Hendri? Kau itu butuh seorang pendamping,” ujarnya padaku.

“Aku masih banyak pekerjaan, Ma. Ada pameran yang harus kuselesaikan dulu.”

“Sebaliknya, aku khawatir dengan dirimu jika tidak segera menikah. Pergaulanmu cenderung bebas di dunia seni rupa itu.”
Sebenarnya aku sempat membayangkan beberapa wanita yang ada di sekitarku. Ada Leni, Irma, dan Ayu. Tapi sama sekali mereka tak bisa menyentuh hatiku.

“Atau Mama carikan untukmu.”

“Santailah dulu Mama. Jangan terlalu memikirkan semua itu.”

“Mama hanya khawatir Mama tak bisa mendampingi saat pernikahanmu nanti.”

“Ah Mama kenapa malah bicara seperti itu. Kami semua sangat mengharapkan Mama bersama kami.”

“Ya, aku berharap dapat bersama kalian terus. Bisa menjaga Monti khususnya. Tapi kau tahu hal itu sia-sia aja. Aku berharap terlalu banyak.”

Akhirnya Monti berhasil memasukan jarum selama hampir setengah jam. Dan ia pun sudah lupa dengan rencana semula. Seharusnya peran kami adalah seorang perampok profesional.
***
Perubahan terjadi ketika Mama sakit. Kami semua pulang ke rumah, kecuali Edi. Dia hanya bisa menelpon kami mengikuti kabar Mama setiap malam.

Mama terbaring belum siuman. Di dekatnya Monti menunggu dengan pistolnya. Dan kasihan Monti, setiap hari dibentaki oleh Mbak Ira tanpa pembela. Kalau aku ikutan membela Monti, akupun dipelototi.
Aku sedih mengenang hal itu. Entah mengapa sifat kerasnya yang muncul kepada Monti. Aku mulai berpikir kalau Mbakyuku itu mengalami semacam trauma psikologis karena tekanan Mama sejak kecil sebagai anak perempuan di antara kami. Dan kini semua itu ia lampiaskan kepada Monti, anak yang paling dekat dengan Mama.

Mbak Ira membenci apapun yang mengingatkan tentang Mama.

“Singkirkan dia. Aku tak mau melihatnya mewek di sini.”

“Kakak tidak boleh begitu. Apalagi di depan Mama.”

Mbakyuku hanya mencibir. Sementara itu Agus tak bereaksi dengan perdebatan kami. Sejak tadi ia sibuk sendiri di telepon dengan orang kepresidenan. Baru ketika ia bicara, ia mengatakan tak bisa lama tingal dengan kami karena di istana sudah menunggu tugas yang banyak. Tapi ia berjanji akan mencarikan dokter yang terbaik untuk Mama.

“Ia sudah tak butuh lagi dokter! Tapi butuh kehadiran kita semua,” suara Mbak Ira meninggi. Agus hanya bisa menunduk tak kuat menentang Mbakyuku.

Aku yakin di balik sikap keras Mbakyuku seperti selama ini, ia menyayangi Mama. Hal itu membuatku teringat sebulan yang lalu, Mama sempat menyinggung kami semua saat bicara padaku.

“Aku ingin kalian semua menjaga Monti. Apalagi saat Mama nanti tak bersama kalian.”

Akhirnya malam itu Monti menangis keras sekali saat Mama berpulang. Walaupun kami semua juga ikut menangis keras-keras. Dan baru pertama kali ini kulihat Monti lepas dari pistolnya saat menangisi Mama.

“Sialan kau Monti. Jangan kau menangis seperti perempuan! Kau itu laki-laki!” bentak Mbak Ira sambil ikut memeluk jenasah Mama untuk terakhir kali. Dialah yang akhirnya harus dipaksa agar berhenti menangis.

Aku tahu Mbak Ira sangat sedih dan kehilangan. Kesedihan yang akhirnya meleburkan kebenciannya kepada Mama, yang selama ini telah mengeras seperti batu.

Malam itu untuk kali pertama kulihat Mbak Ira memeluk Monti dengan erat. Mbak Ira juga meminta kepada kami agar Monti dibolehkan untuk tinggal dengannya. Ia mengatakan ingin membayar dosanya kepada Mama dengan gantian menjaga Monti. Mengenai permintaan Mbak Ira, kami tak ada yang menolak. Sebab, dibalik caci makinya kepada Monti, kami yakin padanya tersembunyi kasih sayang Mbak Ira pada Monti yang besar.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s