Dimuat di koran Haluan
Jantung Sanyoto berdebar kencang melihat lelaki itu menginjakkan kaki di kios cukurnya. Sanyoto menelan ludah. Tenggorokannya kering tiba-tiba. Lelaki itu menatap gambar model potongan rambut di sebelah kaca besar seperti sedang memilih.
Ya, semua orang di pasar kenal dengan lelaki ini. Jantre Polan bromocorah pembantai berdarah dingin. Masih ingat Sanyoto saat lelaki itu menyilet telinga kacungnya sendiri. Dulu juga dia yang pertama kali menyiram bensin seorang pemabuk yang membuat onar. Padahal pemabuk itu seorang residivis yang disegani.
“Tidak ada yang mau dicukur, kan?”
Sanyoto mengangguk. Kata-kata sukar keluar dari lidahnya. “Ya, pak. Nggak ada sama sekali.”
Jantre Polan duduk akhirnya. Dan Sanyoto reflek menyelimutkan kain besar berbahan mori itu di pundak Jantre Polan.
“Mau potong gimana pak?” Sanyoto inisiatif bertanya.
Jantre diam. Sanyoto melirik ke mata tajam yang memandang dirinya di cermin itu. Diam tak ada jawaban.
“Kamu bisa adzan kan?”
“Apa pak?”
“Kamu bisa adzan?” ulang Jantre.
Sanyoto hampir tertawa. Ia tak paham pertanyaan itu. Tapi, ia takut untuk tertawa.
“Maksudnya pak?”
“Kalau mau motong rambutku, kamu harus adzan dulu. Kalau tidak, guntingmu tidak ada mempan sama sekali.”
Sanyoto akhirnya berani tertawa kecil. Ia tak percaya.
“Kalau tak percaya coba saja.”
Entah mengapa Sanyoto merasa tertantang dan tertarik. Ia mengambil gunting dan sisir. Dengan luwes, ia sudah akan mengambil sedikit rambut di bagian sisir itu.
Benar saja. Gunting itu seperti gunting tumpul. Rambut yang berwarna hitam campur putih itu sama sekali tak mempan digunting. Dalam hati Sanyoto makin penasaran.
“Ya, boleh pakai mesin kalau mau,” kata si Jantre seakan bisa membaca pikiran Sanyoto.
Pun, mesin itu sama sekali tak mempan. Sanyoto takjub sekaligus gemetar.
“Semua rambut di tubuhku ini tak mempan digunting. Kulit di tubuhku juga tak mempan ditusuk atau kamu bacok karena aku pernah menelan kol buntet.”
“Terus bagaimana pak, saya mau mencukurnya?”
“Kamu adzan dulu. Saat itu kamu bisa mencukur rambutku. Tapi usahakan setelah selesai adzan rambutku sudah rapi. Jika adzanmu sudah selesai, kesaktianku akan pulih kembali.”
Tiba-tiba Sanyoto merasa mendapat pikiran licik. Bukankah, ia sudah mengetahui kelemahan lelaki ini.
“Tapi mengapa bapak mengatakan kelemahan bapak? Tentu bukan karena ingin potong rambut saja kan.”
“Kamu ternyata pintar juga. Ya, aku memang sengaja. Tapi, akan kukakatakan nanti. Yang penting kamu potong dulu rambutku yang gembel ini. Potong gundul mepet saja. Dan ingat, sambil adzan ya… kamu bisa adzan kan?”
“Ya pak. Akan saya coba.”
Sanyoto menghidupkan mesinnya dulu. Diatur pada tebal rambut yang ingin dia kehendaki. Tidak gundul plontos, tapi masih sisa setinggi 1 cm.
Sanyoto mulai adzan. Dan ajaib…. kres..kres… mesin itu dengan mudah membabat rambut Jantre Polan. Rambut lelaki sakti itu akhirnya bisa dipotong. Artinya juga hanya karena suara adzan, lelaki itu kesaktiannya hilang. Berarti sakti sekali suara adzan ini. Dan, oh, ia masih ingat bukankah ada bunyi hadits yang mengatakan suara adzan itu membuat setan lari terkentut-kentut.
Akhirnya cukur rambut itu selesai tepat bersama suara adzan Sanyoto selesai.
“Baik, akhirnya tampangku kelihatan lebih muda. Bener kan?”
“Iya pak.”
“Dan, alasan mengapa aku menceritakan kelemahanku. Karena aku ingin kelak bisa terbunuh. Selama ini tak ada pisau dan senjata yang bisa mencideraiku. Jadi aku ingin kelak kamu yang membunuhku.”
“Pak Jantre pasti bercanda. Saya bukan pembunuh dan saya itu membunuh kecoak saja tidak tega kok…”
Lelaki itu tertawa. Ia bangkit.
“Berapa?”
“Ehm, nggak usah pak. Gratis aja pak.”
“Bener, kamu menolak?”
Sanyoto mengangguk.
Jantre Polan akhirnya keluar dari kios. Sanyoto terbengong-bengong dengan peristiwa yang baru saja ia alami. Ia juga masih gemetar pesannya itu kalau kelak dirinya kelak akan menjadi pembunuh seorang bromocorah Jantre Polan.
***
Tibalah hari itu. Orang-orang di pasar berkerumun dengan kemarahan membara. Jantre Polan yang sudah tersungkur dan terikat tali tambang hanya terbahak-bahak kepada massa yang mengamuk padanya. Pasalnya, semua benda itu seakan tak menyentuh kulit ari Jantre Polan.
Sanyoto ada dalam kerumunan itu. Jantungnya berdebar kencang. Di tangannya ada sebilah pisau. Tetapi entah mengapa hatinya belum mau bergerak mengikuti otaknya. Ya, ia ikut merasa marah kepada Jantre Polan. Seenaknya saja ia menggoda seorang perempuan, kemudian dia terlibat perkelahian dengan suami si perempuan itu. Dan dengan begitu kejam, si suami itu dipukulinya hingga sekarat. Orang waras sekalipun tak akan senang melihat hal itu.
Sanyoto gamang. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia akan mengerjakan pesan si Jantre Polan setahun yang lalu yakni menjadi pembunuh si Jantre Polan dengan suara adzan itu?
Sanyoto gemetar. Ia tak ingin menjadi pembunuh. Baginya menjadi pembunuh adalah dosa besar. Sekalipun itu membunuh penjahat ia tak akan mau melakukan.
Tetapi, si Jantre Polan sekarang ini seperti mengolok-olok semua orang di sini. Ia tertawa terkial. Pukulan dan tusukan besi macam apapun, juga sabetan celurit tak ada yang mempan pada tubuhnya.
“Bakar! Bakar saja pakai bensin!”
Entah suara darimana. Sanyoto mencari suara pemberi komando itu.
“Bakar saja!” suara itu kembali memberi komando. Dan sebentar kemudian orang-orang teragitasi.
“Ya! Bakar saja! Bakar Jantre Polan si jahanam!”
“Bakar preman brengsek itu. Dia juga menghamili anak orang dan tidak mau bertanggung jawab!”
Jantre Polan masih terpingkal-pingkal seperti orang gila. Ia malah menantang.
“Bakar saja aku! Taik kucing! Api tidak akan mempan pada tubuhku! Hah, kalian orang-orang sial!” katanya keras diiringi tertawa menghina.
Bensin benar-benar disiramkan entah oleh siapa. Botolnya dilemparkan ke kepalanya hingga pecah. Ajaib! Tak ada darah. Tak ada kulit yang terbakar ketika korek api dilemparkan ke tubuhnya yang sudah basah oleh bensin.
“Gila! Masih tak terbakar! Benar-benar jelmaan iblis!” suara seseorang.
Sanyoto mengamati semuanya. Jakunnya seperti kucing dan tikus yang berkejaran. Pisau di tangannya terlepas tiba-tiba.
Inilah saat yang tepat itu, bisik hatinya. Sudah lakukan saja! Kau adzani si Jantre Polan lalu suruh orang membakarnya. Dengan begitu, kau bukan yang membunuh preman sialan itu! Biarlah dia mati dibakar oleh massa, bukan kamu yang membunuhnya!
Sanyoto mulai bergerak. Ia menyeruak kerumunan itu hingga berada di depan Jantre Polan yang terikat tali tambang. Ia mengangguk pada seseorang yang membawa puntung rokok. Orang itu mendekat dan kemudian mengangguk pada apa yang dikatakan si Sanyoto.
Setelah itu Sanyoto adzan keras-keras di waktu siang bolong sebelum waktu Zhuhur itu. Orang-orang entah mengapa terdiam, begitu juga si Jantre Polan yang melotot pada si Sanyoto. Semua sama terdiam menyaksikan ketika seorang lelaki yang membawa puntung rokok melemparkan puntung rokok itu ke rambut Jantre Polan. Setika api menyala. Merembet, membesar hingga membakar seluruh tubuh Jantre Polan.
Tubuh si preman itu terbakar dan menggeliat-geliat hingga tali tambang itu putus. Bau sangit daging terbakar dan suara detusan minyak pada kulit tubuh Jantre Polan menjadi pemandangan yang menyeramkan sekaligus mendebarkan.
Sanyoto kehabisan napas ketika ia selesai adzan. Tiba-tiba ia mundur teratur bersamaan dengan sebuah kesadaran yang tumbuh pada dirinya. Kesadaran setelah melihat seorang manusia menggeliat-geliat sekarat dibakar api. Ia menyadari dirinya telah menjadi seorang pembunuh. Akhirnya, ia benar-benar menjadi pembunuh si Jantre Polan. Membunuh satu manusia tanpa hak hakikatnya seperti membunuh seluruh manusia di muka bumi ini.
Sanyoto mundur hingga tersandung dan terhenyak di jalan bersamaan si Jantre Polan yang sekarat terbakar gosong dan menjerit ketika nyawa lepas dari tubuhnya.
Sanyoto tidak kuat lagi. Ia berteriak!
Aku seorang pembunuh!!!