Kesalihan Berkendara di Jalan Sebagian dari Iman

dimuat di Solo Pos

 thumbnail

Penulis                                  : M Faizi

Judul Buku                          : Celoteh Jalanan (Lucu, Segar dan Inspiratif)

Cetakan pertama             : Maret 2017

Penerbit                              : BasaBasi

Tebal                                     : 180 hlm; 14×20

 

Kita sering mendengar analogi seperti ini: hukuman neraka itu dianalogikan seperti seorang oknum yang mengendari kendaraan kemudian ia melanggar peraturan lalu lintas, misalnya tak bawa SIM. Karena tidak punya atau lupa membawa surat sakti tersebut, oknum itu tetap akan ditilang oleh polisi. Polisi dianalogikan sebagai hukuman akhirat, sedangkan pelanggaran bisa dianalogikan sebagai perbuatan dosa. Sadar atau tidak sadar, lupa atau tidak lupa, jikalau melanggar peraturan lalu lintas atau melakukan perbuatan dosa, dua-duanya akan mendapatkan hukuman.

Di dalam hadits banyak disinggung tentang adab-adab di jalanan, semisal menyingkirkan aral di jalanan atau tidak memakir kendaraan yang memakan bahu jalan, dan mengucapkan salam kepada orang yang berpapasan di jalan. Semua kesadaran ini jika dilakukan dengan niatan mengamalkan sunnah, insya Alloh, dia akan mendapatkan pahala atau ganjaran. Artinya pula, salah satu cara menakar iman dan pengamalan sunah tidak bisa dilepaskan dari variabel bagaimana dia bermuamalah di jalan.

Sejatinya buku Celoteh Jalanan, M Faizi ini bukan sekadar celoteh jalanan yang bising, memekakkan telinga, atau komentar tetnang kesemrawutan lalu lintas di Indonesia ini, sebaliknya buku ini merupakan refleksi seorang pengendara yang notabene adalah seorang kyai, seniman, penyair dan seorang pengamat yang mempunyai cara yang pandang linuwih dalam menyikapi keadaan.

Buku Celoteh Jalanan M Faizi ini mempunyai substansi isi yang sangat cocok tidak hanya untuk para pemakai jalan saja. Sebuah gambaran nyata tentang jalanan di Indonesia; baik para pengendaranya, lalu lintasnya, peraturannya, semua diobservasi dengan lensa kacamata yang positif. Artinya, tidak sekedar emosi dan marah-marah terhadap kekacauan dan banalitas jalanan Indonesia yang sudah terkenal ini. Justru, M Faizi memberikan ruang untuk merenung, berteduh dengan respon-respon yang ia bawakan dalam buku ini.

Ada 50 celotehan dalam buku ini yang dibawakan dengan reflektif. Apa yang ia observasi, apa yang ia alami dan dengar disampaikan kembali tidak sebagai pengamat lalu lintas tetapi dalam kacamata seorang budaya dan penyair. Gurindam jalanan membawakan sebuah fragmen tentang jalanan: baca basmalah sebelum pergi/niatkan sunah kau terberkati/saling hargai di jalan raya/itulah bukti akhlak mulia/patuhi rambu karena awas/jangan berlagu, nantang petugas/kalau ditindak tanpa terbukti/silakan tolak, itulah pungli

Buku ini menjadi elok untuk dibaca adalah karena kesederhanaannya dalam melihat peristiwa. Dalam kisah Orang-Orang Sakti di Jalan Raya yang Tak Tertangkap Kamera M Faizi menuturkan kelakukan pengendara yang ‘sakti’ bisa melakukan aksi melebihi stuntman dalam film. Seorang pengendara matic yang membonceng ibu-ibu menyalip dan memotong jalan padahal di hadapannya ada truk hino yang bermuatan berat. Lebih mencengangkan lagi, bahwa si lelaki pengendara matic itu ternyata tidak buru-buru, dia kemudian masih nampak berjalan lambat, pun kali ini malah sedang bicara dengan telepon tangan. Adegan-adegan semacam ini dibawakan M Faizi tidak dengan emosi kemarahan, itulah perbedaan antara reporter berita dan seorang seniman. M Faizi hanya menyimpulkan dalam kisah ini dengan bertanya-tanya, mengapa orang sakti seperti ini bisa eksis di muka bumi. M Faizi, dengan nada guyon mengira-ngira bahwa nyawa yang dibawa pengendara motor tadi barangkali adalah “nyawa kw”, sedang yang ditinggal dan disimpan di rumahnya adalah “nyawa yang ori”.

Dari 50 bab yang ditampilkan dalam buku ini, semua cerita merupakan keseharian di Indonesia ini. Walaupun terkadang penulis mengkomparasikan dengan keadaan di benua Eropa, semisal Jerman. Sehingga buku ini juga merupakan kritik dan sindiran yang mengena terhadap negara yang mengaku beragama ini. Contohnya, tentang langkanya orang yang peduli kepada orang lain di jalanan. Hal ini dipertentangkan dengan keadaan di luar negeri, yang konon tidak beragama, malah mereka lebih tertib daripada orang Indonesia yang mayoritas beragama semua. Padahal semua agama tidak ada yang mengajarkan untuk menjadi orang ugal-ugalan alias tidak punya adab di jalanan.

Buku ini juga bicara solusi tentang pembenahan lalu lintas yang semakin ruwet dan makin sering terjadi kecelakaan. Ini pun lagi-lagi dibawakan secara reflektif. Ada CCTV di Antara Kita, Melawan Korupsi: Mulai dari Jalan Raya, Hukum Karma di Jalan Raya, Parkir: Representasi Cara Berpikir, Kualat sebagai Aturan, dan Tertib Lalin Tidak Cukup, Mengalah juga Harus.

Buku ini bisa menjadi semacam kitabul adab bagi para pemakai jalan, entah itu pengendara, pejalan kaki, bahkan bagi polisi tidur sekalipun –maksudnya memaknai polisi tidur. Tinggal bagaimana Anda membaca buku ini, karena sebagian besar dalam buku ini ditulis mempunyai tendensi dan tujuan untuk mengajak bersama-sama dalam menertibkan lalu lintas.

Saya rasa dengan kapasitasnya itu, yang juga seorang seniman, penulis buku, budayawan, dan kyai, M Faizi layak untuk dijadikan duta tertib lalu lintas. Semoga

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s