Tag Archives: sanyoto

Kisah Deswita Mencari Pembunuh Suaminya

Dimuat di Tabloid Nova
mqdefault
Rumah yang doyong ke kiri dan mau rubuh itu adalah rumah seorang perempuan yang konon cantik luar biasa. Perempuan yang tak pernah kenal takut dengan para lelaki. Oh, nama perempuan itu adalah nama yang sakral. Jangan kau sebut di hadapan para lelaki yang pernah dipercundanginya. Jangan kau menyalakan kembali bara di dalam dada mereka.

Memang jika kau menyebut nama perempuan itu di depan mereka, buru-buru mereka akan membantah, atau mencari-cari celah bahkan tak segan mengarang bahwa perempuan itu seorang pendusta, pezina dan tak tahu malu.

Lalu bibir para lelaki itu tak akan henti mencibir, meludah sesudah menyebut nama perempuan itu.

“Deswita itu sudah kusumpah tak akan pernah berbini sampai mati! Tunggu saja kelak di masa tuanya, ia akan merangkak-rangkak ke kaki setiap pria yang lewat di depan rumahnya, sekadar mau tidur dengannya.”

“Tubuhnya kelak akan reyot seperti kayu lapuk, lalu saat itupula ia akan merasa bahwa waktu muda ia menyia-nyiakan kesenangan yang hendak ditawarkan padanya. Tapi, penyesalan pun tak akan berguna baginya.”

Menurutku tak ada lelaki yang mengucap baiknya tentang Deswita. Semua menganggap Deswita seakan musuh, seakan seteru yang harus dibunuh, atau kalau tidak dibunuh harus ditawan dan dijadikan budak miliknya.

Aku sendiri perempuan yang hidup bersama suamiku. Sepanjang hidup kami menikah, suamiku tak banyak bicara tentang Deswita. Walau kudengar dulu, ia pernah juga datang kepada dirinya, dan menawarkan diri menjadi suami. Deswita yang saat itu jadi kembang desa dan banyak dikerubuti para pemuda, menolak suamiku. Mungkin karena suamiku adalah seorang pemuda biasa, yang sekedar buruh di kota. Wajah suamiku pun tak terlalu tampan. Tak banyak pula yang bisa diberikan.

Tetapi aku yakin Deswita bukan orang seperti itu, yang mata duitan, yang melihat para lelaki karena uang dan harta yang akan ia terima sebagai mahar perkawinan. Aku merasa hal itu sedikit benar. Karena ketika aku menikah dulu, makin banyak kuketahui perangai suamiku yang asli. Yang dulu ramah, sekarang mulai kasar. Yang dulu suka memberi hadiah, kini selalu tak segan membentak hanya karena aku meminta sesuatu. Bagiku perubahan itu tetap kuanggap sebagai sesuatu hal yang harus kuterima karena aku istrinya. Sebisa mungkin menyabarkan diri. Mencoba menerima apa adanya suamiku. Karena dengan mengimbangi itulah perahu perkawinan kami tak akan mudah karam diterpa gelombang.

Namun kadang aku menjadi selalu ingin tahu tentang Deswita. Ada rasa kagumku yang makin membesar ketika lewat rumah yang mencong ke kiri mau roboh itu. Ketika lewat hanya kutandai dapurnya yang mengepulkan asap pertanda ada kesibukan di dalamnya. Atau di sore hari, kudengar suara orang memecah kayu, barangkali untuk memasak esok hari. Deswita memang jarang keluar. Dan hal inilah membuat aku penasaran ingin berkunjung padanya.

Hari itu minggu sore kubawakan sayur beserta lauk kambing untuknya. Sengaja pula aku mencari lena suamiku yang kini sedang pergi ke rumah ibunya. Alasanku ingin mampir dan membawakan makanan ini memang kurang terpuji. Aku adalah orang baru di kampung ini yang dibawa dari rumah orang tuaku. Karena mendengar kemashyuran Deswita itulah aku ingin mencari tahu bagaimanakah sebenarnya perempuan yang menjadi kembang desa yang dulu pernah diincar suamiku dan para pemuda di kampung, yang kini namanya jatuh menjadi celaan seluruh kampung. Apakah memang benar begitu kenyataan yang sebenarnya? Karena aku sendiri tidak yakin bahwa mulut orang kampung mengandung kebenaran dalam menilai Deswita.
Continue reading