Elegi Martha

dimuat di Magelang Express
Untitled
Martha mengalami mimpi terburuk dalam hidupnya. Mimpi yang berakhir di alam nyata. Sebuah kenyataan yang tak pernah ia harapkan terjadi pada dirinya, pada pernikahannya.

Dini hari kerap ia terbangun dalam gelisah. Ketika dekap suaminya terasa tak nyata lagi. Siapakah ia yang berbaring di sampingnya? Wajah tampan lugu yang dikenalnya kini berbau perempuan sundal.

Oh, ia benci sekali kota penjajahan yang mengubah para perwira muda seperti suaminya. Kegelapan kota ini membinasakan cahaya terang suaminya hingga membuatnya lari ke gedung opera Marabunta hingga jatuh ke pelukan Mata Hari .

Martha tidak tahu apakah dia harus senang atau benci dengan mengetahui perselingkuhan suaminya yang terlalu dini ini. Bersyukur yang terasa absurd karena Tuhan karena telah menyelamatkan dari kebohongan palsu suaminya.

Pun tak pernah Martha membayangkan mengapa Tuhan membuatnya merasakan kepedihan kepadanya. Mencicipkan ujian dahsyat ini. Padahal tangannya tak pernah lelah mendoa. Seandainya Tuhan tidak memberinya hari celaka itu.
Ya, saat itu candik ayu terlihat memerah di atas gereja Kerk . Malam berangkat seakan lebih cepat. Sebuah simphoni Mozart mengalun dari rumah seberang amat menentramkan ketika ia berjalan bergegas itu. Entah rumah siapa. Sebuah rumah yang elok dengan halaman luas dan berumput jepang yang asri. Pastilah rumah seorang pejabat tinggi di Semarang ini.

Tatkala saat hendak berbelok ke arah kanal, tiba-tiba sebuah kereta hampir menabraknya. Martha bersyukur bisa menghindar lebih cepat jadi ia tidak tertabrak. Tetapi yang lebih membuatnya terkejut adalah ia melihat siapa penumpang yang turun. Dan dua orang penumpang yang itu turun itu adalah sang penari erotis Mata Hari bersama Ludwig, suaminya.

Benarkah yang ia lihat? Suaminya bersama dalam satu kereta dengan penari perut itu?

Marah dan berang hati Martha. Urusannya yang mahapenting untuk ke gereja Kerk terlupa seketika.
***
Sungguh di Semarang ini tak ada yang tidak mengenal Mata Hari! Martha juga tahu saat Mata Hari bersama suaminya pastilah ada yang tak beres. Di kota ini tak ada yang bisa menutupi bangkai perselingkuhan. Semua bau busuk akan tersebar dengan mudah. Dan benar saja lambat-laun teman-temannya di gereja mengatakan dengan terang-terangan maupun malu-malu.

Tetapi Martha sangat mencintai suaminya. Ia tak ingin berpisah dengan suaminya. Ia ingin melakukan sesuatu agar suaminya kembali kepadanya. Akhirnya Martha makin sering datang ke gereja. Memasuki bilik pengakuan dosa lebih sering dari biasanya. Dan hari pertama itu saat menceritakan semuanya, ia mendapat nasihat dari sang pendeta, bahwa apa yang ia terima ini adalah buah dari dosa lahir yang belum ditahirkan. Sang Pendeta menyuruh untuk memohon ampun kepada Tuhan.

“Saya ingin agar suami saya selamat dari guna-guna perempuan ahli sihir itu pendeta? Saya percaya Ludwig adalah lelaki baik. Apa yang harus saya lakukan, Bapak Pendeta?”

Sejenak pendeta berdehem seolah ia sedang memanggul wahyu yang berat.
“Kasih Tuhan itu benar dan manusia sering membuat dosa karena tidak percaya dengan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan. Padahal jika mau kembali semua akan diselamatkan.”

“Jadi apa yang harus saya lakukan Bapak?”
“Apa yang kaucintai hari ini maka berikanlah ia kepada Tuhan.”
“Maksudnya bagaimana pendeta? Saya belum paham.”
Sejenak pendeta itu berdehem lagi.

“Berikan persepuluhan kepada gereja dan mohonlah keselamatan kepada Tuhan. Semoga engkau dibebaskan dari penderitaan.”

Martha berpikir apa yang dimaksud oleh pendeta ini adalah kalung dan cincin yang dipakainya. Martha pun akhirnya memberikan kalung yang ia pakai. Kalung itu hadiah dari ibunya. Tetapi, Martha berpikir bahwa apa yang ia lakukan adalah lebih penting. Ia harus menyelamatkan suaminya dari guna-guna penari erotis itu.
***
Tetapi Martha tak menemukan tanda-tanda suaminya membaik. Ludwig makin sering pergi keluar. Jika pulang mereka hanya akan membuat pertengkaran-pertengkaran. Suaminya selalu mengelak jika ditanyai ada hubungan apa dengan Mata Hari.

“Baiklah, jangan sentuh diriku lagi. Kau akan tidur di kamar lain.”
“Oh, Martha, kau tega akan menyiksaku? Martha, kau salah. Kau gila!”
Martha pun mulai sering keluar rumah untuk menghilangkan bosan. Ia mulai sering pergi ke kanal dan berkeliling kota kecil ini lebih sering. Padahal dulu ia tak senang dengan Semarang. Banjir rob yang selalu mengunjunginya, nyamuk-nyamuk tropis yang ganas, dan jujur ia tak pernah suka ditempatkan dekat kampung Pecinan itu yang kumuh itu.

Namun, akhirnya terjadi yang harus terjadi. Martha punya ide cemerlang untuk membalas rasa sakitnya.

Martha merayu seorang perwira muda di kanal. Lelaki itu berwajah tampan dan mempunyai selera humor yang menarik.

Si lelaki yang bernama Jean itu mengajaknya naik kereta berkeliling. Mengantarkan pada dermaga yang ramai. Orang-orang melihatnya dan Martha menjadi bahan gosip murahan.

Namun, entah mengapa Martha merasa puas. Terlebih sambutan suaminya di rumah setelah mendengar gosip dirinya di luar.

“Dari mana saja kamu? Dengan perwira muda itu lagi?” katanya suatu kali.
“Dari dermaga, kami hanya melihat perahu bersauh. Dan kau tak perlu melarangku. Toh, dirimu sendiri tidak setia.”

“Aku tahu kau marah padaku, Martha. Tapi bukan seperti itu caranya.”
“Apa pedulimu. Kau tidak bisa melarangku kalau kau sendiri tidak setia di belakangku dengan penari itu? Oh, aku dulu mengira kau seorang yang lugu. Kau yang menyukai sastra dan sajak-sajak Pushkin. Ternyata aku salah mengenalmu. Ternyata kau sama bejatnya dengan mereka.”

Di sisi lain, kota Semarang pun ternyata membuatnya jatuh cinta justru ketika saat ia merasa kehilangan suaminya dan mulai sering keluar rumah. Mengunjungi pelbagai restoran yang ada di pinggir kanal. Menyesap anggur bersama Jean yang fasih bercerita tentang kesukaannya pada minuman lokal.

“Aku menyukai anggur Perancis. Tapi Semarang punya banyak hal yang lebih menarik. Minuman lokal di sini juga mantap rasanya.”

“Kalau gadis Semarang?”
“Aku tidak suka dengan gadis pribumi. Mereka bukan kelas kita.”

Tapi lelaki siapapun ingin lebih dari pertemanan biasa. Jean suatu kali memojokkan Martha di pojok gang. Jean memaksa mencium Martha dan Martha terpaksa menamparnya. Namun Jean malah bernafsu melumat bibir Martha. Hingga akhirnya Martha menggigit bibir lelaki itu hingga berdarah.

Jean pun menampar Martha hingga jatuh terjerambab. “Kau sialan!”
Jean akhirnya pergi. Dan Martha kembali kepada kesepiannya. Pada hantu-hantu yang sering mengunjunginya setiap malam. Membawakan sebilah pisau untuk leher suaminya.

Tapi Martha tak berminat membunuh suaminya. Ia makin murung. Ia banyak keluar ketika senja hari. Berjalan di pinggir pelabuhan. Menatap pekerja membuang sauh. Rasa bergetar di dalam dadanya. Rindu pada kampung halamannya. Pada tulip mekar di sana.

Akhirnya ia mengatakan semuanya pada suaminya.
“Aku ingin pulang.”
“Tidak bisa. Tugasku masih di sini. Kau tahu, tugas itu bukan pilihanku…”
Suaminya mendekati Martha.

“Percayalah itu semua tidak seperti sangkamu. Aku adalah lelaki setia. Mata Hari itu hanya bagian dari tugas kerjaku saja,” Suaminya berharap Martha bisa mengerti sekarang.

“Mengapa aku harus percaya dengan hal itu?”
“Karena aku suamimu. Tuhan yang menyatukan kita. Untuk kali ini saja kau percaya padaku.”

“Aku telah melihat sendiri semuanya. Berbeda jika itu kudengar dari orang lain.”
***
Sungguh, Martha berharap mimpi buruknya di Semarang itu akan segera berakhir. Ia akan membayar apa saja asalkan deritanya itu sirna. Kunjungannya ke gereja Kerk yang indah itu juga tak membuatnya berdamai dengan hatinya yang rusuh. Di satu sisi ia tak bisa meminta berpisah dari suaminya kepada Tuhannya karena apa yang telah disatukan oleh Tuhan tak boleh dipisahkan oleh manusia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s